Site icon Risalahnegeriku

Sejarah Polri Yang Lebih Humanis Perlu Ditulis Untuk Melengkapi Sejarah Yang Ada

Penjelasan sejarah Polri menunjukkan bagaimana kepolisian berevolusi dari masa ke masa. Polisi selalu ikut serta dalam hitam putihnya perjuangan bangsa Indonesia sejak berperang melawan Belanda, melakukan perlawanan terhadap pendudukan Jepang hingga kemudian dimasukkan ke dalam angkatan bersenjata dan aktif selama masa-masa hingga pasca-reformasi. Polri juga udah sering mengatakan bahwa sejarah nya adalah unik, kompleks dan memiliki banyak dimensi. Namun di sisi lain sejarah Polri masih belum sekaya yang dibayangkan, yang pada galibnya merupakan kumpulan memori-memori lengkap perjalanan panjang polisi dan kepolisian dengan berbagai aspeknya. Bertepatan dengan perayaan Hari Bhayangkara, suatu sejarah Polri yang humanis dan dapat pula memperlihatkan pencapaian-pencapaian bagi pelayanan masyarakat sudah waktunya ditulis di samping sejarah Polri yang sudah tersedia selama ini. Tujuannya antara lain untuk benar-benar dapat  mencerminkan kinerja sosial Polri dalam menerjemahkan moto Rastra Sewakotama yang artinya Abdi Utama bagi Nusa Bangsa.

 

 

Jakarta, 1 Juli 2021. Pada 1 Juli 2021 ini, kepolisian RI kembali akan memperingati momen istimewa hari ulang tahun Bhayangkara ke 75. Pada momen yang penting ini, selalu dirasa penting memunculkan kembali perjalanan sejarah polisi dan kepolisian, makna serta dinamika  di dalamnya yang penuh kisah dari figur-figur terkemuka dan hebat, kepioniran, tantangan dan sebagainya. Penjelaasan ini juga perlu untuk mengingatkan makna dari cikal bakal awal hari Bhayangkara itu diperingati.

Sejarah polisi dan kepolisian/Polri sudah cukup tua di Indonesia, sebagaimana dijelaskan dalam laman resmi Polri tentang sejarahnya. Kepolisian dan polisi di Indonesia disebutkan telah berkembang seiring dengan perjalanan sejarah Indonesia yang panjang, bahkan bisa ditarik hingga jauh ke masa kerajaan Hindu Majapahit.  Sejarahnya itu di mulai kala Patih Gajah Mada membentuk pasukan pengamanan bernama Bhayangkara bertugas melindungi raja dan kerajaan. Karena itulah, hingga saat ini sosok Gajah Mada dijadikan simbol kepolisian RI.

Selanjutnya, fase sejarah kepolisian berhubungan dengan masa Pemerintah kolonial Belanda terutama sejak akhir abad ke-19.  Ini adalah saat di mana dimulainya pembentukan pasukan-pasukan jaga yang berasal dari orang-orang pribumi yang bertugs menjaga aset dan kekayaan masyarakat Eropa di Indonesia masa kolonial.  Wewenang operasional kepolisian pada periode antara 1897-1920 tersebut hanya dimiliki para residen yang dibantu oleh asisten residen. Pada masa ini bentuk kepolisian dikenal beragam,  antara lain polisi lapangan, polisi kota, polisi pertanian, polisi pamong praja dan seterusnya.

Masuknya pemerintahan pendudukan Jepang di Indonesia menyebabkan  wajah kepolisian Indonesia pun berubah. Sistem kepolisian dibagi atas 4 wilayah besar. Yang pertama kepolisian wilayah Jawa dan Madura berpusat di Jakarta, kepolisian wilayah Sumatra yang berpusat di Bukittinggi dan kepolisian wilayah Indonesia Timur yang berpusat di Makassar dan kepolisian Kalimantan yang dipusatkan di Banjarmasin. Meskipun pejabat kepolisian sudah diberikan Jepang kepada bangsa Indonesia, namun kekuasaan mereka lebih kecil dibanding pejabat Jepang sidookaan yang mendampingi mereka.

