Site icon Risalahnegeriku

Nilai-nilai keteladanan Jenderal Hoegeng: Bagaimana agar tetap relevan untuk polisi masa kini?

Jenderal Hoegeng 2

Meskipun nilai-nilainya begitu ideal dan hebat, harus diingat bahwa baik Hoegeng dan Soekanto adalah teladan-teladan yang berasal dari tingkat elit. Mereka mungkin bisa lebih leluasa menerapkan nilai-nilai mereka ketimbang para polisi yang berada di tingkat bawahnya menurut Menurut Prof David Reeve dari UNSW. Harus diakui bahwa keteladanan seorang elit atau pemimpin di lingkungan kepolisian bukannya satu-satunya bentuk keteladanan yang ada. Baik Hoegeng maupun Soekanto ataupun sosok semacam Brigjen Polisi Kaharoeddin Dt Rangkayo Basa jelas telah kaya dalam memberi contoh-contoh keteladanana. Namun contoh-contoh keteladanan dari tingkat bawah harus juga dimunculkan dan diapresiasikan, utamanya agar bisa tampak lebih relevan dan membumi dengan situasi kini. Sulitnya mencari sosok polisi teladan yang jujur dan berintegritas telah membawa inisiatif untuk pemilihan sosok polisi-polisi ideal di tingkat daerah. Dari beberapa acara pemilihan itu ternyata ada cukup  banyak sosok polisi yang profesional ketimbang yang tidak. Karena itu. upaya lebih menggalakkan pemilihan polisi teladan di tingkat Polres perlu terus disokong dan disambut gembira. Ia merupakan bagian upaya strategis untuk melestarikan nilai-nilai ideal polisi yang dibutuhkan. Kisah-kisah keteladanan dari jajaran polisi di tingkat Bhabikamtibnas memperlihatkan masih relevannya antusiasme menjadi polisi yang lebih profesional dan penuh komitmen. Karenanya, kisah-kisah mereka tidak saja perlu disebarluaskan tapi juga dapat dipublikasikan sebagai bukti fakta konkrit keteladanan yang tetap ada. Mungkin sulit untuk melahirkan seorang dengan ketokohan yang seunik, seistimewa dan sekaliber Hoegeng atau Soekanto. Namun amanat Reformasi memperlihatkan bahwa Polri harus tetap melakan pembenahan-pembenahan yang harus disesuaikan dengan paradigma baru yang lebih cocok dengan situasi yang dihadapi sekarang.

Jakarta, 12 November 2021. Mewakili Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo, Kepala Badan Pemelihara Keamanan (Kabaharkam) Polri Komjen Pol Arief Sulistyanto baru-baru ini menyatakan kejujuran dan integritas Kapolri ke-5 Hoegeng Iman Santoso merupakan nilai-nilai yang harus lestari di lingkungan kepolisian.  Menurutnya, kejujuran yang dipraktikkan Hoegeng itu berakar dari keberanian. Pernyataan itu disampaikan untuk menilai sosok Hoegeng dalam peringatan 100 tahun almarhum Kapolri ke-5 di Jakarta baru-baru ini.

“Kejujuran itu tidak dapat dilakukan kalau tidak ada keberanian. Ia seorang yang bukan hanya jujur, tetapi juga berani jujur. Itu berarti dia berani berkorban, yakni mengorbankan kepentingannya dengan semua privilese yang dimiliki.” Arief selanjutnya mengharapkan nilai-nilai keteladanan Hoegeng Imam Santoso dapat terus memacu anggota Polri untuk bisa senantiasa jujur dan menjaga integritas mereka.

Siapakah Hoegeng Iman Santoso?

Sosok Hoegeng sebenarnya sudah dikenal luas tidak saja di lingkungan Polri namun juga oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Hoegeng adalah Kepala Polisi Republik Indonesia ke lima, menjabat posisi itu di masa awal Pemerintahan Presiden Soeharto pada era 1968-1971. Komitmennya menuntaskan kasus-kasus besar, menurut sejarawan Aswi Warman Adam menjadi penyebab mengapa ia diberhentikan Soeharto sebagai Kapolri.

