Aksi ‘smackdown’ oleh anggota Polresta Tangerang terhadap seorang mahasiswa yang melakukan aksi unjuk rasa di depan Kantor Bupati Kabupaten Tangerang, Banten, Rabu (13/10/2021) muncul menjadi berita utama mengenai isu-isu kekerasan polisi yang selama ini kerap terjadi di Indonesia. Kekerasan yang dilakukan polisi selama ini adalah mengacu pada tindakan penggunaan kekerasan secara berlebihan saat mereka berhubungan dengan masyarakat sipil. Aksi ‘smackdown’ adalah salah satu contoh kekerasan fisik yang fatal. Namun demikian, sebenarnya konsep kekerasan ini cukup luas, karena dapat menyangkut kekerasan yang bersifat verbal, psikologis, pelecehan bahkan sikap diskriminasi. Ahli psikologi umumnya menyatakan kasus-kakus kekerasan banyak yang dilakukan oknum polisi akibat stres dengan beban pekerjaannya. Mereka menumpahkan beban-beban psikologis di saat menghadapi anggota masyarakat dalam konteks upaya penegakan hukum. Aksi itu terjadi karena terpicu situasi yang memanas sehingga membuat yang bersangkutan berpotensi melakukan tindakan brutal yang menunjukkan kekuasaannya. Menurut Wakil Koordinator Bidang Advokasi Kontras Arif Nur Fikri, tindakan kekerasan polisi di Tangerang itu sebenarnya cermin brutalisme anggota kepolisian dan kultur kekerasan di tubuh Polri yang dinormalisasi. Tindakan brutalitas aparat terhadap seorang massa aksi ini, menurut tidak lepas dari kultur kekerasan yang sudah langgeng di tubuh kepolisian. Apalagi selama ini kasus-kasus serupa tidak pernah diusut secara tuntas dan berkeadilan. Pertanyaannya, apakah masalah kekerasan polisi seperti contoh di atas merupakan masalah yang hadir di masa kontemporer Indonesia saja, ataukah masalah kompleks yang sebenarnya sudah berakar di tanah air sejak awal mula terbentuknya ide polisi dan tugas polisi modern?
Jakarta, 5 Oktober 2021. Polisi karena difungsikan sebagai aparat penjaga kepentingan kolonial bagi ketertiban dan keamanan penjajah, sejak awal polisi di Hindia Belanda polisi memang sudah identik dengan kekerasan. Demikian menurut sejarawan Marieke Bloembergen dalam karyanya Polisi Zaman Hindia Belanda: Dari Kepedulian dan Ketakutan (2011). Proses pembentukan karakter modern polisi Indonesia sudah dimulai sejak 1897. Didirikan demi kepentingan penjajah dan bermula dari kekhawatiran munculnya perubahan cepat masyarakat kolonial ke arah kebangkitan nasional pribumi yang terjajah. Kata polisi yang merupakan lafal Indonesia untuk kata ‘politie’ bahasa Belanda, diartikan sebagai opas, atau mata-mata yang dipasang penguasa demi kepentingan politik mereka.
Dikatakan bahwa polisi dibentuk untuk tugas ideal menjaga ketentraman, mencari pelaku kejahatan dan para pelanggar hukum. Namun dalam kenyataannya, keadilan itu tidak selalu tersedia bagi semua orang atau lapisan masyarakat, apalagi kalau pribumi atau masyarakat bawah. Polisi kolonial pada dasarnya bekerja menjadi kaki tangan para elit yang berkuasa. Dengan seragam khususnya, mereka berlaku semena-mena, merasa setara dengan para petinggi seperti bupati, residen maupun pemimpin-pemimpin lokal yang pro kolonial dan lebih tinggi dari rakyat. Para elit di koloni memberi kekuasaan dan wewenang kepada mereka untuk memproteksi kekuasaan. Polisi akan ikut hadir dalam acara-acara politik dan seremonial untuk menunjukkan kekuatan, kontrol dan juga represi-nya.
Masyarakat yang berseberangan dan ancaman penguasa, akan segera ditumpas polisi kolonial. Kalau perlu itu dilakukan dengan kekerasan. Walaupun kebanyakan latarbelakang yang direkrut adalah pribumi, bukan berarti sebagai polisi mereka memberi perlindungan kepada bangsanya. Mereka di baris depan dalam menumpas perlawanan dan protes warga di kampung-kampung atas kesewenang-wenangan penguasa. Dari sinilah, unsur kekerasan polisi agakanya mulai menjadi budaya dalam lingkungan kepolisian di Indonesia.
Polisi kolonial tidak segan-segan melakukan kekerasan yang perlu dilaksanakan agar ‘rust en orde’ atau ketentraman koloni terjaga. Dalam konteks ini, pengaplikasian sikap kekerasan, mulai dari yang ringan hingga yang berat sering terjadi. Mereka memiliki kewenanan melakukan cara-cara penginterogasian, penyidikan, pengadilan, atau pemenjaraan yang kejam. Sejarawan Belanda Henk Schulte Nordholdt berpendapat polisi waktu itu dibutuhkan sebagai perpanjangan tangan pemerintah demi keamanan dan ketertiban di Hindia Belanda yang penuh kekerasan. Perannya makin lama makin yang luas dan menggurita. Bagi sejarawan Harry Poeze Hindia Belanda kemudian berubah menjadi negara polisi. Perilaku brutal polisi di koloni sangat kaya terekam dalam media massa, arsip negara maupun arsip kepolisian.
