Electronic traffic law enforcement (ETLE) telah resmi diberlakukan mulai 23 Maret 2021 secara nasional. Tinggal efektivitas dan konsistensinya yang harus terus dikawal.
Jakarta – (26/03/2021). ”ETLE adalah alat penegakan hukum canggih dan revolusioner,” tutur Kompol Arif Fazlurrahman, SH, S.Ik, M.Si dari Sekretariat Satgas ETLE Nasional saat melakukan pemaparan sekaligus demo penerapan ETLE sesaat setelah diresmikan penggunaannya oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo baru-baru ini.
Dalam pemaparannya, Arif melalui layar lebar di ruang back office ETLE mengajak Kapolri, Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung dan Menteri Kabinet lainnya untuk melihat penerapan dan praktek penegakan hukum melalui ETLE secara nasional di berbagai wilayah Kepolisian Daerah. Dimulai dari Bumi Lancang Kuning Polda Riau. Melalui layar monitor, kita bisa langsung melihat secara real time, ada lebih kurang 1600an pelanggaran lalu lintas. Dan ketika mengambil salah satu contoh pelanggaran, petugas kepolisian hanya cukup mengklik satu tombol dan akan terlihat lengkap pengendara sepeda motor yang tidak menggunakan helm lengkap dengan data lokasi, waktu pelanggaran, foto pelanggar lengkap dengan nomor polisinya yang kemudian diverifikasi melalui sistem sehingga langsung terdeteksi alamat rumah pemilik kendaraan. Dengan data tersebut, petugas kemudian mengirimkan surat tilang ke alamat yang tertera di STNK dengan akurat.
Begitu pula ketika menunjukkan pelanggaran lalu lintas di Jakarta. ETLE Polda Metro Jaya mendapati satu pengendara roda empat bernomor polisi Jawa Tengah tertangkap kamera ETLE melakukan pelanggaran lalu lintas di wilayah Polda Metro Jaya. Tidak butuh waktu lama, data pelanggar tersebut dikirim langsung ke Polda Jawa Tengah, dan petugas di sana dapat langsung memverifikasi detil nama dan alamat pengendara tersebut. ”Ini memungkinkan karena ETLE nasional sudah mengintegrasikan 12 ETLE Polda di Indonesia dengan big data secara nasional,” tutur Arif.
Selanjutnya Arif menjelaskan, bahwa hal itu dapat dilakukan tanpa ada interaksi antara petugas dan pelanggar, sehingga penegakan hukum bisa lebih objektif, transparan karena semuanya berbasis data. Dalam surat yang dikirimkan kepada pelanggar, kecuali memaparkan pelanggaran, juga dilengkapi bukti foto besaran denda yang harus dibayarkan via rekening virtual Bank BRI. Sehingga sangat personal dan tidak perlu antri.
Menghilangkan Antrian Pelanggar
Bila kita sempat datang ke Kantor Pengadilan Negeri pada hari-hari tertentu di hampir seluruh kabupaten di Indonesia, bisa dipastikan yang pertama kali kita temukan adalah kerumunan. Sebenarnya itu adalah antrean (wakil) para pelanggar lalu-lintas akan bersidang dan setelah itu membayar denda sesuai ketentuan. Hanya saja, banyaknya orang membuat antrean itu berubah menjadi laiknya kerumunan. Untuk bisa membayangkan kondisi kerumunan, kata sensitif dan berbahaya di era pandemi Covid-19 tersebut, tak sulit. Bayangkan manakala rata-rata pelanggaran lalu-lintas per kabupaten/kota itu sekitar 20.000 pelanggar per hari. Artinya, sepekan saja bisa mencapai angka 140 ribu, sebulan 560 ribu dan setahun mencapai 6,72 juta pelanggar yang mengantre untuk bersidang dan membayar denda.
“Bayangkan bila penerapan ETLE diperluas, maka ini akan menghindarkan kerumunan orang sebanyak lebih dari 6 juta orang setahun, sebuah angka yang sangat siginifikan baik untuk berpotensi menularkan Covid dan mencegah Covid jika ditiadakan dengan adanya ETLE ini,“ ungkap Nova Andika Direktur Eksekutif Indonesia Bureaucracy and Service Watch ( IBSW) dalam keterangannya di Jakarta baru-baru ini.