Dalam buku Hoegeng, Polisi dan Menteri Teladan (2013) karya Suhartono, diceritakan bahwa ketika Hoegeng berkeinginan melaporkan soal penangkapan atas penyelundup mobil Robby Tjahyadi, ia dibuat kaget karena justru melihat orang yang akan ditangkapnya itu sudah lebih dulu berada di kediaman Presiden Soeharto.

Dengan alasan butuh penyegaran di tubuh kepolisian, Soeharto kemudian mengganti Hoegeng sebagai Kapolri. Saat itu, nama Hoegeng yang identik dengan polisi anti suap sebenarnya sudah diketahui oleh publik secara luas. Perjuangannya mencari keadilan bagi masyarakat masih terus dilakukannya sesudah ia pensiun. Hoegeng menjadi figur yang amat dihormati dan menjadi satu tokoh yang aktif mengkritik pemerintah lewat kiprahnya pada Kelompok Petisi 50.

Lelucon Polisi ala Gus Dur

Indonesia melepas kepergian Hoegeng sebagai putra terbaik bangsa pada 14 Juli 2004. Karena sosok polisi yang menginspirasi, jujur, berintegritas, sederhana dan teguh menjaga kehormatan, Gus Dur amat mengagumi Hoegeng. Lewat humornya mengenai polisi jujur dalam semangat Reformasi, ia menawarkan konsep adanya tiga polisi yang tidak bisa disuap di Indonesia yakni, patung polisi, polisi tidur dan Hoegeng. Lelucon Gus Dur kemudian begitu membekas di kalangan masyarakat bahkan hingga sekarang. Ia menjadi standar untuk pembenahan citra kepolisian yang ideal di Indonesia.

Guyonan Gusdur menunjukkan bahwa meskipun menciptakan Hoegeng-Hoegeng baru yang lebih banyak tidak mudah, hal itu bukan sesuatu yang mustahil dilakukan terutama dalam semangat Indonesia pasca Reformasi.Sejak humor itu pertama diungkapkan, keingintahuan orang tentang Hoegeng semakin besar dan meluas. Setiap kisah-kisah yang menunjukkan keteladanannya diungkapkan dan dipublikasikan di media berkali-kali. Popularitas dan ketokohan Hoegeng juga mendapat tempat di lingkungan Polri sendiri. Pemimpin-pemimpin Polri mencari panutan polisi ideal lewat sosok Hoegeng. Kisah hidupnya menjadi ladang emas informasi untuk mendidik dan memberi contoh yang baik bagi jajarannya.

Tidak mengherankan setiap Kapolri terpilih sejak Pasca Reformasi selalu mengingatkan dan mengajak jajaran korps Bhayangkara itu agar melakukan tugasnya seperti nilai-nilai yang ditunjukkan Hoegeng: menjadi teladan, hidup sederhana dan punya integritas tinggi. Nama Hoegeng selalu mengemuka di setiap acara penting, termasuk peringatan hari Bhayangkara yang menandai lahirnya polisi modern di Indonesia. Setiap kali terjadi ketidakbecusan yang mengacu pada kasus-kasus yang menodai citra polisi, nilai-nilai warisan Hoegeng kembali menjadi rujukan.

Menyikapi berbagai kasus kepemimpinan yang buruk di lingkungan jajarannya, Kapolri Listyo Sigit Prabowo baru-baru ini kembali menekankan soal pentingnya keteladanan hidup, kesederhanaan, upaya menjauhkan diri dari perilaku hedonisme dan nilai-nilai lain yang sudah dicerminkan sosok semacam Hoegeng. Dengan menawarkan peribahasa mengenai ikan busuk mulai yang dimulai dari kepalanya, setiap polisi yang menjadi atasan, menurutnya, dituntut dapat meneladani, disiplin, menjaga kehormatan, humanis dan berpihak pada rakyat.

Benarkah keteladanan Hoegeng masih relevan?

