Site icon Risalahnegeriku

Antisipasi Dampak Kebakaran Hutan ke Negera Tetangga

Antisipasi Dampak Kebakaran Hutan ke Negera Tetangga

Guna mengantisipasi kebakaran hutan, Polri luncurkan aplikasi ASAP Digital. Bisakah ini membantu meminimalisir dampak kebakaran hutan ke negera tetangga ?

Jakarta – (15/09/2021). Selain dengan melakukan operasi dan penjagaan di lapangan, Polri juga merilis aplikasi ASAP yang akan berisi berbagai informasi terkini dalam menanggulangi Kebakaran Hutan, mulai dari data visual (CCTV), kondisi udara, hotspot, hingga data prakiraan cuaca.   Merespons hal itu, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Partai NasDem Ahmad Sahroni menilai, aplikasi tersebut merupakan satu di antara terobosan cemerlang yang akan sangat bermanfaat dalam membantu meminimalisir terjadinya karhutla di berbagai titik di tanah air.

“Saya sangat kagum dan apresiasi sekali terobosan dari Polri atas aplikasi ASAP. Ini memperlihatkan kesungguhan Polri dalam menjaga masyarakat bukan hanya soal kriminal dan keamanan, namun juga keselamatan dari bencana seperi karhutla,” kata Sahroni kepada wartawan. Lebih lanjut, Sahroni menyebut, aplikasi ASAP merupakan terobosan yang sangat inovatif dari Kapolri, dan tentunya sangat bermanfaat dalam upaya meminimalisir kejadian Karhutla di tanah air.

“Aplikasi ini tentunya akan sangat bermanfaat dalam mencegah Karhutla di Indonesia, mengingat kerugian yang luar biasa yang disebabkan oleh kejadian ini. Sebagai contoh, kebakaran di Riau pada 2019 lalu, Indonesia mengalami kerugian  materil hingga 50 triliun rupiah,” ujarnya. “Belum lagi risiko kerusakan biodiversitas kita yang tidak bisa dinilai dengan uang. Karenanya, saya apresiasi Pak Kapolri dan jajarannya yang sudah meluncurkan aplikasi ini,” lanjutnya.  Lebih lanjut, Sahroni menyebut teknologi ASAP juga akan mampu menangkap serta mengungkap para pelaku pembakar lahan ilegal di Indonesia.

“Ini nanti kan wujudnya berupa CCTV yang terintegrasi, dengan adanya pemantauan tersebut tentu akan sangat membantu pemerintah untuk mengejar dan mengungkap oknum-oknum nakal yang melakukan pembebasan lahan dengan membakar,” katanya. “Karena selain kebakaran hutan akibat cuaca, di Indonesia juga banyak sekali penyebab kebakaran hutan karena pembebasan lahan dengan cara ilegal yaitu dibakar. Dan selama ini para tersangka pembakar itu memang sulit diungkap,” pungkasnya.

Luas Karhutla 2021

Itulah antara lain upaya Polri untuk menekan atau meminimalisir Karhutla di berbagai tempat di Indonesia. Langkah-langkah pencegahan dan kesiapsiagaan perlu ditindaklanjuti pemerintah daerah dalam menyikapi informasi peringatan dini potensi karhutla. Berdasarkan informasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) bahwa sebagian wilayah Indonesia berpotensi mengalami Indeks Curah Hujan Rendah (CH < 100 mm) pada bulan Agustus hingga Oktober 2021.

Data Direktorat Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat akumulasi sementara luas karhutla 1 Januari hingga 30 Juni 2021 seluas 52.479 hektare. Luas karthula pada periode ini lebih tinggi dibandingkan luas karhutla pada periode yang sama pada 2020 lalu. Tercatat luas karthula periode Januari hingga Juni 2021 seluas 43.882.

Pada Januari – Juni 2021 terdapat penambahan akumulasi luas karhutla sebesar 8.597 hektare atau 16,3 persen dibandingkan periode yang sama pada 2020. “Luas terbakar pada periode 1 Januari hingga 30 Juni 2021 ini didominasi terbakarnya lahan mineral, yaitu seluas 33.313 hektare, sedangkan sisanya berada di lahan gambut,” kata Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari dalam keterangannya.

