Site icon Risalahnegeriku

BSU 2025 Dinilai Tak Efektif Jaga Daya Beli, LPEM UI Soroti Nominal

LPEM FEB UI

LPEM FEB UI

Jakarta – Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) melontarkan peringatan keras terkait efektivitas Bantuan Subsidi Upah (BSU) yang kembali digelontorkan pemerintah untuk periode Juni-Juli 2025. Menurut LPEM FEB UI, besaran nominal BSU saat ini dinilai tidak akan mampu menjaga daya beli masyarakat pekerja.

Dalam kajian terbaru mereka, “Bantuan Subsidi Upah (BSU) Setelah Lima Tahun: Masihkah Relevan? Bagaimana Seharusnya Ke Depan?” yang diterbitkan dalam Labor Market Brief edisi Juni 2025, terungkap bahwa nilai riil BSU terus menurun dan tidak sejalan dengan kenaikan biaya hidup yang terjadi setiap tahunnya.

“Dari sisi real value, besaran manfaat BSU menunjukkan tren penurunan yang tidak sejalan dengan kenaikan biaya hidup,” demikian kutipan dari kajian yang ditulis oleh Muhammad Hanri dan Nia Kurnia Sholihah, Senin (16/6/2025).

LPEM FEB UI menyoroti bahwa nilai BSU tidak mengalami perubahan sejak pertama kali digulirkan pada masa Pandemi Covid-19 tahun 2020. Pada gelombang pertama (2020), penerima mendapatkan Rp600.000 per bulan selama empat bulan (total Rp2,4 juta). Namun, pada 2025, besaran manfaat yang diberikan hanya Rp300.000 per bulan selama dua bulan (total Rp600.000).

Daya Beli Tergerus Inflasi Kumulatif

Penurunan nilai riil BSU ini semakin diperparah dengan inflasi yang terus berlanjut selama lima tahun terakhir. Data Indeks Harga Konsumen (IHK) Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi secara tahun berjalan (ytd) sebesar 1,68% pada 2020, 1,87% pada 2021, melonjak menjadi 5,51% pada 2022, kemudian 2,61% pada 2023, dan 1,57% pada 2024.

“Selama periode yang sama, inflasi kumulatif, baik yang bersumber dari inflasi domestik maupun tekanan harga global, telah menyebabkan daya beli riil dari manfaat BSU turun signifikan,” bunyi laporan LPEM FEB UI.

Tanpa adanya mekanisme penyesuaian otomatis atau indeksasi terhadap inflasi atau upah minimum, LPEM FEB UI memandang efektivitas BSU dalam menjaga daya beli penerima semakin tergerus.

Keseragaman Nominal Abaikan Realitas Biaya Hidup Antar Daerah

Selain persoalan nilai riil, LPEM FEB UI juga mengkritisi desain pelaksanaan BSU yang memberlakukan nominal seragam secara nasional, tanpa mempertimbangkan variasi biaya hidup antar daerah. Sejak digulirkan dalam empat gelombang, BSU selalu ditetapkan dalam angka absolut yang sama, yakni Rp600 ribu per penerima, tanpa memandang lokasi tempat tinggal dan kerja pekerja.

Padahal, realitas biaya hidup di Indonesia menunjukkan ketimpangan signifikan. Sebagai contoh, Upah Minimum Provinsi (UMP) DKI Jakarta untuk 2025 telah mencapai lebih dari Rp5 juta per bulan, sementara di beberapa provinsi di kawasan timur Indonesia, UMP masih berkisar Rp2,5-3 juta. Perbedaan ini mencerminkan struktur biaya hidup yang bervariasi, mulai dari harga pangan, perumahan, transportasi, hingga kebutuhan dasar lainnya.

“Di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan, atau Batam, tekanan biaya hidup bagi pekerja berupah rendah jauh lebih berat, sehingga nominal bantuan seragam yang diterima pekerja di kota-kota ini memiliki dampak riil yang jauh lebih kecil dibandingkan di daerah dengan biaya hidup lebih rendah,” jelas LPEM FEB UI.

Fenomena urban poverty premium atau “kemahalan kemiskinan kota” semakin memperkuat argumen bahwa skema BSU yang seragam kurang responsif terhadap konteks sosial-ekonomi lokal. Garis kemiskinan di perkotaan cenderung lebih tinggi dibandingkan perdesaan, namun skema BSU belum mengadopsi pendekatan berbasis wilayah atau indeks biaya hidup.

“Pemberian BSU secara seragam juga dapat berkontribusi pada persepsi ketidakadilan antar wilayah,” tulis tim Kajian Perlindungan Sosial dan Tenaga Kerja LPEM FEB UI.

Pekerja di kota-kota besar mungkin merasa bantuan yang diterima tidak memadai untuk menutupi kenaikan harga kebutuhan pokok, sementara di wilayah dengan biaya hidup rendah, nominal yang sama mungkin memiliki dampak relatif lebih besar, namun tanpa penyesuaian jumlah penerima yang proporsional.

Rekomendasi LPEM FEB UI: Skema BSU Adaptif Regional

Melihat berbagai persoalan tersebut, LPEM FEB UI menilai ada ruang besar untuk penyempurnaan desain BSU agar lebih adaptif terhadap variasi regional. Salah satu opsi yang disarankan adalah penerapan skema bantuan berbasis zonasi biaya hidup, dengan merujuk pada Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK) atau Indeks Kemahalan Hidup (IKH) yang telah rutin dipublikasikan oleh BPS.

Alternatif lain adalah mengaitkan besaran bantuan dengan persentase tertentu dari UMP/UMK di masing-masing wilayah penerima, sehingga terjadi penyesuaian otomatis setiap tahun seiring perubahan struktur upah minimum.

“Opsi-opsi ini tidak hanya meningkatkan sense of fairness antar daerah, tetapi juga memperkuat efektivitas BSU sebagai instrumen perlindungan sosial yang lebih peka terhadap kondisi ekonomi lokal,” pungkas LPEM FEB UI dalam kajiannya.

Exit mobile version