Menurut pengamat Kepolisian Irjen (Purn) Sisno Adiwinoto, setelah Proklamasi 17 Agustus 1945 tepatnya pada 21 Agustus 1945 Inspektur Polisi Yasin dengan gagah berani mengubah nama Tokubetsu Keisatsu Tai (Polisi Jepang) menjadi Polisi Istimewa yang hanya tunduk pada Pemerintah Negara Republik Indonesia yang baru merdeka beberapa hari.Polisi Istimewa di bawah pemerintah RI itu ingin membuktikan kesetiaan dan baktinya pada negara dan bangsa.  Menurut Sino Adiwinoto, awal kemerdekaan dan Revolusi fisik, anggota polisi istimewa banyak yang gugur dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan. “Palagan yang mengakibatkan gugurnya Polisi Istimewa adalah pada saat peristiwa 10 November 1945. Palagan Ambarawa dan lain-lain itu bisa dilihat dalam sejarah Polri,” demikian jelas nya.

Setelah Indonesia merdeka, kepolisian baru berubah menjadi kepolisian Indonesia merdeka. Pada 19 Agustus 1945, Badan Kepolsian negara (BKN) dibentuk oleh Panitia Persiapan kemerdekaan Indonesia (PPKI). Inspektur kelas 1 (Letnan Satu) Polisi Mochammad Jassin, Komandan Polsi di Surabaya memproklamirkan pasukan polisi Republik Indonesia pada 21 Agustus 1945. Tugas utama mereka melakukan pembersihan dan pelucutan senjata tentara Jepang yang kalah perang. Selain itu juga tujuan membangkitkan semangat moral dan patriotik seluruh rakyat dan satuan-satuan bersenjata yang dilanda depresi dan kekalahan perang. Sebagai bangsa dan negara yang berjuang mempertahankan kemerdekaan, di samping bertugas sebagai penegak hukum Polri juga ikut bertempur di seluruh wilayah RI. Polri juga menyatakan dirinya “combatant” yang tidak tunduk pada Konvensi Jenewa. Polisi Istimewa ini kemudian diganti menjadi Mobile Brigade, sebagai kesatuan khusus untuk perjuangan bersenjata, seperti dalam pertempuran 10 November di Surabaya, di front Sumatera Utara, Sumatera Barat, penumpasan pemberontakan PKI Madiun, dan seterusnya.

Pada 29 September 1945 Presiden Sukarno melantik RS Soekanto Tjokrodiatmodjo sebagai Kepala Kepolisian Negara (KKN). Bila pada masa awalnya kepolisian masuk dalam lingkungan kementerian Dalam Negeri dengan nama Djawatan Kepolisian Negara, sejak 1 Juli 1946 ia sebagai ditetapkan Djawatan Kepolisian negara yang bertanggungjawab kepada Perdana Menteri.  Penetapan dari Pemerintah inilah yang  diperingati sebagai Hari Bhayangkara yang diperingati setiap tahunnnya hingga sekarang.

 

Menuju Pembentukan Polri Yang Nasionalis

Pada masa kabinet presidential,  4 Februari 1948 dikeluarkanlah TAP Pemerintah No. 1/1948 yang menetapkan bahwa Polri dipimpin langsung presiden/wakil presiden dalam kedudukan sebagai perdana menteri/wakil perdana menteri. Pada masa revolusi fisik, Kapolri Jenderal Polisi R.S. Soekanto mulai menata organisasi kepolisian di seluruh wilayah RI.  Pada Pemerintahan Darurat RI (PDRI) yang diketuai Mr. Sjafrudin Prawiranegara berkedudukan di Sumatera Tengah, Jawatan Kepolisian dipimpin KBP Umar Said (22 Desember 1948). Menurut sejarawan Ambar Wulan, Soekanto telah memiliki visi yang panjang tentang organisasi kepolisian. Sudah sejak 1950-an ia memikirkan membuat Markas Besar (Mabes) yang mampu menampung ribuan polisi nantinya.  Inilah  yang kemudian menjadi sejarah cikal bakal  Mabes Polri di Trunojoyo.

Hasil Konferensi Meja Bundar antara Indonesia dan Belanda dibentuk Republik Indonesia Serikat (RIS), maka R.S. Sukanto diangkat sebagai Kepala Jawatan Kepolisian Negara RIS dan R. Sumanto diangkat sebagai Kepala Kepolisian Negara RI berkedudukan di Yogyakarta. Dengan Keppres RIS No. 22 tahun 1950 dinyatakan bahwa Jawatan Kepolisian RIS dalam kebijaksanaan politik polisional berada di bawah perdana menteri dengan perantaraan jaksa agung, sedangkan dalam hal administrasi pembinaan, dipertanggungjawabkan pada menteri dalam negeri.