Kenyataan-kenyataan di atas menunjukkan butir-butir keteladanan sosok Hoegeng masih terus melegenda dan dianggap relevan dengan situasi sekarang. Pertanyaan yang kerap muncul, mengapa meski kisah hidup dan keteladanannya sudah sering diangkat namun sepertinya kurang bergema? Penciptaan polisi-polisi sekualitas Hoegeng sepertinya hanya jalan di tempat, lamban atau bahkan makin dilihat mustahil  diimplementasikan dalam konteks kekinian Indonesia.

Meskipun di satu sisi polisi diharapkan agar berpihak pada rakyat, bersikap jujur, sederhana, konsisten dan menjaga komitmen antara kata dan perbuatan, namun berita yang muncul di media akhir-akhir ini justru memperlihatkan situasi yang sebaliknya. Mereka yang kerap menghimbau bawahannya untuk meneladani Hoegeng tidak jarang alpa mempraktekkannya sendiri. Kemunafikan-kemunafikan atasan sangat terlihat dari munculnya kasus-kasus penyalahgunaan kekuasaan, keberpihakan mereka pada urusan sendiri atau kelompoknya, sikap mereka yang kontraproduktif, kontroversial dan bukannya hidup sederhana tapi mereka malah terang-terangan menunjukkan perilaku hidup hedonistik untuk menunjukkan keuntungan terseniri bekerja sebagai seorang polisi.

Masyarakat sudah banyak diperlihatkan adanya krisis keteladanan di tubuh Polri. Pesan-pesan, ajakan dan himbauan selama ini hanya terdengar sekadar wacana monoton yang tidak diimplementasikan sungguh-sungguh. Bila di satu pihak muncul harapan-harapan Polri agar jajarannya mau menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Hoegeng, namun media malah melaporkan begitu seringnya terjadi inkonsistensi antara harapan dan kenyataannya. “Bila lebih mengacu pada nilai-nilai Hoegeng yang profesional, polisi harus menjaga jarak dengan pemilik modal dan bukan malah membekingi”. “Kepercayaan masyarakat kepada polisi telah memudar karena sikap anggota Polri yang tidak berpihak pada rakyat.”

Demikian antara lain beberapa pendapat  dari tokoh rohaniawan Romo Benny yang beranggapan hilangnya figur teladan seperti Jenderal Hoegeng merupakan masalah serius kepolisian secara internal. Sampai saat ini munculnya sosok polisi yang ideal, dan berintegritas terhadap tugas menurutnya belum terlihat dengan jelas. “Apakah polisi-polisi yang ada sekarang ini benar-benar mencontoh keteladanan Hoegeng atau tidak?” Demikian Romo Benny mempertanyakan relevansi keteladanan Hoegeng yang senantiasa digembar-gemborkan.

Jawaban yang tidak mudah

Suara Romo Benny jelas mewakili harapan-harapan munculnya sosok polisi ideal meski Reformasi itu sendiri sudah lama berlangsung. Polisi yang kebal suap, jujur, taat aturan seperti Hoegeng masih diperlukan agar polisi tidak melenceng dari tugas utama mengayomi dan melayani masyarakat. Namun apakah memang sudah demikian sulit menerapkan nilai-nilai keteladanan warisan Hoegeng itu?

Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) Mayjen Pol (Purn) Sidarto Danusubroto menyatakan bahwa meskipun karakter dan kepribadian Hoegeng patut dan layak dijadikan contoh bagi pejabat negara, khususnya instansi Korps Bhayangkara, namun sejujurnya diakui bahwa sosok polisi yang berkarakter dan kepribadian seperti Hoegeng belum ditemukan. “Terus terang saya sampai sekarang belum menemukan sosok semacam Hoegeng,” katanya usai peluncuran buku “Dunia Hoegeng, 100 Tahun Keteladanan” karya wartawan senior Farouk Arnaz tersebut.

Menurutnya bentuk profesional dan sikap sebagai abdi negara seperti Hoegeng sulit ditiru oleh siapa saja, sebab membangun sikap secara konsisten bukan perkara mudah. “Apalagi, jadi orang yang sederhana seperti Pak Hoegeng dengan gaji yang saat itu serba kurang tidak lah mudah,” kilahnya.

