Site icon Risalahnegeriku

Tiada Toleransi Untuk Penghasut dan Penyebar Kebencian

Bareskrim Polri sudah menahan politikus Hanura Ambroncius Nababan yang menjadi tersangka kasus ujaran kebencian dan SARA kepada Natalius Pigai di sosial media Facebook. Polri menegaskan bahwa tiada toleransi bagi penghasut dan penyebar kebencian di dunia maya.

Jakarta. 17 Maret 202. Direktur Tindak Pidana Siber Bareskrim Polri, Brigjen Slamet Uliandi, mewanti-wanti masyarakat dalam menggunakan media sosial. Slamet mengatakan Polri tak akan segan-segan untuk menindak tegas mereka yang sengaja membuat ujaran untuk membuat perpecahan.”Seperti yang disampaikan pimpinan Polri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam fit and proper test pekan lalu, bahwa Polri akan membedakan penanganan ujaran kebencian yang penyelesaiannya masih bisa dilakukan lewat teguran, dengan ujaran kebencian yang bersifat memecah belah. Tak ada toleransi bagi pihak-pihak yang dengan sengaja membuat ujaran untuk memecah belah,” kata Slamet kepada media, Kamis (28/1/2021). Slamet menjelaskan masyarakat harus dewasa dalam menggunakan media sosial. Jangan sampai, ada unggahan yang berpotensi memecah persatuan bangsa.

Siber Bareskrim memastikan akan tetap menghormati kebebasan berbicara masyarakat karena itu adalah hak konstitusional setiap warga negara. Namun kepolisian mengingatkan kepada semua pihak, agar berhati-hati dalam ‘bermain jari’ jangan sampai membuat sebuah postingan yang mengarah kepada perpecahan bangsa khususnya menjurus pada persoalan suku, agama, ras dan antargolongan.

Tak Ada Toleransi

Sedangkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebelumnya menjelaskan mengenai perbedaan penanganan ujaran kebencian biasa dan ujaran yang berpotensi membuat perpecahan. Sigit menegaskan tak ada toleransi bagi mereka yang memecah belah persatuan bangsa. “Kami akan jaga supaya kami bisa berdiri di tengah memberikan rasa keadilan kepada semuanya. Namun tentunya yang harus kami sampaikan terkait hate speech kalau yang biasa-biasa tentunya akan kita tegur, minta maaf kemudian selesai,” kata Sigit dalam fit and proper test calon Kapolri di Komisi II DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (20/1/2021).

“Tapi yang berisiko memecah belah persatuan bangsa, kami tidak ada toleransi, pasti kami proses,” kata Sigit. Hal ini ia katakan agar memberikan pendewasaan terhadap masyarakat dalam menggunakan media sosial. Masyarakat harus mengetahui batasan-batasan mengeluarkan pendapat di muka umum maupun yang disampaikan melalui media sosial.

“Jadi supaya kita bisa jaga di mana kita boleh dan di mana tidak, ini jadi kedewasaan kita dalam memanfaatkan ruang siber, ruang publik sehingga bisa sama-sama menciptakan kehidupan saling menghormati mana yang tidak boleh, mana yang bisa masih ada toleransi. Hal-hal tersebut tentunya harus kita jaga,” katanya.

Sikap Tegas Polri

Polri memastikan akan bersikap tegas terhadap warganet pelanggar UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) yang masih bandel menolak menghapus konten yang diunggahnya usai mendapatkan peringatan kali kedua dari petugas virtual police atau polisi dunia maya. Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan menyatakan pihaknya akan memanggil warganet tersebut untuk dilaksanakan tahapan proses klarifikasi jika masih menolak menghapus unggahannya usai mendapatkan peringatan sebanyak dua kali.

“Kan peringatan pertama 1×24 jam, setelah peringatan pertama belum diindahkan diberikan kedua. Setelah peringatan kedua enggak, dalam proses-proses itu kita melakukan panggilan untuk klarifikasi,” kata Ahmad kepada wartawan, Minggu (14/3/2021). Sejauh ini, Ahmad menyatakan ada 12 akun yang telah mendapatkan peringatan kedua dari petugas virtual Police. Sementara itu, 40 akun masih dalam tahapan mendapatkan peringatan pertama.

“Tujuannya apa? memberikan edukasi, peringatan. Jangan sampai, postingan-postingan tersebut berpotensi menjadi tindak pidana bagi yang memposting tersebut dan tentu efeknya yang kita cegah,” tandas dia.Diberitakan sebelumnya, petugas virtual police menegur sebanyak 89 akun sosial media yang telah berpotensi melanggar undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE).

Teguran virtual police itu berdasarkan data terakhir yang dihimpun oleh Direktorat Siber Bareskrim Polri sejak 23 Februari 2021 hingga 11 Maret 2021. Sejatinya, ada 125 akun sosial media yang berpotensi mendapatkan teguran virtual police. Kabag Penum Divisi Humas Polri menyampaikan proses verifikasi dari para ahli menyatakan hanya 89 akun sosial media yang dianggap memenuhi unsur yang dapat berpotensi melanggar UU ITE dan harus mendapatkan peringatan virtual police. “Dari 125 konten tersebut, 89 konten dinyatakan lolos verifikasi. Artinya konten memenuhi ujaran kebencian jadi memenuhi unsur. Sedangkan 36 konten tidak lolos artinya tidak menuju ujaran kebencian,” paparnya. Platform akun sosial media yang paling banyak terkena teguran paling banyak berasal dari twitter. Kemudian disusul Facebook, Instagram, Youtube dan Whatsapp.