Umur RIS hanya beberapa bulan. Sebelum dibentuk Negara Kesatuan RI pada tanggal 17 Agustus 1950, pada 7 Juni 1950 dengan Tap Presiden RIS No. 150, organisasi-organisasi kepolisian negara-negara bagian disatukan dalam Jawatan Kepolisian Indonesia. Dalam peleburan tersebut disadari adanya kepolisian negara yang dipimpin secara sentral, baik di bidang kebijaksanaan siasat kepolisian maupun administratif, organisatoris.

 

Kepolisian Di Masa Orde Lama dan Orde Baru

Berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959, Indonesia kembali ke UUD 1945, namun dalam pelaksanaannya banyak terjadi penyimpangan UUD 1945. Sementara itu, Polri masih tetap di bawah pada Menteri Pertama sampai keluarnya Keppres No. 153/1959, tertanggal 10 Juli di mana Kepala Kepolisian Negara diberi kedudukan Menteri Negara ex-officio. Pada 13 Juli 1959 dengan Keppres No. 154/1959 Kapolri juga menjabat sebagai Menteri Muda Kepolisian dan Menteri Muda Veteran. Pada 26 Agustus 1959 dengan Surat Edaran Menteri Pertama No. 1/MP/RI1959, ditetapkan sebutan Kepala Kepolisian Negara diubah menjadi Menteri Muda Kepolisian yang memimpin Departemen Kepolisian (sebagai ganti dari Djawatan Kepolisian Negara).

Ketika Presiden Soekarno menyatakan akan membentuk ABRI yang terdiri dari Angkatan Perang dan Angkatan Kepolisian, R.S. Soekanto menyampaikan keberatannya dengan alasan demi menjaga profesionalisme kepolisian. Lalu, pada 15 Desember 1959 R.S. Soekanto mengundurkan diri setelah menjabat Kapolri/Menteri Muda Kepolisian, sehingga berakhirlah karier Bapak Kepolisian RI tersebut sejak 29 September 1945 hingga 15 Desember 1959. Dengan Tap MPRS No. II dan III tahun 1960 dinyatakan bahwa ABRI terdiri atas Angkatan Perang dan Polisi Negara. Berdasarkan Keppres No. 21/1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian ditiadakan dan selanjutnya disebut Menteri Kepolisian Negara bersama Angkatan Perang lainnya dan dimasukkan dalam bidang keamanan nasional.

Tanggal 19 Juni 1961, DPR-GR mengesahkan UU Pokok kepolisian No. 13/1961. Dalam UU ini dinyatakan bahwa kedudukan Polri sebagai salah satu unsur ABRI yang sama sederajat dengan TNI AD, AL, dan AU. Sejarah Polri berlanjut pada masa Orde Baru dengan ditetapkannya Pokok-Pokok Organisasi dan Prosedur Bidang Pertahanan dan Keamanan yang menyatakan ABRI merupakan bagian organisasi Departemen Hankam meliputi AD, AL, AU  dan AK yang masing-masing dipimpin oleh Panglima Angkatan dan bertanggung jawab atas pelaksanaan tugas dan kewajibannya kepada Menhankam/Pangab. Ini lantaran pengalaman pahit dari peristiwa 1965 yang mencerminkan tidak adanya integrasi antar unsur-unsur ABRI. Jenderal Soeharto pun ditetapkan sebagai Menhankam/Pangab yang pertama.

Setelah Soeharto dipilih sebagai presiden pada tahun 1968, jabatan Menhankam/Pangab berpindah kepada Jenderal M. Panggabean. Namun ketatnya integrasi ini dampaknya sangat menyulitkan perkembangan Polri yang secara universal memang bukan angkatan perang. Pada 1969 dengan Keppres No. 52/1969 sebutan Panglima Angkatan Kepolisian diganti kembali sesuai UU No. 13/1961 menjadi Kepala Kepolisian Negara RI, namun singkatannya tidak lagi KKN tetapi Kapolri. Pergantian sebutan ini diresmikan pada 1 Juli 1969.

