Inanegeriku – Indonesia punya potensi ekonomi kelautan yang sangat melimpah. Hal ini didasarkan pada data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) tahun 2020 memperkirakan potensi ini bisa mencapai US$ 1338 miliar atau Rp19,6 triliun per tahun.
Namun, sudahkah potensi ini dimanfaatkan dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia?
“Permasalahannya adalah bahwa potensi luar biasa ini belum bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia secara optimal,” ungkap Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Padjadjaran Prof. Dr. Zuzy Anna.
Publikasi PDB Maritim Indonesia 2010-2016 yang dikeluarkan Kementerian Koordinator Maritim dan Biro Pusat Statistik menunjukkan, kontribusi sektor kelautan di Indonesia terhadap ekonomi bangsa masih jauh dari harapan, yaitu hanya sekitar 6% dari Produk Domestik Bruto Indonesia pada tahun 2018.
Namun, secara perlahan, hampir seluruh provinsi di Indonesia memiliki rencana pengelolaan kawasan laut mereka (tata ruang laut) atau nama resminya, Rencana Zonasi Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3) sejak tahun 2014.
Prof. Zuzy menjelaskan, dokumen ini digunakan untuk memetakan pemanfaatan sumber daya kelautan secara berkelanjutan, setidaknya selama 20 tahun mendatang.
“Bukan tidak mungkin, sektor kelautan memiliki kesempatan untuk menjadi salah satu penopang ekonomi negeri ini di masa depan,” tuturnya.
Beberapa Potensi yang Dimiliki Ekonomi Maritim
Menurut Guru Besar bidang Ilmu Ekonomi Sumber Daya Perikanan ini, ada beberapa potensi tersembunyi dari kelautan Indonesia yang bisa dikembangkan secara ekonomi, antara lain kawasan konservasi perairan, pariwisata, dan kekayaan arkeologi.
Kawasan Konservasi Perairan
Di sektor kawasan konservasi perairan, Indonesia sudah menetapkan lebih dari 20 juta hektare kawasan konservasi perairan (Marine Protected Areas) pada tahun 2020.
Awalnya, proses penetapan kawasan konservasi laut di Indonesia dianggap hanya mengeluarkan biaya tanpa ada pemasukan. Namun, pengelolaan kawasan konservasi laut ini memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Nilai ekonomi ini berasal dari kegiatan pemanfaatan riset yang menggali potensi kelautan dan perikanan bagi manusia.
“Konservasi laut juga memberikan nilai ekonomi dalam bentuk kelebihan (spill over) sumber daya ikan yang dapat dimanfaatkan nelayan di luar kawasan konservasi,” terangnya.
Baca Juga: Mengenal Ekonomi Maritim Indonesia
Pemanfaatan ekowisata di kawasan konservasi perairan juga akan mendatangkan keuntungan ekonomi dalam bentuk pemasukan daerah melalui kunjungan turis lokal maupun mancanegara. Ditambah lagi, konsep ekosistem yang menjaga keseimbangan ekosistem akan membantu upaya perlindungan alam.
Lalu, kekayaan keanekaragaman hayati yang bermanfaat untuk bahan baku obat-obatan, kosmetika, hingga pangan juga memiliki nilai ekonomi.
Kekayaan lainnya adalah, laut menyimpan sejumlah energi terbarukan maupun tidak terbarukan.
Sumber daya energi terbarukan yang bisa diberdayakan seperti panas air laut, gelombang laut, hingga arus laut. Sementara sumber daya energi tidak terbarukan terdapat di dasar laut, seperti minyak dan gas bumi.
Sayangnya, potensi ini sampai sekarang masih belum dapat dimanfaatkan. Belum adanya kemauan politik yang kuat, baik pemerintah maupun pemangku kepentingan lainnya, untuk mau terjun dalam mengembangkan potensi sumber daya energi ini.
Pariwisata
Prof. Zuzy mengatakan, pariwisata bahari bagaikan raksasa tidur yang mesti dibangunkan. Sektor ini menjadi daya tarik Indonesia.
“Sektor ini berpotensi menjadi sumber devisa yang sangat signifikan setelah minyak bumi. Selain itu, wisata bahari juga menjadi sumber pertumbuhan dan penyerapan tenaga kerja,” ujarnya.
Publikasi PDB Maritim Indonesia 2010-2016. menyebutkan bahwa pencapaian tertinggi wisata bahari menyumbang 4.88% pada tahun 2015. Pemerintah Indonesia sendiri memiliki target untuk meningkatkan angka ini hingga 2 kali lipat atau setara dengan kedatangan 20 juta wisatawan mulai tahun 2019.
Pariwisata bahari merupakan kegiatan yang melibatkan pengetahuan interdisiplin seperti pariwisata, ilmu kelautan, geografi, ilmu sosial, psikologi, ilmu lingkungan, ekonomi, pemasaran dengan berbagai isu manajemen laut.
Untuk mengembangkan pariwisata bahari memerlukan perencanaan dan pengembangan yang terintegrasi, antarsektor, antarwilayah, dan antardisiplin ilmu.
