Pada tanggal 1 Agustus 2024, Dr. Ali Mochtar Ngabalin, S.Ag., M.Si., seorang juru bicara dari Kantor Staf Kepresidenan Republik Indonesia, menyampaikan pesan mendalam dalam pidato pengukuhan sebagai Guru Besar di Busan University of Foreign Studies (BUFS), Korea Selatan. Dalam pidatonya, ia menekankan pentingnya toleransi dan moderasi beragama sebagai landasan untuk membangun masyarakat yang damai, harmonis, dan bersatu.
Toleransi sebagai Pilar Kehidupan Bersama
Ali Mochtar Ngabalin menegaskan bahwa toleransi antarumat beragama tidak hanya berarti menerima perbedaan, tetapi juga menciptakan ruang yang aman bagi keberagaman keyakinan. Dalam konteks Indonesia sebagai negara dengan pluralitas agama, toleransi menjadi fondasi kokoh bagi terciptanya masyarakat yang rukun. Ia menekankan bahwa hidup dalam perbedaan harus dipahami sebagai kekayaan bersama yang memperkuat persatuan bangsa.
“Moderasi beragama,” ungkap Ngabalin, “mendorong umat untuk saling menghormati keyakinan satu sama lain tanpa mengorbankan prinsip agama masing-masing.” Menurutnya, sikap moderat sangat penting karena menghindari posisi ekstrem yang dapat memicu konflik dan mengancam stabilitas sosial. Ia menekankan bahwa dialog dan pemahaman antaragama adalah kunci untuk menjaga harmoni dan mendorong kehidupan yang berdampingan secara damai.
Moderasi Beragama: Menjaga Keseimbangan dalam Keyakinan dan Praktik
Dalam pidatonya, Ngabalin menjelaskan bahwa moderasi beragama adalah sikap pertengahan yang tidak mengarah pada ekstremisme, baik dalam bentuk konservatisme yang berlebihan maupun liberalisme yang tak terkendali. Moderasi beragama, lanjutnya, menciptakan ruang bagi umat untuk menjalankan keyakinan mereka dengan rasa nyaman dan damai, tanpa mengklaim bahwa keyakinan mereka merupakan satu-satunya kebenaran mutlak.
“Moderasi bukan berarti mengurangi keteguhan iman,” jelas Ngabalin, “tetapi lebih kepada membangun sikap toleransi dan saling menghormati.” Ia juga menggarisbawahi bahwa penerapan moderasi beragama di Indonesia telah didukung oleh konstitusi, yang memungkinkan masyarakat dari berbagai latar belakang agama untuk hidup berdampingan dengan aman.
Tujuh Langkah Membangun Komitmen Moderasi Beragama
Ali Mochtar Ngabalin menawarkan tujuh langkah strategis untuk menjaga komitmen terhadap moderasi beragama:
- Pendidikan Moderasi: Prinsip-prinsip moderasi beragama harus diajarkan sejak dini melalui kurikulum pendidikan agar anak-anak memahami pentingnya toleransi dan keberagaman.
- Dialog Antaragama: Mendorong dialog terbuka antarumat beragama untuk memperkuat pemahaman dan penghargaan terhadap perbedaan keyakinan.
- Peran Pemimpin Agama: Pemimpin agama dan intelektual harus aktif dalam memperkuat moderasi dalam komunitas mereka untuk menciptakan lingkungan yang sejuk dan damai.
- Kolaborasi dengan Pemangku Kepentingan: Komunitas harus bekerja sama dengan berbagai pihak untuk membangun kemitraan yang memperkuat moderasi.
- Keseimbangan Pribadi: Setiap individu harus menjaga keseimbangan dalam beragama, tidak terlalu boros dalam praktik maupun terlalu asketis.
- Gerakan Reformis: Selain sikap moderat, diperlukan reformasi dalam praktik keagamaan untuk mengatasi berbagai tantangan dalam kehidupan beragama.
- Keberanian Moral: Masyarakat perlu menumbuhkan keberanian moral untuk melawan ekstremisme dan terus mendorong sikap toleransi.
Kontribusi Moderasi Beragama dalam Pembangunan Nasional dan Global
Menurut Ngabalin, moderasi beragama berperan penting dalam mencegah radikalisme dan ekstremisme yang dapat mengancam perdamaian masyarakat. Ia menekankan bahwa sikap saling menghormati antaragama adalah fondasi bagi pembangunan sosial yang inklusif dan berkelanjutan. “Dengan lingkungan yang damai dan harmonis, kita dapat mendorong proses pembangunan yang lebih baik dan lebih adil bagi semua,” tegasnya.