 

 

 

 

Polri sejak masa Reformasi

Sejarah terbentuknya Polri juga melewati reformasi 1998 yang menandai jatuhnya pemerintahan Orde Baru dan digantikan oleh pemerintahan reformasi dengan BJ. Habibie sebagai Presiden. Kemudian muncul tuntutan agar Polri dipisahkan dari ABRI dengan harapan agar dapat menjadi lembaga profesional dan mandiri, jauh dari ikut campur pihak lain dalam bidang penegakan hukum. Lalu terbit Instruksi Presiden no.2 Tahun 1999 yang memisahkan Polri dari ABRI. Sejak 1 April 1999, Polri berada di bawah Dephankam. TAP MPR no.VI.2000 dan Tap MPR no.VII/MPR/2000 kemudian terbit mengenai peran TNI dan Polri, menyatakan bahwa Polri berada di bawah Presiden secara langsung. Kemudian keluar UU no.2 tahun 2002 mengenai Kepolisian RI oleh Presiden Megawati Soekarnoputri yang menguatkan pertanggung jawaban Kapolri kepada Presiden, pengangkatan Kapolri yang harus disetujui DPR, pembentukan Komisi Kepolisian Nasional untuk membantu Presiden dalam pembuatan kebijakan dan pemilihan Kapolri.

Polri kemudian dilarang terlibat dalam politik praktis dan hak pilihnya dihilangkan, begitu juga dengan hak memilihnya, harus tunduk kepada peradilan umum setelah melalui peradilan militer. Reformasi internal juga dilakukan dengan menghilangkan corak militer, merubah paradigma menjadi institusi sipil penegak hukum profesional, penerapan Hak Asasi Manusia, penarikan fraksi ABRI dan Polri dari DPR, merubah doktrin, pelatihan dan juga tanda kepangkatan Polri, dan sebagainya yang diatur dalam Perpres no. 52 tahun 2010 mengenai Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kepolisian RI.

 

Museum Polri

Sejarah Polri yang panjang dan penuh perjuangan seperti dielaskan di atas kini sudah ditampilkan secara visual pada di Museum Polri di Jakarta yang diresmikan pada 1 Juli 2009 lalu. Museum itu tampaknya membantu sekali dalam  memperlihatkan perjalanan panjang kepolisian dalam tugasnya sebagai pelindung, serta penjaga ketertiban di dalam masyarakat dan kekuatan perang dalam mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang amat kaya.

Beragam koleksi seperti patung polisi zaman Jepang dan Belanda, pedang rampasan Jepang, peluncur roket, berbagai senapan mesin yang pernah digunakan menumpas berbagai pemberontakan, hingga berbagai foto yang menampilkan peranan kepolisian dalam perjalanan sejarah Indonesia. Selain itu di sini juga dapat dinikmati sajian yang membuktikan kiprah lembaga kepolisian termasuk figur-figurnya yang telah berjasa sebagai pemimpin kepolisian Indonesia.

Penjelasan sejarah Polri  dalam museum tersebut menunjukkan bagaimana kepolisian berevolusi dari masa ke masa. Dapat disimpulkan bahwa polisi selalu ikut serta dalam hitam putihnya perjuangan bangsa Indonesia sejak berperang melawan Belanda, melakukan perlawanan terhadap pendudukan Jepang hingga kemudian dimasukkan ke dalam angkatan bersenjata dan aktif selama masa-masa hingga pasca-reformasi.

 

Perlunya Sejarah Polri Berdimensi Humanis

Di atas semua harapan masyarakat yang telah dan selalu muncul agar kinerja Polri dan aparatnya semakin optimal, maksimal dan profesional sesuai aturan hukum, harus diakui prestasi dan capaian yang diraih Polri bagi bangsa dan negara telah banyak selama ini. Perkembangan akhir-akhir ini juga menjelaskan mengenai tugas kepolisian modern yang makin mengglobal. Tugas polisi tidak saja mengurusi keamanan dan ketertiban di dalam negeri, tetapi juga terlibat masalah-masalah keamanan dan ketertiban baik di tingkat regional maupun internasional. Selain itu aspek pemolisian masyarakat semakin amat menonjol termasuk sinergi yang diciptakannya dengan lembaga-lembaga lainnya.