Perspektif baru?

Persoalan kesejahteraan jelas isu besar ketika ada tuntutan profesionalitas polisi. Dapatkah nilai penghasilan yang timpang berjalan beriringan secara harmonis dengan tuntutan pengabdian atas bangsa dan negara? Apakah kerelaan dan keihlasan hidup secara sederhana masih bisa benar-benar dilakukan sekarang  ini dan bukan akan terjebak pada pencitraan belaka?

Suatu perspektif baru untuk merunut soal-soal keteladanan ini tampaknya harus diterapkan. Agar bisa tetap relevan, acuan kepahlawanan dan keteladanan Jenderal Hoegeng jua harus diimplementasikan lebih luas ketimbang hanya sekadar menjadi jargon-jargon yang gampang dikatakan tapi sulit direalisasikan. Perlu selalu mengaktualisasikan nilai-nilai kepolisian yang seiring dengan persoalan-persoalan kekinian. Hanya dengan cara ini keteladanan itu tidak terkurung menjadi himbauan-himbauan formalitas namun lebih bisa diejawantahkan dalam aksi dan perbuatan polisi.

Hoegeng identik dengan integritas, anti korupsi, disiplin, dan sikap teladan bagi jajaran di bawahnya. Gaya hidupnya yang sederhana dan balans ternyata karena ia memiliki kepribadian yang kuat dan idealis. Sebagai Kapolri ia dikenal lantang dan berani berkata jujur, serta tidak segan-segan berbeda pandangan dengan atasan sendiri (presiden). Kisah kehidupan Hoegeng telah memberi pelajaran bahwa karakter seseorang sudah terbentuk jauh sebelum mereka tergabung menjadi seorang polisi yang baik. Karenanya, upaya menciptakan Hoegeng-Hoegeng baru seharusnya dimulai dari proses awal perekrutan dan pendidikan. Integritas hidup yang sudah ditunjukkan sejak awal ia bergabung sebagai polisi berpengaruh besar terhadap aksi dan tindakannya.

“Yang penting dalam kehidupan manusia adalah kehormatan. Jangan merusak nama baik dengan perbuatan yang mencemarkan.” Demikian falsafah hidup Hoegeng. Di zaman revolusi atau saat agresi militer II Belanda, Hoegeng adalah salah satu perwira yag berhasil melakukan tugas penyamaran (intelejen) di Yogyakarta., Pengalamannya dalam menjaring ragam informasi bagi perjuangan bangsa Indonesia menjadi fondasi kokoh untuk keteladannya di masa-masa kemudian. Artinya,  lualitas seorang Hoegeng sudah tampak sejak ia menarik simpati atau melakukan propaganda agar serdadu Netherland Indies Civil Administration (NICA) berpihak kepada Indonesia.

Usahanya menekuni tugas-tugas intelejen sebelum menjadi mahasiswa di PTIK adalah penting untuk kemampuan dan profesionalitasnya. Bersama dengan kualitas yang terbentuk sejak kecil di lingkungan keluarganya, segala tindak-tanduk kualitas pemimpin yang mumpuni dan berdedikasi secara jujur bisa dilakukannya tanpa beban. Setelah lulus PTIK pada 1952 dan ditempatkan di Jawa Timur, Hoegeng diangkat sebagai kepala Reskrim di Sumatera Utara,  yakni pekerjaan yang kemudian akan menguji integritasnya. Saat itu ia menolak rumah pribadi dan mobil yang disediakan cukong judi. Ia memilih tinggal di hotel sampai mendapatkan rumah dinas. Setelah mendapat rumah dinas, dia juga menolak rumahnya diisi dengan segala macam perabot pemberian orang, yang dianggapnya sebagai bentuk suap. Saat pemberi perabot itu tidak mau menerima pengembalian barang itu, Hoegeng tidak segan-segan mengeluarkan semua itu dari rumah dinasnya dan menaruhnya di pinggir jalan.

