Jakarta – Sejumlah mantan pemain perempuan Oriental Circus Indonesia (OCI) mengungkap pengalaman kelam mereka saat bekerja di kelompok sirkus legendaris tersebut. Dalam audiensi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) pada Selasa (15/4), mereka menyampaikan langsung kepada Wakil Menteri HAM, Mugiyanto, bahwa selama bertahun-tahun mengalami kekerasan fisik, eksploitasi, hingga tekanan psikologis yang mendalam.
Para korban menyebut, selain tidak menerima upah secara layak, mereka juga dipaksa bekerja dalam jam kerja yang sangat panjang dan tidak manusiawi. Beberapa di antaranya menyatakan bahwa kekerasan terjadi tidak hanya selama latihan, tetapi juga saat mereka tampil di atas panggung.
Dalam kesempatan yang sama, nama Taman Safari Indonesia turut disebut dalam audiensi, meski belum ada keterangan resmi lebih lanjut terkait keterlibatannya.
Pengakuan para mantan pemain ini menyingkap sisi gelap di balik kemegahan pertunjukan OCI, yang selama puluhan tahun dikenal sebagai pelopor sirkus modern di Indonesia.
Jejak Panjang Oriental Circus Indonesia
Oriental Circus Indonesia pertama kali hadir pada 1967, digagas oleh Hadi Manansang yang terinspirasi dari pertunjukan sirkus di Tiongkok. Sebelum mendirikan OCI, Hadi lebih dulu merintis kelompok sirkus Bintang Akrobat dan Gadis Plastik, hingga akhirnya membentuk Oriental Show yang resmi menjadi Oriental Circus Indonesia pada tahun 1972.
OCI dikenal luas pada era 1980-an hingga awal 2000-an sebagai sirkus keliling terbesar di Indonesia. Atraksinya meliputi flying trapeze, badut, juggling, sulap, akrobatik, hingga pertunjukan hewan liar. Dalam masa keemasannya, mereka rutin menggelar pertunjukan di lebih dari 15 kota setiap tahun, dengan total sekitar 40 ribu pertunjukan dan ditonton lebih dari 17 juta penonton.
Namun, memasuki akhir 2019, kiprah OCI mulai meredup seiring dengan menurunnya minat masyarakat terhadap pertunjukan sirkus dan bergesernya tren hiburan ke arah digital dan visual interaktif.
Kini, nama Oriental Circus Indonesia kembali mencuat, bukan karena prestasi panggung, melainkan karena dugaan pelanggaran hak asasi manusia terhadap para mantan pemainnya. Kasus ini pun menjadi sorotan publik dan diharapkan menjadi momentum evaluasi terhadap praktik kerja di dunia hiburan, khususnya sirkus.
Baca Juga : Indonesia Siap Jadi Tuan Rumah Forum Pariwisata Regional CAP-CSA ke-37