Selain itu, moderasi beragama juga berkontribusi pada peningkatan kualitas hidup masyarakat. Dengan mengurangi potensi konflik dan meningkatkan rasa aman, moderasi dapat menciptakan dunia yang lebih stabil, damai, dan inklusif, di mana setiap orang, tanpa memandang agama, dapat hidup berdampingan dengan rasa saling menghormati.
Pengukuhan Sebagai Tanggung Jawab untuk Indonesia
Pidato ini juga menandai komitmen Ngabalin untuk terus berkontribusi bagi bangsa dan negara. Ia menekankan bahwa penghargaan sebagai Guru Besar di BUFS bukan sekadar pencapaian pribadi, tetapi amanah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab. “Saya akan terus membantu pemerintahan dan melayani masyarakat,” ujarnya, “untuk menyebarkan nilai-nilai moderasi beragama dan menjaga keharmonisan di Indonesia.”
Ngabalin berharap agar kerjasama antara Indonesia dan Korea Selatan semakin erat, terutama di bidang pendidikan. Ia juga menyampaikan rasa terima kasih kepada Busan University of Foreign Studies dan Profesor Kim Soo-Il yang telah mendukung perjalanan akademiknya hingga ke titik ini.
Dalam momentum bersejarah pengukuhan sebagai Guru Besar di Busan University of Foreign Studies (BUFS), Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, M.Si., menggarisbawahi pentingnya toleransi antarumat beragama sebagai fondasi kokoh untuk membangun masyarakat yang rukun dan harmonis. Menurutnya, toleransi bukan hanya soal menerima perbedaan, melainkan juga tentang menciptakan lingkungan yang damai dan inklusif bagi semua kalangan.
Komitmen pada Moderasi Beragama sebagai Solusi
Dalam pidatonya, Prof. Ngabalin menjelaskan bahwa konsep moderasi beragama berakar dari sikap moderat, yaitu pendekatan iman yang seimbang tanpa ekstremisme. Prinsip ini sangat relevan dalam menghadapi tantangan dunia saat ini, terutama untuk mengurangi potensi konflik dan mempromosikan perdamaian.
“Moderasi beragama bukan berarti mengurangi keyakinan seseorang, tetapi menghormati agama lain dengan tetap teguh pada prinsip keyakinan kita. Ini adalah upaya aktif untuk menemukan titik temu dan hidup berdampingan secara damai,” ujarnya.
Pendidikan sebagai Kunci Menumbuhkan Toleransi
Ngabalin menekankan pentingnya pendidikan sebagai kunci untuk menanamkan nilai-nilai moderasi sejak dini. Dengan memasukkan prinsip toleransi dan moderasi dalam kurikulum, generasi muda dapat belajar menerima perbedaan dan mengembangkan sikap kritis serta empati terhadap berbagai keyakinan.
“Melalui pendidikan, kita bisa menciptakan generasi yang tidak hanya memahami perbedaan, tetapi juga mengapresiasinya,” tambahnya.
Dialog Antaragama dan Peran Pemimpin
Prof. Ngabalin juga menyoroti peran penting dialog antaragama dan keterlibatan para pemimpin agama dalam mempromosikan moderasi. Menurutnya, pemimpin agama harus menjadi teladan dalam memperkuat sikap moderat di komunitas mereka, serta mendorong dialog terbuka yang dapat membangun pemahaman yang lebih mendalam.
“Dialog antaragama bukan sekadar formalitas. Ini adalah proses mendengarkan dengan hati terbuka dan mencari solusi bersama,” tegasnya.
Tujuh Langkah untuk Membangun Moderasi Beragama
Dalam pidatonya, Prof. Ngabalin memaparkan tujuh langkah konkret yang dapat diambil untuk memajukan moderasi beragama:
- Pendidikan: Mengintegrasikan prinsip moderasi dalam kurikulum.
- Dialog Antaragama: Melibatkan komunitas dalam diskusi terbuka.
- Kepemimpinan Berpengaruh: Pemimpin agama harus memperkuat moderasi dalam komunitasnya.
- Keterlibatan Komunitas: Membangun kemitraan dengan berbagai pemangku kepentingan.
- Praktik Seimbang: Menghindari sikap berlebihan dalam praktik keagamaan.
- Reformasi Agama: Mendorong perubahan dalam praktik yang ekstrem atau tidak relevan.
- Keberanian Moral: Melawan ekstremisme dengan keberanian dan rasa hormat terhadap perbedaan.