Kritik Terhadap Polisi Virtual

Namun, sejumlah pihak merasa dengan adanya polisi virtual justru menambah masalah baru. Berikut beragam kritik atas program tersebut:

1. Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
Peneliti KontraS, Rivanlee Anandar menilai, keberadaan polisi virtual  ini ironis di tengah ketakutan masyarakat karena ancaman UU ITE. Polisi virtual justru semakin membuat orang takut karena dipantau polisi ketika menyampaikan ekspresi.”Kalau UU ITE disebut bisa mengganggu demokrasi, lah ini malah memberi ruang virtual police aktif. Makin takutlah orang komentar,” ujar Rivan, Selasa, 23/2/2021.

2. Refly Harun, Ahli Hukum Tata Negara ini menilai, kehadira virtual police tidak akan menyelesaikan polemik bila kritik terancam dijerat UU ITE. “Saya kira mungkin akan memunculkan problem baru,” kata Refly Harun seperti dikutip dari kanal YouTube Najwa Shihab. Refly menjelaskan, jika UU ITE telah memberikan terlalu lebar kewenangan kepada penegak hukum untuk menafsirkan. “Saya katakan tidak ada kritik yang dikriminalkan. Cuman masalahnya adalah membedakan kritik, penghinaan, ujaran kebencian, hasutan, provokasi itu yang nggak jelas,” ucap dia. Yang berbahaya, kata Refly Harun, ketika orang merasa bahwa dia menyampaikan kritik, namun yang muncul di penegak hukum bukan menyampaikan kritik tapi telah menghina. Akibatnya, polisi akan mudah menangkap orang, terutama ketika memiliki subjektifitas dan target.

3. The Indonesian Institute Center for Public Policy Research
Rifqi Rachman, selaku peneliti, mempertanyakan urgensi pembentukan polosi virtual ini. Sebab, menurut dia, polisi virtual tidak serta merta bisa menjadi solusi untuk memperbaiki etika warganet di media sosial. “Ketika pendekatan melalui polisi siber tidak mampu memasuki ranah etis di ruang digital, pembentukan polisi virtual dengan pendekatan edukasi senyatanya juga tidak dapat langsung menjadi jawaban,” kata Rifqi melalui keterangan tertulis pada 21 Januari 2021. Justru, kehadiran polisi virtual akan mempersempit kebebasan warga di ruang digital. Lebih lanjut, Rifqi juga mempertanyakan ruang lingkup edukasi yang dapat diberikan oleh polisi virtual ini.


Masukan Penanganan Kejahatan Siber

Berdasarkan analisis penulis, pendekatan yang masih diterapkan untuk perkara yang sesungguhnya bisa dituntaskan tanpa melalui proses pidana. Misalnya, kasus pelanggaran UU ITE. Sebab peningkatan kemajuan teknologi yang diiringi penyalahgunaan, membuat tindak pidana siber semakin meningkat.  Berdasarkan data Polri, selama 2020 jumlah tindak pidana siber yang ditangani sebanyak 4.800 kasus. Jenis tindak pidana siber yang paling banyak, yakni pencemaran nama baik sebanyak 1.587 kasus, penipuan sebanyak 1.190 kasus, pornografi sebanyak 354 kasus, akses ilegal sebanyak 268 kasus, ujaran kebencian sebanyak 195 kasus, dan hoaks sebanyak 179 kasus.

Sayangnya, hanya 1.462 kasus, atau sekitar 30% yang bisa diselesaikan. Penyelesaian perkara yang terbilang sedikit itu diduga karena tak meratanya sumber daya manusia penyidik di bidang siber di polda, polres, dan polsek. Infrastruktur pendukungnya pun masih minim. Satuan polisi siber itu hanya di kota-kota besar, sedangkan kasus dari seluruh Indonesia.

Dalam memaksimalkan kerja polisi siber, tak cuma penegak hukumnya saja yang diperbanyak, tetapi juga perlu merevisi undang-undang dan memberikan pemahaman literasi hukum kepada masyarakat. Ketika menangani tindak pidana siber pun, Polri kerap kali mendapat kritik karena dianggap tebang pilih. Polri disebut-sebut seringkali mendahulukan perkara yang menyudutkan pemerintah, terutama soal ujaran kebencian di media sosial.

Akan tetapi, penanganan perkara siber antara pihak di barisan pendukung dan berseberangan dengan pemerintah tidak jomplang. Hanya publikasinya lebih masif terhadap perkara yang menyudutkan pemerintah. Selain itu, pihak yang berseberangan dengan pemerintah memang lebih sering melakukan ujaran kebencian. Hal itu didukung berlimpahnya barang bukti. Penyidik itu hanya berlandaskan fakta dan bukti yang didapat. Tidak bisa lagi menangani perkara yang tidak cukup alat buktinya.(EKS/berbagai sumber)

Exit mobile version