“Dia tinggal di Polonia, di dekat rumah saya. Ada pengusaha-pengusaha kasih ke dia, dia taruh di luar itu kulkas, mesin cuci, setrika listrik. Ditaruh di luar, dia buang. Biar saja tukang loak ngambilin. Itu terkenal di Medan pada waktu itu. Biasanya di Medan itu style di sana pengusaha, pejabat baru datang langsung diservis dikasih macam-macam,” demikian kenang Panda Nababan, politisi senior Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) asal Medan yang menjadi saksi kejujuran Hoegeng. Masih banyak kisah-kisah hidup Hoegeng yang menarik dan menunjukkan dengan jelas bagaimana ia memahami persoalan-persoalan Indonesia di akar rumput. Hoegeng tidak segan-segan turun tangan menyamar walau sudah menduduki jabatan sebagai Kapolri.  Sikapnya tetap merakyat walaupun is sudah berpangkat jenderal bintang 4 bahkan ia diketahui pernah turun tangan mengatur lalu lintas di perempatan jalan hanya guna membantu pekerjaan jajaran di bawahnya.

Nilai-nilai Hoegeng akan terus relevan

Dapat disimpulkan ada banyak hal mengenai Hoegeng yang masih tinggi relevansinya sampai kini. Pertama, soal kekebalannya terhadap suap atau hadiah seperti diperlihatkan saat menjabat Kepala Bagian Reserse Kriminal Kepolisian Daerah Sumatra Utara pada 1956 itu. Kedua sebagai seorang pemimpin yang taat aturan, ia tidak gentar mengkritik atasannya sendiri bila diperlukan. Menurut Guntur Soekarnoputra, ketika Wisma Yaso, rumah istri kelima Soekarno, Dewi Soekarno selesai dibangun, Soekarno meminta Hoegeng mencarikan perabotan dari luar negeri sesuai permintaan Dewi. Permintaan itu ditolak Hoegeng dengan tegas karena dianggap telah menyalahi aturan yang berlaku.

“Pak Hoegeng ngomong terus terang ke Bapak. Itu tidak bisa Pak. Kalau bapak mau ya keluarkan perundang-undangan baru atau aturan baru. Hoegeng juga identik dengan kejujuran. Kisah kejujuran Hoegeng diketahui misalnya saat Soekarno membutuhkan sejumlah lukisan untuk istana. Kepada Hoegeng, Soekarno meminta bantuan membelikan beberapa lukisan, tetapi sekaligus mengatakan dirinya tak punya uang. Beberapa waktu kemudian, Hoegeng datang membawa lukisannya sendiri. Soekarno lalu menanyakan ke Hoegeng, berapa harga lukisan tersebut.

Keberpihakannya pada rakyat juga nilai yang begitu penting pada sosok Hoegeng. Banyak tindakannya yang mencerminkan citra dirinya sebagai pelayan masyarakat yang tegas  dan yang tidak menunjukkan adanya konflik kepentingan. Misalnya ia tidak mengizinkan anaknya masuk ke Akademi kepolisian. Tentu saja hal-hal seperti diceritakan di atas seperti ini baik pada era itu mapun era kini jarang sekali diterapkan semata-mata karena pendirian yang teguh.

Menurut sejarawan Asvi Warman Adam (Kompas 1 Juli 2004) nilai integritas Hoegeng tidak bisa dilepaskan dari penghormatan Hoegeng yang besar bagi ayahnya, yaitu Sukario Hatmodjo, kepala kejaksaan di Pekalongan dan juga terhadap dua rekan ayahnya yang bekerja sebagai penegak hukum yang bersih. Sifat mereka yang suka menolong orang membawa Hoegeng menjadi polisi yang bersih dan bermartabat.  Sesudah ditempa oleh kepribadian yang kuat dan nilai-nilai patriotisme yang tinggi, Polri telah beruntung mendapatkan sosok Hoegeng untuk ikut membesarkannya.

