Site icon Risalahnegeriku

Reaksi Jejaring Intelejen Internasional Menyikapi Perkembangan Terorisme di Indonesia, Masih Ditunggu

Ilustrasi

Persoalan hubungan erat antara FPI dengan kelompok radikal di Indonesia sudah lama ditengarai oleh ahli-ahli masalah terorisme di dalam negeri maupun internasional. Hubungan dekat Munawar dengan jaringan terorisme juga sering dilihat dari perannya sebagai tokoh teras FPI dan pengacara Abu Bakar Ba’ asyir yang terlibat aksi Bom Bali 2002. Adalah sangat menarik reaksi komunikasi intelejen pada jejaring internasional mengenai isu terorisme di Indonesia ini dapat tersedia untuk bahan telaah. Data dan opini  mereka selama ini diaktualisasikan dan dijabarkan sebagai rujukan terutama oleh Pemerintah Australia ketika menghadapi terorisme dalam konteks nasionalnya maupun ketika berhubungan dengan konteks kerjasamanya mitra Indonesia dalam menangani persoalan terorisme global

Jakarta, 20 Desember 2021. Mantan Sekretaris Umum Front Pembela Islam (FPI) akhirnya ditangkap baru-baru ini pada Selasa 27/4. Penangkapan itu dilanjutkan kemudian dengan upaya-upaya penggeledahan di rumahnya di Tangerang dan di markas besar FPI di Petamburan Jakarta.  Kadiv Humas Irjen Pol Argo Yuwono menjelaskan bahwa penangkapan maupun penggeledahan tersebut terkait dengan tindak pidana terorisme yang telah dituduhkan kepada Munarman. “Tuduhannya adalah menggerakkan orang lain melakukan tindak pidana terorisme, bermufakat jahat melakukan tindak pidana terorisme dan menyembunyikan informasi tentang tidak pidana terorisme itu”, katanya. Pihak kepolisian melaporkan bahwa Densus 88 telah berhasil menangkap lebih dari 90 orang tertuduh militan, dari operasi-operasi yang dilancarkan sejak bulan Januari lalu. Beberapa dari yang ditangkap tersebut, di antaranya telah terbukti berhubungan dengan kejadian di balik peristiwa bom Makasar. Sedangkan beberapa orang yang lain terlibat dalam perencanaan penyerangan terhadap pihak polisi dan tempat-tempat ibadah.

Sehubungan dengan penangkapan Munarman, pihak kepolisian menyatakan telah ditemukan adanya indikasi bahwa yang bersangkutan  berhubungan dengan tersangka teroris yang telah melakukan aksi bom di gereja Katedral Makasar Sulawesi Selatan beberapa waktu yang lalu. Sebelumnya, polisi juga telah memiliki bukti berupa video yang memperlihatkan dengan jelas kehadiran Munarman dalam acara pembaiatan anggota ISIS, yakni antara tahun  2014 dan 2015, bertempat di kota Jakarta, Medan, maupun Makassar. Selain foto dan cuplikan video yang memperlihatkan kehadiran Munarman dalam pembaiatan ISIS tersebut, pihak kepolisian sebelumnya juga pernah menunjukkan cuplikan video berdurasi tiga menit yang menunjukkan dukungn Rizieq kepada ISIS dan Abu Bakar Ba’asyir serta membuktikan sebanyak 35 anggota FPI terlibat dalam aksi terorisme di Indonesia.

Pihak kepolisian menjelaskan bahwa Ahmad Aulia yang ditangkap di Makassar telah mengakui dirinya adalah anggota FPI dan Munarwan menyaksikan sendiri pembaitannya pada acara Jamaah Anshrut Daulah (JAD), organisasi yang berhubungan erat dengan kelompok teroris militan ISIS. Munarman melakukan pembelaan diri dengan menyatakan tidak mengenal orang yang dimaksud. Menurutnya, mereka yang mengaku-ngaku bergabung dengan organisasi FPI yang sudah dilarang tersebut, seringkali sebenarnya tidak terdaftar sebagai anggota.

Pihak kepolisian ini sepertinya setuju dengan pendapat pengamat Alif Satria  yang percaya agar dapat mencabut akar dari organisasi radikal hingga akar-akarnya. Walau organisasi sudah dibubarkan, tetap harus diketahui bagaimana ia masih kuat dalam masyarakat karena masih ada pemimpin-pemimpin yang berpengaruh.