Wilayah tertinggi yang teridentifikasi adanya karthula pada lahan mineral yaitu di Provinsi Nusa Tenggara Timur dengan 13.131 hektar, Nusa Tenggara Barat 5.762, Kalimantan Barat 3.174, Kepulauan Riau 1.490 dan Papua 1.428. Sedangkan lima wilayah tertinggi karhutla di lahan gambut berada di Kalimantan Barat dengan 11.570 hektar, Riau 6.156, Kalimantan Tengah 530, Aceh 304 dan Sumatra Utara 286. Pada periode Juni 2021, karthula lahan mineral masih lebih tinggi dibandingkan lahan gambut. KLHK mencatat rekapitulasi sementara luas karhutla pada periode 1 – 30 Juni 2021 seluas 17.661 hektare, dengan rincian karhutla lahan mineral 17.375 hektare dan gambut 286.

Sebelumnya, bencana kebakaran hutan dan lahan (karhutla) yang sering melanda beberapa wilayah di Indonesia berdampak kepada seluruh elemen bangsa dan hubungan diplomatik dengan negara tetangga. Plt. Deputi Bidang Pencegahan BNPB Harmensyah mengatakan kebakaran yang terjadi di lahan gambut lebih sulit dipadamkan. “Seperti yang kita ketahui bersama, lahan gambut yang permukaannya sudah padam, namun bisa saja didalam tanah belasan sampai puluhan meter kebawah masih menyimpan api sehingga upaya pemadaman lebih ekstra, oleh sebab itu pentingnya meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi karhutla,” sebut Harmensyah.

Ia mengungkapkan salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan edukasi sebagai langkah antisipasi dan kesiapsiagaan menghadapi ancaman karhutla. “Sekolah lapang mitigasi partisipatif karhutla ini menjadi salah satu cara BNPB untuk menekan terjadinya karhutla. Kita harus memulai sebelum bencana, jangan hanya bertindak setelah bencana terjadi,” ungkapnya.  Kemudian ia menjelaskan, kedepannya kesuksesan program ini menjadi pemicu dan ditiru oleh daerah lainnya. “Harapan ke depan bahwa kegiatan ini dapat diaplikasikan oleh daerah lainnya yang memiliki potensi karhutla, sehingga tujuan mengurangi karhurla tercapai,” jelas Harmensyah.

Tak lupa ia mengimbau kepada masyarakat dan pemerintah daerah untuk selalu menjaga lingkungan dan membentuk tim pemantau karhutla tingkat desa. “Kita harus menjaga lingkungan kita sendiri, ketika ada orang yang membakar agar diberitahu untuk tidak melakukannya, karena berdampak paling besar adalah bagi masyarakat setempat. Kemudian desa dapat membentuk tim pemantau karhutla yang bersinergi dengan pemda agar menjadi desa tangguh karhutla,” pungkasnya.

Rugikan Pertumbuhan Ekonomi   

Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di Indonesia berpotensi merugikan pertumbuhan ekonomi jika tidak segera dihentikan, kata Deputi Gubernur Bank Indonesia Dody Budi Waluyo. “Dampak kebakaran hutan dan lahan menyebabkan gangguan asap yang jika terjadi berkepanjangan tentu akan berdampak pada kegiatan ekonomi dan bisnis,” kata Waluyo, “Untuk alasan ini, kami sepenuhnya mendukung langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah untuk mengatasi hal itu.”

Kebakaran telah menyebabkan kabut tebal di seluruh Indonesia, Malaysia dan Singapura selama berminggu-minggu, mengubah langit menjadi berwarna merah darah di beberapa bagian, dan merusak sejumlah lahan. Namun Waluyo mengatakan bank sentral tetap pada perkiraan pertumbuhan, yang diprediksi berada di kisaran 5 hingga 5,4 persen tahun 2019, sebelum naik ke kisaran 5,1-5,5 persen tahun 2020.

“Dampak yang lebih sulit diukur adalah dampak sosial dan lingkungan yang lebih berjangka panjang, termasuk dampak pada kesehatan masyarakat, dampak pada kegiatan pendidikan yang telah terganggu, dan kerusakan lingkungan yang disebabkan,” kata dia. Memang masih terlalu dini untuk mengukur pengaruh kebakaran lahan dan hutan tahun ini terhadap pertumbuhan ekonomi. Sebuah laporan Bank Dunia yang diterbitkan setelah kebakaran hutan tahun 2015 mengestimasi biaya akibat krisis kabut asap itu mencapai 16 miliar dolar AS, artinya dua kali lipat dari jumlah yang dibutuhkan untuk membangun kembali wilayah Indonesia yang terkena tsunami pada 2004.