Memperluas konsep-konsep keteladanan yang baru

Tidak disangsikan lagi, Hoegeng adalah aset bangsa dan tokoh teladan di lingkungan Polri sehingga usaha Polri dari waktu ke waktu untuk mengingatkan kembali ketokohan Hoegeng perlu diapresiasi. Ini sangat perlu agar keberanian Hoegeng untuk selalu jujur tetap menjadi penyemangat bagi para pemimpin di lingkungan Polri dalam menjalankan tugas.“Ini jadi pemacu bagi diri saya pribadi, teman-teman saya yang masih aktif, adik-adik, bahwa (dengan) bersikap jujur dan menjaga integritas ternyata Pak Hoegeng bisa jadi Kapolri, walaupun dengan berbagai macam tantangan, godaan, beliau mampu,” kata Kabaharkam Polri.

Namun ironisnya ketika masyarakat membicarakan kembali perihal Hoegeng, ternyata tidak selalu diterima dengan baik pesannya oleh Polri. Saat guyonan Gus Dur menyangkut Hoegeng ramai dibicarakan kembali sesudah netizen bernama Ismail Ahmad memunculkannya di akun media sosialnya, ia justru ditangkap dan diperiksa polisi karena dianggap melakukan pencemaran nama baik.

Memperluas lebih jauh ide-ide keteladanan

Sudah saatnya Polri tidak lagi anti kritik dan menerima perihal Hoegeng dengan penuh totalitas. Pendekatan guyon yang diambil oleh Gus Dur yang justru mengena justru bisa memberi ide penciptaan sinergi dan soliditas yang baru. Gus Dur menunjukkan bahwa demi perbaikan citra buruk kepolisian standar Hoegeng adalah sesuatu yang vital.

Gusdur adalah tokoh yang tampaknya sangat memahami budaya Indonesia. Ia pandai menyentil sesuatu yang tidak benar agar diperbaiki lewat candaan. Cara ini cukup jitu agar,banyak pihak benar-benar akhirnya mau tergerak termasuk jajaran kepolisian. Para pengambil keputusan di lingkungan Polri harus melihat hal ini sebagai bentuk terobosan revolusi mental dan kultural di lingkungan Polri yang kreatif. Berbagai literatur mengenai sosok Hoegeng kini telah makin bertambah. Semakin banyak publikasi yang menggali topik-topik keteladanan baru yang ditempatkan dalam konteks sekarang jelas akan sangat besar gunanya. Tampaknya masih terbuka untuk melakukan penelitian mengenai sejarah-sejarah keteladanan di lingkungan Polri selain mengenai ketokohan Hoegeng.

Usulan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo untuk mendorong Hoegeng menjadi Pahlawan Nasional juga sepertinya patut dipertimbangkan agar gema keteladanannya bisa lebih menginspirasi dan memotivasi, termasuk terhadap petugas penegak hukum dan pejabat. Demikian pendapat Ketua MPR Bambang Soesatyo. Pendapat ini juga disetujui Poengky Indarti dari Komisi Kepoisian Nasional. “Dengan mendukung Pak Hoegeng menjadi Pahlawan Nasional, maka secara simultan ini juga akan mendorong pelaksanaan reformasi kultural Polri. Agar Polri menjadi institusi yang lebih profesional, mandiri dan dicintai oleh masyarakat,” kata Poengky.

Ia mengakui bahwa menjadikan Hoegeng teladan di masa kini bukan hal yang mudah. Salah satu strateginya, adalah melalui proses rekrutmen dan pendidikan yang baik. Pimpinan Polri katanya  juga harus memberikan contoh yang baik, sebagaimana Hoegeng bertindak. Memang nama Hoegeng sudah masuk sebagai pengetahuan umum dalam proses pendidikan polisi seperti kata Inspektur Pengawasan Umum (Irwasum) Polri, Komjen Agung Budi Maryoto. “Memang tidak bisa sama persis, karena zamannya tidak mungkin sama. Tapi kharisma, sosok, pendirian, integritas, loyalitas itu harus kita ambil,” katanya.

Perlu menggali keteladanan-keteladanan dan sosok baru

Tanpa harus mengurangi sosok Hoegeng yang kehidupannya menjadi subyek istimewa yang terus menginspirasi, tidak ada salahnya Polri mulai menggali dan mengungkapan ketokohan-ketokohan lain yang dinilai menunjukkan sifat-sifat keteladanan yang bisa sekelas Hoegeng. Hal ini tentu nanti akan makin melengkapi rujukan-rujukan yang telah ada.