Upaya kepolisian dan Reaksi

Penangkapan Munarman merupakan rangkaian dari peristiwa yang saling berhubungan sejak terjadinya bom bunuh diri di Makassar dan keterlibatan kelompok militan Jamaah Ansharut Daulah (JAD) serta bahwa serangkaian penggeledahan telah ditemui atribut FPI sebelumnya, sehingga FPI mendapat sebutan teroris dan radikal. Menyikapi penangkapan itu kuasa hukum Munarman, Aziz Yanuar SH menyatakan bahwa kabar-kabar soal keterlibatan Munarwan yang  muncul di media-media sudah diklarifikasi dan mengapa ia masih ditangkap dan disangkakan dengan tuduhan terorisme.

Dalam wawancara yang dilakukannya dengan KompasTV (27/4) ia menyatakan bahwa, klien nya tetap bersikukuh hanya datang untuk mengisi acara lewat ceramah yang isinya justru tentang pencerahan supaya kita tidak mudah terjebak dalam upaya-upaya yang memancing teror di Indonesia. Meskipun amat mendukung semua upaya polisi mencegah dan menindak semua bentuk gerakan terorisme di Indonesia, politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid juga merasa tidak yakin pihak kepolisian punya bukti-bukti yang cukup dalam penangkapan Munarwan yang  merupakan pembela Rizieq  yang tengah disidang tersebut.

Pembenaran kepolisian

Pihak kepolisian menganggap tindakan penangkapan terhadap Munarwan sudah tepat karena itu sudah kewenangan pihak Polri dalam menegakkan hukum terorisme, di mana extra ordinary law boleh diaplikasikan di atas hukum pidana yang berlaku. Namun, Asosiasi Ahli hukum Pidana di Indonesia memiliki pandangan yang lain sebagaimana ditunjukkan lewat pernyataan sikap sehubungan dengan penangkapan Munarman. Pernyataan asosiasi tersebut mengaggap penangkapan ini bermotif politis. Penangkapan itu bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana di mana mensyaratkan bahwa suatu penangkapan seharusnya didahului dengan penetapan status tersangka dan didasarkan pada kekuatan dua alat bukti minimal.

Polisi dianggap tidak memiliki syarat yang diwajibkan sehingga mereka meminta kepada pihak Polri segera membebaskan Munarman. Dengan mengaitkan Munarman dengan perbuatan terorisme yang berhubungan dengan ISIS, penangkapan dianggap Asosiasi Ahli Hukum Pidana sebagai bentuk penggiringan opini yang sengaja diarahkan kepada FPI dari pihak-pihak tertentu. Terkait dengan persoalan FPI, Sadiman Ahmad dari Mujani Research Centre, beberapa waktu lalu juga pernah menyatakan pula bahwa tindakan kepolisin harus tetap sesuai dengan pemenuhan keinginan pemerintah yakni semua proses politik harus disesuaikan secara hukum, secara demokratis dan tetap memberi ruang bagi hak sipil.

Terorisme dan berbagi informasi intelejen antar negara

Harus dicatat bahwa berbagai kerjasama bilateral dan multilateral dalam menangani dan menghadapi terorisme global antara Indonesia dan Australia sudah lama terbentuk dan dalam berbagai forum seperti ASEAN, APEC dan ASEM. Secara umum sangat membantu dan berhasil. Australia menyadari karakteristik dan tantangan Indonesia sehubungan dengan masalah terorisme  di dalam negeri, yang tidak selalu sama dengan karakteristik ekstrimisme di Timur Tengah. Salah satu buktinya adalah soal pembentukan dan perluasan jaringannya secara lokal dan disertai dengan sentimen-sentimen lokal dan nasional. Sejak 2001, upaya-upaya ’counter-terorism’ di Indonesia dianggap merupakan cerita-cerita sukses seperti diperlihatkan dalam operasi-operasi pengejaran anggota-anggota Jamaah Islamiah yang terlibat peristiwa bom Bali.

Upaya Densus 88 dalam upaya penanggulangan terorisme di Indonesia selama ini sering juga dipuji oleh Australia. Akademisi Australia dan pengamat masalah terorisme global Greg Barton menilai bahwa mungkin ini salah satu unit penanguglangan terorisme yang terbaik di dunia. Namun dengan kemunculan ISIS, banyak hal lebih menantang datang ke permukaan, karena persoalan yang dihadapi Indonesia maupun Australia  menjadi lebih kompleks dan berbahaya. Masuknya ISIS antara lain telah memberikan nafas baru atas tahap baru dari idelogi ekstrimisme di Indonesia. Itu sebabnya Australia menganggap kerjasama intelejen bukan saja diperlukan tapi juga harus ditingkatkan. Pihak Indonesia dan militer, kepolisian  dan intelejen Australia dengan demikian memiliki sejarah panjang penanganan terorisme bersama.