Meski pandemi Covid-19 melanda, sektor ini tetap akan menjanjikan dalam jangka panjang sehingga pemerintah harus terus-menerus mengembangkannya.
Kekayaan Arkeologi
Potensi laut yang selama ini luput dari perhatian adalah kekayaan arkeologi. Sektor ini bak harta karun yang terpendam di wilayah laut Indonesia.
Prof. Zuzy menjelaskan, kekayaan arkeologi ini berasal dari kapal karam di masa lalu yang membawa berbagai barang berharga seperti koin mas, dan barang-barang antik.
Data Kementerian Kelautan dan Perikanan tahun 2000 menyebutkan ada 463 lokasi kapal tenggelam (shipwrecks) yang tersebar di perairan Indonesia. Dari sisi ekonomi, lokasi kapal tenggelam ternyata memiliki potensi ekonomi antara antara US$80,000 (Rp1,1 miliar) hingga US$18 juta (Rp264 miliar).
Selain nilai ekonominya, harta karun tersebut juga bisa menjadi tujuan pariwisata yang bisa menghasilkan antara US$800 (Rp11,7 juta) hingga US$126 ribu (Rp1,8 miliar) per bulan per lokasi.
Contohnya, wisata menyelam di desa Tulamben, kabupaten Karangasem, Bali, untuk melihat kerangka kapal USAT Liberty, sebuah kapal kargo milik Amerika Serikat yang tenggelam saat Perang Dunia II, tahun 1942.
Kebijakan Pendukung
Untuk mengoptimalkan potensi dan kesempatan sektor kelautan Indonesia, pemerintah perlu menyiapkan kebijakan pendukung. Pembangunan infastruktur laut dan mengeluarkan kebijakan yang berorientasi pada pertumbuhan ekonomi secara berkelanjutan merupakan beberapa kebijakan yang bisa dilakukan.
Dari segi infrastruktur, Indonesia sudah mulai membangun tol laut sejak tahun 2015. Tol laut merupakan sistem transportasi antarpulau menggunakan kapal-kapal besar untuk distribusi logistik. Sistem ini penting bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan.
Selain membangun tol laut, pemerintah juga perlu meningkatkan kapasitas armada penangkapan ikan Indonesia, terutama ukuran kapal di atas 10 gross tonnage (GT).
Hingga kini, kemampuan armada penangkapan ikan Indonesia masih didominasi oleh kapal ukuran kecil dan perikanan skala kecil yang lebih banyak beroperasi di perairan pesisir sampai dengan 12 mil.
Ini menyebabkan kondisi kekosongan armada di perairan kita, terutama di perairan ZEE (Kawasan Ekonomi Khusus), 200 mil dari pulau terluar. “Konsekuensinya, banyak kapal-kapal asing tidak berizin yang mencuri sumber daya ikan Indonesia atau illegal fishing,” kata Prof. Zuzy.
Selanjutnya, pengelolaan kawasan laut Indonesia pada dasarnya dapat dioptimalkan dengan menggunakan kerangka ekonomi biru (blue economy), sebuah konsep tata kelola laut secara berkelanjutan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi.
Konsep pembangunan ekonomi biru ini diadaptasi untuk ekonomi kelautan yang dikenal dengan semboyan “Blue Sky, Blue Ocean” di mana “ekonomi tumbuh, rakyat Sejahtera, tetapi langit dan laut tetap biru”.
Berbagai praktik pengelolaan ekonomi biru, seperti ekowisata, pembayaran jasa lingkungan, penghijauan pesisir dengan menanam mangrove, inovasi produk-produk kelautan skala kecil yang ramah lingkungan, sudah dilakukan di perairan Indonesia.
“Harapannya, kita akan dapat membangun ekonomi kelautan yang sehat, efisien, dan berkelanjutan,” ujarnya.
Dari segi investasi, sektor kelautan perlu menerapkan sistem yang menguntungkan tanpa merusak lingkungan dengan memadukan modal swasta (filantropi atau hibah), publik, dan pemerintah (subsidi) untuk mendanai proyek pemulihan ekosistem pesisir laut secara berkelanjutan
Model investasi ini juga bisa diterapkan dalam membangun infrastuktur laut, seperti pelabuhan, sarana dan prasarana untuk energi laut terbarukan, hingga riset.
Terakhir, tentu saja kebijakan yang dikeluarkan harus berpihak pada sektor akar rumput. Industri kecil dan menengah di sektor kelautan, terutama di wilayah Indonesia bagian timur yang memiliki potensi kelautan yang tinggi, harus dirangkul dengan baik oleh pemerintah.
Kebijakan yang dimaksud adalah kebijakan terkait pembangunan infrastruktur pelabuhan, tempat pelelangan ikan (TPI), hingga unit pendingin di kawasan timur Indonesia.
Daerah timur Indonesia juga membutuhkan perhatian lebih karena menyumbang hampir 40% dari total hasil ikan laut di Indonesia, meskipun aktivitas ekonomi di sana hanya bernilai kurang dari 9% dari total aktivitas ekonomi nasional.
Baca Juga: Pengembangan Ekonomi Maritim dan Agrikultur di Indonesia
Sumber: UNPAR PRESS | Editor: Hegi