Dengan kondisi seperti itu, wajar bila Nova Andika mengatagorikannya sebagai bahaya. “Kondisi seperti itu membuat Kantor Pengadilan dan Kejaksaan bukan hanya tidak sehat. Di masa pandemi, itu bahkan rawan dan berbahaya,” jelasnya. Selain bahaya penularan Covid-19 akibat kerumunan, ada pula peluang besarnya potensi konflik antara petugas dan pelanggar lalin, yang sering terlihat di media dan medsos dimana pelanggar ngotot tidak merasa melanggar peraturan. Untuk itu IBSW merasa antusias manakala mendengar komitmen Kapolri untuk segera melakukan perluasan teknologi tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE), sebagai bagian dari program nyata 100 hari pertama.
Solusi Beragam Masalah
“Tak ada yang bisa membantah, inilah solusi tepat untuk kedua persoalan tersebut. Kalau merujuk dongeng Grim di masa kanak-kanak, ETLE itu bagaikan dongeng Sekali Tepuk Tujuh Nyawa,” kata Nova, menganalogikan bagaimana sebuah solusi bisa membereskan banyak persoalan. Menurut Nova, perluasan ETLE yang tahap pertama akan dilakukan di 12 Polda juga menunjukkan visi Kapolri yang tidak hanya jauh terentang ke depan dan akrab dengan teknologi. Solusi yang diambil Kapolri itu pun, kata dia, menunjukkan bagaimana Polri memilih cara yang memungkinkan Polri mengikis habis potensi kerumunan yang berbahaya, yang saat ini masih menjadi pemandangan biasa di kantor-kantor PN seluruh Indonesia pada saat jadwal sidang pelanggaran lalu lintas.
Satu yang terpenting, kata Nova, perluasan ETLE yang digagas Kapolri dan akan direalisasikan Korlantas juga sejalan dengan revolusi industri 4.0 dan mendukung penguatan delapan komitmen Kapolri, yang salah satunya adalah tekad menjadikan Polri sebagai institusi yang PRESISI, yakni prediktif, responsibilitas, transparan dan berkeadilan. Bahkan, tidak sekadar urusan kerumunan dan meminimalisasi kontak langsung antara petugas dan pengguna lalu lintas, meyakini, ETLE juga bisa menjadi gerbang pembuka bagi Polri untuk menjadi institusi yang bersih dan bebas korupsi dalam hal ini suap ungkap Nova.
Pasalnya, ETLE juga kian menutup peluang terjadinya pungli di jalanan, sebagaimana masih sering kita dengar. “Jadi, ETLE secara sistemik akan sangat mengurangi potensi kerumunan dan kontak langsung di satu sisi, serta mengikis perilaku korupsi di sisi lain, dengan menutup peluang kontak langsung,” kata dia. Alhasil, ETLE secara paralel juga menghilangkan potensi konflik antara warga masyarakat dengan petugas Kepolisian, yang masih sering kita saksikan berkaitan dengan penegasan sanksi Tilang ini. Sebagaimana diketahui, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memasukkan perluasan teknologi tilang elektronik atau Electronic Traffic Law Enforcement (ETLE), sebagai bagian dari program nyata di 100 hari pertamanya sebagai pimpinan tertinggi Kepolisian. Rencana strategis itu segera direspons Kakorlantas Polri Irjen Istiono dengan membentuk Satgas ETLE nasional.
Pada tahap awal, Kakorlantas menyatakan Satgas kini tengah menyiapkan fasilitas untuk segera me-launching 244 titik kamera ETLE di 12 Polda di Indonesia mulai 23 Maret 2021 oleh Kapolri, yakni Polda Metro Jaya, Polda Jawa Barat, Polda Jawa Tengah, Polda Jawa Timur, Polda DIY, Polda Riau, Polda Jambi, Polda Sumatra Barat, Polda Lampung dan Polda Sulawesi Selatan, Polda Sulawesi Utara dan Polda Banten. Selama ini ETLE terbukti merupakan sistem penegakan hukum di bidang lalu lintas yang dinilai efektif.