Menurut Greg Barton, dalam menghadapi jaringan ISIS, tidak hanya kekuatan dan kapasitan taktis dari Densus 99 yang perlu ditingkatkan, tapi juga dalam upaya pengumpulan data intelejen yang mendukung kinerja yang lebih efektif.  Hal ini bisa dilakukan dengan melakukan berbagai pelatihan, penggunaan sumber daya dan investasi yang lebih besar dalam kerjasama Australia dalam penanggulangan masalah bersama terorisme di kawasan Asia Tenggara, Australia maupun Pasifik. Suatu kerjasama pengembangan mekanisme peningkatan saling tukar informasi penanganan terorisme dan ekstrimisme yang berbahaya direfleksikan pada penandatangan MOU penanganan terorisme dan ekstrimisme antara kedua negara pada 7 Desember 2018 lalu.

Reaksi Ahli Terorisme dan Jaringan Intelejen Internasional Masih Menunggu

Persoalan hubungan erat antara FPI dengan kelompok radikal di Indonesia sebenarnya sudah lama ditengarai oleh ahli-ahli masalah terorisme di dalam negeri maupun internasional.  Hubungan dekat Munamar dengan jaringan terorisme juga sering dilihat dari perannya sebagai tokoh teras FPI dan pengacara Abu Bakar Ba’ asyir yang dituduh terlibat dalam aksi Bom Bali 2002. Benny Mamoto, pelaksana harian Kompolnas pernah menyatakan 37 anggota atau bekas anggota FPI jelas terlibat dalam terorisme di Indonesia, di mana kebanyakannya merupakan anggota dari Jamaah Ansharut Daulah (JAD) atau Mujahidin Indonesia bagian Timur. Menurut analisa studi jaringan terorisme internasional, organisasi-organisasi di Indonessia sudah lama dijadikan tempat perekrurtan anggota-anggota baru Jamaah Islamiyah lewat organisasi-organisasi  seperti Jamaah Anshurat Tauhid (JAT), Jamaah Anshorusy Syariah (JAS) dan keanggotaan FPI saat belum dibubarkan Pemerintah.

Walaupun sudah dibubarkan, potensi mantan-mantan anggota FPI yang militan dan lebih radikal tetap direkrut oleh kelompok radikal masih sangat besar. Pendapat ini pernah dinyatakan Ian Wilson, pengamat terorisme dari Universitas Murdoch Australia dalam diskusi mengenai pertumbuhan radikalisme di Indonesia dan persoalan FPI. Beberapa akademik dengan spesialisasi terorisme, politik Islam di Indonesia di Australia biasanya memberikan gambaran situasi dan fakta intelejen di Indonesia yang berhubungan dengan kepentingan geopolitik Australia dalam pananggulangan ancaman terorisme global selama ini.

Adalah sangat menarik bila komunikasi intelejen pada jejaring internasional mengenai isu terorisme di Indonesia ini  juga tersedia untuk bahan telaah.  Data dan opini mereka selama ini diaktualisasikan dan dijabarkan sebagai rujukan oleh Pemerintah Australia baik ketika menghadapi terorisme dalam konteks nasional, maupun ketika berhubungan dengan konteks kerjasamanya dengan mitra Indonesia. Sayangnya, sampai saat ini tampaknya belum ada bahasan dan diskusi yang memberikan tempat khusus urgensi dalam menciskusikan dan menunjukkan fakta-fakta  baru soal situasi dari terorisme di Indonesia seperti yang dimaksud.

Seperti diketahui, pengamat terorisme di Indonesia Sidney Jones dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) sebelumnya sudah menilai tidak tepat mengidentikkan FPI dengan terorisme dan jelas menunjukkan obsesi yang besar dari pemerintah terhadap FPI selama ini, namun belum ada reaksi dan pandangannya mengenai penangkapan tersebut, dengan menilai bukti-bukti baru di belakang penangkapan Munarman.

Dalam pesan twitternya sehubungan dengan penangkapan Munarman, Ian Wilson hanya menjelaskan statemen tentang penangkapan oleh pihak Polri bahwa Munarwan adalah pimpinan FPI senior selanjutnya yang ditangkap sesudah Rizieq, dengan tuduhan memobilisasi yang lain untuk melakukan aksi terorisme, berkonspirasi untuk melakukan terorisme dan menyembunyikan informasi-informasi yang berhubungan dengan aksi teroris. Akses informasi dan jaringannya mengenai kegiatan terorisme di Indonesia bahkan Asia tenggar masih amat terbatas, Karenanya komentar dan analisa para ahli tentang situasi terbaru terutama terjalinnya komunikasi jaringan intelejen internasional  dari akses yang mereka punyai dan terutama berfokus pada penangkapan Munarwan, jelas masih amat ditunggu-tunggu, (Isk – dari berbagai sumber).

Exit mobile version