Ketokohan Kapolri Jenderal RS Soekanto dan tokoh-tokoh kepolisian lainnya masih perlu juga diangkat dan dipromosikan secara lebih luas. Masih banyak kiprah  mengenai Kapolri pertama yang visioner  itu yang harus diketahui umum. Apalagi dalam sejarahnya ia tercatat sebagai sosok yang memberikan kesempatan kepada Hoegeng studi tur ke Amerika Serikat untuk belajar intelejen pada 1950. Pesimisme bahwa tidak ada polisi teladan yang jujur dan berintegritas setara Hoegeng dan Soekanto tidak benar seluruhnya. Lebih jauh lagi sebuah hasil penelitian sejarah telah membuat kita disediakan lagi nama tokoh polisi yang juga terbukti bekerja tanpa pamrih, tanpa pernah tergoda materi di Sumatra Tengah.

Dalam terbitan “Brigjen Polisi Kaharoeddin Dt. Rangkayo Basa, Gubernur di Tengah Pergolakan” karya Hasril Chaniago dan Khairul Jasmi, digambarkan sosok Brigjen Polisi Kaharoeddin Dt Rangkayo Basa sebagai pribadi yang jujur, berdisiplin, dan memegang teguh setiap amanah. Karya-karya sejenis ini pun perlu mendapatkan perluasan pembacanya.

Munculkan bukti keteladanan di tingkat bawah

Pendeknya, dengan munculnya riset-riset mengenai keteladanan di lingkungan Polri di masa lalu yang diperluas, akan ada lebih banyak lagi rujukan-rujukan yang  dapat digunakan untuk mengisi khasanah keteladanan masa lalu untuk polisi masa kini. Menurut Prof David Reeve dari UNSW, meskipun nilai-nilainya begitu ideal dan absurb, harus diingat bahwa baik Hoegeng dan Soekanto adalah teladan yang berasal dari tingkat elit. Mereka mungkin bisa lebih leluasa menerapkan nilai-nilai mereka ketimbang para polisi yang berada di tingkat bawah.

Jadi, harus diakui keteladanan seorang elit atau pemimpin di lingkungan kepolisian bukannya satu-satunya keteladanan yang ada. Baik Hoegeng maupun Soekanto ataupun sosok semacam Brigjen Polisi Kaharoeddin Dt Rangkayo Basa telah memberi contoh. Namun contoh-contoh keteladanan non elit dari tingkat bawah juga ada dan harus dimunculkan dan diapresiasi, utamanya agar keteladanan bisa relevan dan membumi dengan situasi kini. Sulitnya mencari sosok polisi teladan yang jujur dan berintegritas telah membawa inisiatif Polda di daerah untuk pemilihan sosok polisi-polisi ideal di daerah. Dari beberapa acara pemilihan tersebut ternyata ada banyak sosok polisi profesional. Karenanya upaya menggalakkan pemilihan polisi teladan di tingkat Polres perlu terus disokong lebih jauh.

Ia akan dapat menjadi upaya strategis melestarikan nilai-nilai ideal polisi yang selama ini dibutuhkan. Kisah-kisah keteladanan dari jajaran polisi di tingkat Bahbikamtibnas memperlihatkan antusias polisi profesional dan berdedikasi. Karenanya, kisah-kisah mereka tidak saja perlu disebarluaskan tapi juga dipublikasikan sebagai fakta konkrit keteladanan masa kini. Mungkin sulit untuk melahirkan seseorang dengan ketokohan yang seunik, seistimewa dan sekaliber Hoegeng atau Soekanto. Namun amanat reformasi memperlihatkan bahwa Polri harus tetap melakukan pembenahan-pembenahan yang bisa disesuaikan dengan paradigma baru yang lebih cocok mengantisipasi persoalan masa kini. (Isk – dari berbagai sumber).

Exit mobile version