Kesehatan Jutaan Anak Bisa Terganggu

Organisasi perlindungan anak-anak di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa, yaitu UNICEF beberapa waktu lalu juga memperingatkan risiko gangguan kesehatan terhadap 10 juta anak di bawah usia 18 tahun akibat menghirup asap dari kebakaran lahan dan hutan. Sebelumnya para ilmuwan mengatakan bahwa api yang membakar hutan telah melepaskan sejumlah gas rumah kaca. Anak-anak yang masih kecil sangat rentan karena sistem kekebalan tubuh mereka belum berkembang sementara bayi yang lahir dari ibu yang terpapar polusi selama kehamilan mungkin memiliki berat lahir rendah dan dilahirkan prematur, kata UNICEF.

“Kualitas udara yang buruk adalah tantangan yang berat dan terus memberat bagi Indonesia,” ujar Debora Comini dari UNICEF. “Setiap tahun, jutaan anak menghirup udara beracun yang mengancam kesehatan dan menyebabkan mereka meninggalkan sekolah – mengakibatkan kerusakan fisik dan kognitif seumur hidup.” Sekolah-sekolah telah ditutup di beberapa wilayah di Indonesia karena kualitas udara yang buruk, dan jutaan anak-anak tidak bisa mengikuti pelajaran. Di Malaysia, sekolah-sekolah juga terpaksa tutup pekan lalu karena tebalnya kabut asap. Singapura juga diselimuti kabut asap selama balapan motor Formula Satu akhir pekan. Namun kualitas udara di Malaysia dan Singapura juga dilaporkan telah membaik dan langit lebih cerah.

Penegakan Hukum Dinilai Tidak Serius

Sementara organisasi yang bergerak di bidang lingkungan, Greenpeace Indonesia, menyesalkan tidak adanya sanksi signifikan baik perdata maupun sanksi administratif kepada sejumlah perusahaan yang diduga memiliki area lahan yang terbakar. Berdasarkan analisis pemetaan terbaru Greenpeace Indonesia terdapat sepuluh perusahaan kelapa sawit yang memiliki area lahan terbakar terbesar dari 2015 hingga 2018. Namun Greenpeace menyayangkan pemerintah yang belum mencabut satu pun izin konsesi sawit atas kebakaran hutan dan lahan tersebut.

“Menghentikan krisis kebakaran yang berulang ini seharusnya menjadi agenda utama pemerintah sejak 2015. Tetapi temuan kami menunjukkan hanya kata-kata belaka sementara penegakan hukum masih lemah dan tidak konsisten terhadap perusahaan. Presiden Jokowi dan para menterinya harus segera mencabut izin perusahaan yang di lahannya terjadi kebakaran,” ujar Kiki Taufik, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia, dalam sebuah pernyataan. Sejak awal Agustus hingga 18 September, kebakaran telah melepaskan sekitar 360 megaton gas rumah kaca, dibandingkan dengan 400 megaton selama periode yang sama empat tahun lalu, kata layanan Copernicus Atmosphere Monitoring Service, yang merupakan bagian dari program observasi bumi milik Uni Eropa.

Alami Penurunan

Betapapun bencana Karhutla belum tertangani tuntas, namun Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mencatat, luas areal kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia mencapai 296 ribu hektare pada 2020. Jumlah tersebut mengalami penurunan hingga 82,01% dari tahun sebelumnya yang mencapai 1,65 juta hektare.

Tak hanya itu, KLHK juga menyebut titik panas (hotspot) menurun pada tahun lalu. Berdasarkan pemantauan melalui satelit Terra/Aqua (NASA) dengan confidence level lebih dari 80%, terdapat 2.565 hotspot sepanjang 2020. Angkanya lebih rendah dibandingkan pada 2019 yang mencapai 29.337 hotspot.