Sudah selama beberapa dekade polisi dan kepolisian hadir dalam penegakan hukum, bantuan terhadap bencana, musibah, maupun tugas-tugas kemanusiaan yang sulit. Segi lain pencapaian yang menonjol dalam penanggulangan masalah-masalah yang lebih kompleks seperti pemberantasan terorisme, narkoba, konflik sosial, hoaks  dan seterusnya. Kesemuanya tampak selalu menjadi fokus utama korps Bhayangkara untuk negara ini, yakni menjawab keinginan dan harapan masyarakat serta memberikan pengabdian yang seluas-luasnya.

Pencapaian-pencapaian tersebut jelas memiliki sejarah yang panjang yang sebenarnya juga dapat didokumentasikan dan ditampilkan bagi khalayak. Sejarah ini dapat kiranya melengkapi sejarah Polri yang sudah ada namun amat sarat dibalut dalam konteks sejarah politik dan keamanan. Keinginan Polri untuk bisa lebih berhasil mengkomunikasikan pencapaian-pencapaian dalam masyarakat menjadikan keinginan ini sangat relevan. Apalagi bila dihubungkan dengan isi tema Bhayangkara tahun 2021 ini.

Tema Bhayangkara tahun ini adalah Transformasi Polri yang presisi mendukung percepatan penanganan Covid-19 untuk masyarakat Sehat dan Pemulihan Ekonomi Nasional menuju Indonesia maju. Selain vaksinasi  masal dengan target 1 juta dosis perhari di atas, Polri juga menggelar Bakti Sosial (Baksos) serentak sebanyak 272.662 paket sembako, 200 000 masker dan 40.000 cairan antiseptik. Baksos ini dilaksanakan dalam kurun waktu 25 Juni hingga 9 September 2021. Sedangkan untuk kegiatan kemanusiaan, dilaksanakan donor darah, donor plasma convalesen, operasi katarak, operasi bibir sumbing, pengobatan massal, dan pelayanan penerbitan SIM bagi masyarakat yang berulang tahun pada 1 Juli 2021.

Pemilihan tema di atas itu tiada lain telah menunjukkan bagaimana upaya Polri berusaha selalu relevan dengan kebutuhan dan konteks Indonesia terkini dengan membuat program-programnya yang spesifik dan amat strategik sesuai kebutuhan Indonesia yang sesungguhnya.  Apalagi masyarakat baru  saja menilai 100 hari prestasi Polri di bawah  kepemimpinan Kapolri Baru Listyo Sigit Prabowo yang  dianggap positif. Polri dalam sejarahnya jelas telah menunjukkan perannya dalam mengemban tugas-tugas kepolisian di seluruh wilayah Indonesia dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat; menegakkan hukum; dan memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Polri sudah sering mengatakan bahwa sejarah Polri adalah unik, kompleks dan memiliki banyak dimensi. Namun di sisi lain sejarah Polri masih belum sekaya yang dibayangkan, yang pada galibnya merupakan kumpulan memori-memori lengkap perjalanan panjang polisi dan kepolisian dengan berbagai aspeknya. Figur-figur yang banyak jasanya bagi Polri, peran polisi wanita maupun sejarah-sejarah sosial peran Polri di daerah-daerah misalnya, masih belum banyak ditulis dan ditampilkan demi memberikan wajah Polri yang manusiawi.

Sejarah Polri merupakan aset tak ternilai dan refleksi identitas jati diri yang tidak saja berguna untuk retrospeksi diri, namun juga potensinya  yang besar untuk menemukan langkah-langkah ideal cara bagaimana membawa masa depan Polri  yang paling sesuai dan tepat menuju kegemilangannya di masa depan. Karenanya, bertepatan dengan perayaan Hari Bhayangkara tahun ini, suatu sejarah Polri yang humanis dan dapat memperlihatkan pencapaian-pencapaian bagi pelayanan masyarakat penting ditulis di samping sejarah Polri yang sudah tersedia selama ini. Tujuannya antara lain untuk dapat  mencerminkan kinerja sosial Polri dalam menerjemahkan moto Rastra Sewakotama yang artinya Abdi Utama bagi Nusa Bangsa dari masa ke masa. (Isk – dari berbagai sumber).

Exit mobile version