Moderasi Beragama sebagai Pilar Pembangunan Nasional
Menurut Prof. Ngabalin, moderasi beragama bukan hanya relevan dalam konteks sosial tetapi juga dalam mendukung pembangunan nasional yang inklusif dan berkelanjutan. Toleransi dan moderasi menciptakan rasa aman, mengurangi konflik, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
“Kita tidak bisa membangun bangsa yang kuat tanpa harmoni sosial. Moderasi beragama adalah fondasi bagi pembangunan yang berkelanjutan,” jelasnya.
Kerja Sama Internasional untuk Perdamaian
Pengukuhan Prof. Ngabalin di Busan University juga menjadi simbol kerja sama erat antara Indonesia dan Korea Selatan, terutama di bidang pendidikan. Ia berharap hubungan baik antara kedua negara akan terus terpelihara dan berkembang, tidak hanya dalam dunia akademis tetapi juga di sektor lain.
“Penghargaan ini adalah amanah untuk terus berkontribusi bagi bangsa dan negara, serta mempererat hubungan baik dengan negara sahabat,” tutupnya.
Prof. Ngabalin menegaskan bahwa membangun moderasi beragama membutuhkan keterlibatan multisektor, mulai dari pemerintah, lembaga pendidikan, hingga organisasi masyarakat. Setiap sektor berperan penting dalam memperkuat budaya toleransi dan melawan narasi-narasi ekstrem yang dapat mengancam kerukunan.
“Pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat sipil harus bekerja sama untuk menciptakan ekosistem yang kondusif bagi berkembangnya toleransi,” katanya. Ia menambahkan bahwa kebijakan publik yang mendukung kebebasan beragama perlu diperkuat demi menjamin keadilan sosial bagi seluruh warga.
Ngabalin mencontohkan program-program lintas agama yang berhasil menciptakan lingkungan hidup harmonis, seperti forum komunikasi antarumat beragama dan inisiatif dialog komunitas di beberapa daerah di Indonesia. Menurutnya, kolaborasi ini harus terus didorong agar pesan damai dan inklusi menjadi bagian integral dalam kehidupan sehari-hari masyarakat.
Teknologi Digital sebagai Sarana Memperkuat Moderasi
Dalam era digital, Prof. Ngabalin mengingatkan pentingnya menggunakan teknologi dengan bijak untuk menyebarkan pesan damai dan mendorong moderasi. Ia mengajak generasi muda untuk memanfaatkan media sosial sebagai ruang positif untuk membangun dialog, berbagi pengalaman, dan memperkuat persaudaraan lintas agama.
“Media digital bisa menjadi alat yang sangat ampuh jika digunakan dengan niat yang benar. Kita harus memanfaatkannya untuk melawan narasi kebencian dan menyebarkan pesan cinta serta persatuan,” ujarnya.
Ia menekankan perlunya literasi digital bagi masyarakat agar tidak mudah terprovokasi oleh berita palsu atau narasi ekstremis yang tersebar luas di internet. Dengan literasi digital yang baik, masyarakat dapat memilah informasi dan berkontribusi dalam menjaga kerukunan.
Pesan untuk Generasi Muda: Menjadi Pelopor Perdamaian
Prof. Ngabalin secara khusus menyampaikan pesan kepada generasi muda agar menjadi pelopor perdamaian dan agen perubahan di masyarakat. Ia menekankan bahwa masa depan bangsa berada di tangan anak muda yang harus berperan aktif dalam membangun toleransi dan persatuan.
“Jadilah generasi yang tidak hanya cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki kepedulian sosial dan jiwa kemanusiaan yang tinggi,” pesannya. Ia menambahkan bahwa pemuda harus memiliki semangat gotong royong dan berpartisipasi aktif dalam kegiatan sosial demi mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi semua.
Mengakhiri pidatonya, Ali Mochtar Ngabalin menegaskan bahwa moderasi beragama adalah kunci untuk menciptakan masyarakat yang berkeadaban. Dengan pendidikan, dialog, dan kolaborasi yang berkesinambungan, masyarakat dapat berkembang menjadi komunitas yang damai dan harmonis. Ia berharap nilai-nilai toleransi dan moderasi terus ditanamkan di seluruh lapisan masyarakat, agar Indonesia dan dunia menjadi tempat yang lebih baik bagi generasi mendatang.
“Moderasi bukan sekadar teori,” pungkas Ngabalin, “tetapi sebuah jalan hidup yang membawa kita pada harmoni, persatuan, dan kemajuan bersama.”
Dengan semangat dan komitmen ini, Prof. Dr. Ali Mochtar Ngabalin, M.Si. berharap dapat terus berperan dalam menyebarkan nilai-nilai positif bagi Indonesia dan dunia, melalui pendidikan dan moderasi beragama.