Sementara berdasarkan pemantauan melalui satelit NOAA dengan confidence level lebih dari 80%, ada 1.144 hotspot pada tahun lalu. Jumlah itu menurun 85,4% dibandingkan pada 2019 yang mencapai 7.830 titik. Menteri KLHK Siti Nurbaya mengatakan, penurunan karhutla terjadi karena adanya upaya pencegahan yang lebih masif dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Salah satunya dengan melakukan teknik modifikasi cuaca yang bekerja sama dengan BMKG, BPPT, BNPB, dan TNI AU. Patroli terpadu pencegahan karhutla juga dilakukan di 822 desa. Selain itu, ada patroli mandiri yang digelar di 776 desa rawan karhutla.

Solusi

Acep Akbar, peneliti utama Bidang Kebakaran Hutan dan Silvikultur dari Balai Peneliti dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan (BP2LHK) Banjarbaru, menjelaskan ada banyak faktor penyebab kebakaran hutan dan lahan. Dia menilai untuk penyebab kebakaran hutan ini sudah umum. Termasuk masyarakat perorangan, seperti warga sekitar hutan yang membuka lahan untuk berladang. Perusahaan yang tidak berizin usaha ketika membuka lahan untuk ditanami kelapa sawit. Ada juga pembakaran arsonis (yang direncanakan), atau bermotif kriminal.

“Kebakaran juga bisa terjadi saat orang membuka akses untuk memanfaatkan sumber daya alam di dalam hutan. Bisa ikan, hutan, bisa hasil hutan, kayu atau lebah madu,” jelas Acep. Menurut dia, untuk saat ini isu yang sedang ramai yaitu kebakaran hutan di lahan gambut. Karena kebakaran di lahan mineral itu dirasa tidak menghasilkan asap tebal, pada umumnya bahan bakarnya kering, dan kadar airnya rendah. Sehingga pembakaranya dinilai sempurna, tidak menghasilkan koloid asap. Karena itu, untuk saat ini yang menjadi perhatian oleh banyak kalangan itu justru lebih kepada lahan gambut.

Profesor riset bidang kebakaran hutan dan silvikultur ini melanjutkan, untuk solusinya harus ada pembinaan ke para pengguna api. Karena menurutnya, pada dasarnya manusia hanya bisa melakukan pencegahan dan pemadaman sejak dini. Jika sudah terlanjur luas, itu sudah dianggap sebagai bencana anthropogenic disasters yang dibuat oleh manusia. “Atau strategi seperti apa yang saya sebut dengan pengelolaan atau pencegahan kebakaran berbasis masyarakat sekitar hutan,” katanya. Menurut dia, keterlibatan masyarakat sekitar hutan sangat dibutuhkan.

Seperti pemberdayaan masyarakat melalui pembentukan Masyarakat Peduli Api. Selain itu, juga harus ada pelatihan, fasilitas, biaya operasional secara intensif. “Saya mengusulkan, kalau misalkan dana desa dianggarkan untuk itu kan sebenarnya lebih praktis dan juga efektif,” kata pria penulis buku ‘Pemahaman dan Solusi Masalah Kebakaran Hutan di Indonesia’ itu. Lanjutnya, di masyarakat tertentu kearifan lokal dalam mencegah kebakaran hutan itu sebenarnya sudah terbentuk. Beberapa desa seperti Kalimantan Selatan, Desa Mawangi, Suku Banjar. Kemudian di Desa Loksado, Suku Dayak, di sekitar kampung mereka tidak ada kebakaran hutan. “Mereka tertib sekali, tetap membakar tetapi terkendali. Lahannya dikeringkan dulu sehingga tidak menghasilkan asap, kemudian disekat, dan mereka bergiliran, tidak serentak,” ujarnya.

Untuk solusi berikutnya yaitu pembuatan teknologi yang sifatnya bisa dipakai untuk lahan organik sisa-sisa kebakaran seperti tunggak kayu. Teknologi itu harus bisa digunakan untuk membuat bahan yang bermanfaat dan memiliki nilai jual. “Kalau misalkan itu bisa dimanfaatkan, saya yakin pembakaran yang biasa dilakukan akan berkurang, tapi sekali lagi itu juga harus didukung dengan sistem pemasaran, lebih-lebih bisa sampai ekspor,” pungkasnya. (Safa)

Baca juga : Kebebasan Berekspresi, Berkumpul Berpendapat, dan Hak Informasi Dari Masa ke Masa

Exit mobile version