Berbagai Reaksi Masyarakat
Sistem ETLE (electronic traffic law enforcement) atau tilang elektronik, yang segera diberlakukan mendapat sorotan pakar teknologi informasi. Termasuk di Jawa Tengah, sistem ini akan diberlakukan pada mulai 23 Maret 2021. “ETLE sebenarnya sudah pernah diberlakukan tahun 2018. Namun karena deteksi pelanggaran lalu lintasnya masih semi-manual dalam arti masih membutuhkan campur tangan petugas akhirnya ETLE tidak berlanjut,” kata pakar IT Solichul Huda. Dia mengatakan, penerapan ETLE yang digagas Kapolri memiliki tujuan bagus yakni mengurangi tilang di jalanan. Selama ini, tilang di jalanan dikeluhkan masyarakat karena kerap terjadi penyalahgunaan kewenangan oleh petugas. “Kapolri baru memiliki program kerja akan memberlakukan ETLE ini dengan berbagai perbaikan,” katanya.
Menurutnya, implementasi ETLE dapat menggunakan dua model. Pertama mendeteksi pelanggaran secara otomatis oleh sistem. Kemudian, kedua mendeteksi pelanggaran menggunakan IT, namun validasi dilakukan oleh petugas. “Yang bagus penerapan ETLE model pertama. Identifikasi jenis pelanggaran, identitas kendaraan dilakukan secara otomasi oleh perangkat CCTV dan perekam pelat nomor kendaraan,” katanya. “Setiap pelanggaran yang terdeteksi misalnya melanggar marka jalan berdasarkan pelat nomor sistem ini langsung dapat mengetahui kendaraan yang melanggar dan denda diakumulasikan ketika pemilik melakukan pembayaran pajak kendaraan. Semua bukti tersimpan secara otomatis oleh sistem,” ujar dia.
Sistem otomatis ETLE akan mendeteksi pelanggaran tanpa memperhatikan pemilik kendaraan. Sehingga penerapannya bisa lebih objektif, karena tanpa subjektivitas campur tangan petugas dalam penentuan tilang. “Dalam ETLE semi manual Apa mungkin kalau ternyata pemilik kendaraan adalah keluarga atau teman dekat petugas, dia akan melakukan tilang? Akan tetapi butuh waktu kalau model otomatis ini akan diberlakukan di Indonesia, karena butuh pelat nomor standar baik warna dan ukuran nomor pelatnya sehingga dapat terbaca oleh CCTV secara otomatis,” tegasnya. “Model ini akan terkendala jika ada pelat nomor palsu, atau kendaraan yang tidak menggunakan pelat nomor. Atau pelat nomor tidak diletakkan di tempat yang semestinya. Misalnya sepeda motor yang menaruh pelat nomor di samping kiri atau kanan,” tandasnya. Dia pun menyebut dengan infrastruktur saat ini, penerapan tilang elektronik masih belum efektif.
“Belum efektif. Memang kalau memberlakukan ETLE otomatis, ada beberapa pembenahan yang harus dilakukan. Mulai dari pemasangan alat identifikasi marka jalan, standar pelat nomor, serta penerangan jalan yang mencukupi, ini yang butuh waktu dan biaya besar,” katanya. Doktor Ilmu Komputer itu menyampaikan, model kedua ETLE pernah diberlakukan pada 2018 dengan sistem semi-manual. Petugas memasang CCTV di berbagai titik, jika diidentifikasi terjadi pelanggaran lalu lintas akan diverifikasi ETLE NTMC untuk validasi pelanggaran. Kemudian memberitahu ke pelanggar untuk validasi tentang kepemilikan kendaraan yang melanggar, sekaligus meminta pembayaran besaran tilang dalam kurun waktu tertentu.
“Kalau tujuannya untuk menghindari tilang oleh oknum, untuk sementara sudah tepat. Namun dengan berkembangnya perangkat teknologi informasi, model ETLE ini harus diubah menjadi model ETLE otomatis. Saya yakin jika ini dijalankan serius oleh polantas, dalam waktu tiga tahun pasti ETLE otomatis dapat diberlakukan di Indonesia,” ujarnya. “Kelemahan ETLE yang akan diberlakukan ini, sebuah kendaraan melanggar atau tidak itu diputuskan oleh petugas yaitu petugas posko NTMC. Sehingga ada kemungkinan jika ada kendaraan melanggar dan petugas kenal baik dengan pemiliknya, ada kemungkinan pelanggaran tersebut oleh petugas dianggap tidak ada,” ujar dia.
Kamera Portable
Sebelumnya, Dirlantas Polda Jateng Kombes Pol Rudy Syafiruddin, mengatakan, terdapat 27 titik yang sudah terpasang kamera untuk penindakan ETLE. Di antaranya, 6 titik di Polres Surakarta, 1 di Polres Kebumen, 2 di Polres Cilacap, 1 Polres Wonogiri, 1 Polres Karanganyar, 2 Polres Klaten, 2 Polres Pati, 1 Polres Kudus,1 Polres Demak, 1 Polres Purbalingga. “Jadi e-tilang ini akan kita launching tanggal 23 Maret sebanyak 27 titik, itu tahap pertama. Tahap kedua nanti akan kita launching di April mungkin sekitar 50 titik. Tapi untuk yang April masih menggunakan kamera portabel, di mana keseluruhan pengguna jalan nanti yang akan melakukan kegiatan kurang terpuji yaitu melakukan pelanggaran, akan terekam, terfoto oleh kamera-kamera ETLE yang sudah kita pasang,” kata Dirlantas.
“Ini membuat masyarakat dengan sendirinya menjadi pintar. Dia harus pintar terhadap dirinya sendiri, dia harus mulai tertib bagaimana melakukan rangkaian kegiatan perjalanan, mengatur ritme administrasi dia sendiri sehingga tanpa disadari kita memberikan pembelajaran terhadap masyarakat menjadi orang yang pintar,” katanya. “Sebetulnya ETLE ini di kita sudah terpasang sejak tiga tahun lalu, tapi tidak bisa dilakukan. Karena memang regulasi belum ada. Sekarang kita lakukan seluruhnya, kami bekerjasama dengan Dispenda dan Dinas Perhubungan,” ujarnya.
Lebih hati-hati
”Para sahabat/sedulurku semuanya, hati-hati sekarang. Kalau lewat toll, karena sore tadi saya ketangkep kamera kecepatan rata2 140 km/jam,” ucap Dharma seorang pengendara yang tinggal di Malang Jawa Timur. ”Ini perjalanan dari Madiun ke Surabaya. Saya sudah pura-pura bilang gak terasa, sama polisi ditunjukkan detailnya. Dari Madiun sampai exit Waru ada rekamannya di HP Polisi. Bahkan sampai detail berapa kilometer saya berjalan dengan kecepatan 170 (saat istri tidur), 160, sampai 128km/jam. Dan dirata2 140km/jam,” ujarnya, seraya mengatakan bahwa dia gak bisa menolak, karena semuanya begitu nyata dan otentik. ”Canggih alatnya sekarang. Dan tadi hampir semua pengendara kena tilang,” tuturnya. Luar biasa penerapan ETLE ini. Dengan adalanya ETLE, pengendara seperti Dharma juga mengimbau agar kini harus lebih sabar jika melewati tol, jangan sampai melebihi 100km/jam. Pasti kena tilang. ”Kalau gak ditilang langsung, akan disurati E-Tilang,” tambahnya.
Butuh Konsistensi
Kecanggihan ETLE, di satu sisi sangat dibutuhkan untuk menegakkan hukum lalu lintas di tanah air. Namun perlu diingat bahwa sebaik apa pun sistem yang digunakan akan kembali kepada kita semua dalam menjaga dan menaati aturan lalu lintas. Namun pada prakteknya, masyarakat pada umumnya akan mengikuti peraturan dan perundangan yang berlaku bila ditegakkan secara konsisten dan konsekuen oleh aparat penegak hukum khususnya polisi. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pelanggaran berbagai aturan, karena selalu ada celah untuk dimanfaatkan. Nah, urusan celah hukum ini, yang lebih paham pastinya adalah penegak hukum atau yang betul-betul mengerti hukum. Jadi intinya, ketertiban lalu lintas akan terjadi bila ada konsistensi dari penegak hukum untuk tidak pandang bulu dalam menegakkan aturan.
ETLE sangat membantu untuk tegas, transparan dan akuntabel. Inilah saatnya mewujudkan Polri yang bersih, berwibawa, modern dan humanis sebagaimana motto yang senantiasa didengungkan. Dapatkah hal itu terwujud ? (Saf).