Figur polisi kolonial makin lama makin lekat dengan kekerasan dan lembaga kepolisian menjadi sarana absah mewujudkan monopoli atas penggunaan kekerasan.
Polisi kolonial campur tangan dalam politik karena alat negara yang dikendalikan dari pusat. Ia menjadi alat legitimasi. Sosok polisi bertangan besi S.L Oostmeijer yang bertugas di Surabaya pada 1920-1922, merupakan contoh perwira polisi kolonial yang menggunakan kekerasan dalam menghadapi masyarakat pribumi lewat tangan polisi bawahannya.
Kekerasan Masa Kemerdekaan
Kepolisian di Indonesia pada era awal kemerdekaan merupakan penerusan sistem kepolisian yang ditinggalkan koloni. Citra tentang polisi yang sewenang-wenang pada masa kolonial tetap hidup di kalangan rakyat, termasuk segi kekerasannya. Kepolisian masih menjadi lembaga yang berpengaruh di kalangan rakyat pada era 1960-an seperti halnya lembaga TNI. Pada era 1966 sampai 1980-an, Polri dan TNI bergabung menjadi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Situasi ini menyebabkan personil polisi semakin bisa lebih berkuasa, bersifat militeristik dan represif dalam aksi dan tindakannya karena disamakannya status dan keanggotaan Polri dengan personil militer aktif.
Ada kasus kekerasan polisi yang menjadi berita besar di era 70-an. Pada 1973, diberitakan tentang kasus yang melibatkan tim khusus anti bandit (Tekab) di mana anggota nyamelakukan penganiayaan hingga meninggal terhadap koban Martawibawa atau Tan Tjong di Komdak Metro Jaya. Yang bersangkutan tersangkut kasus makelar mobil dan keimigrasian. Citra Tekab sebagai pelindung warga ibukota dari ancaman penjahat yang merajalela menjadi rusak karena kekerasan ini. Menurut I Gde Putu Gunawan, peneliti kasus kejahatan di Jakarta, ketika Awaloedin Djamin diangkat menjadi Kapolri, ia melibatkan peran masyarakat untuk penanggulangan kejahatan di samping polisi, yakni lewat pencanangan Sikamtibnas Swakarsa (Sistem keamanan dan ketertiban Masyarakat Swakarsa). Mulai saat itu, peran Tekab tereduksi dan kekerasan polisi dapat dikurangi berkat partisipasi masyarakat yang diperluas demi membantu kinerja aparat kepolisian.
Banyak kasus kekerasan yang dilakukan oknum anggota polisi sejak era 1980-an karena tidak sedikit yang ikut terlibat dalam dunia kriminalitas yang seharusnya bidang yang mereka perangi. Sayangnya banyak kasus yang ditutup-tutupi sehingga kekerasan tidak muncul ke permukaan atau dipublikasikan. Sebagaimana diketahui, media massa era ini terbungkam karena adanya sensor dan larangan memberitakan topik-topik yang menyangkut institusi Pemerintah.
Pada masa Orde Baru personil ABRI, dan tak ketinggalan anggota Polri marak ikut “mengamankan” aset-aset ekonomi negara yang rawan sekali melibatkan tindak kriminal anggota polisi itu sendiri. Kekerasan di kalangan anggota polisi timbul karena Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). Namun sekali lagi karena ketertutupan, elemen kekerasan tersebut tidak terekspos secara luas. Pendeknya, kekerasan tidak berkurang, namun justru semakin langgeng dan hidup di masyarakat sebagai suatu budaya.
Mekanisme kekerasan dan penyiksaan oleh oknum kepolisian masih belum berkurang sesudah munculnya Reformasi. Pengusutan laporan kekerasan yang masuk juga tidak dilakukan secara tuntas atau dibeberkan secara transparan kepada masyarakat. Pada 2017 dilaporkan terdapat 1.248 pengaduan tindak kekerasan. Pada 2018 ada 1.201 pengaduan. Dari 1.248 kasus pada 2017, 87 kasus terbukti dan pelaku sudah ditindak. Sementara itu, dari 1.201 kasus pada 2018, sebanyak 133 kasus terbukti dan ditindak. Meskipun demikian banyak kasus yang kemudian tidak dapat dibuktikan.
Lembaga Amnesti Indonesia mencatat bahwa dari Januari hingga Juni 2021, polisi merupakan terduga pelaku terbanyak yang melakukan serangan terhadap aktivis HAM di Indonesia. Polisi dituduh melakukan aksi kekerasan maupun intimidasi. Paling tidak terdapat 7 kasus yang menyebabkan jatuhnya 8 korban. Oknum polisi juga dilaporkan terlibat 17 kasus penyiksaan dengan korban sejumlah 30 korban. Lebih jauh lagi, polisi juga dilaporkan terlibat dalam 14 kasus dugaan pembubaran aksi, penangkapan dan kekerasan terhadap 198 mahasiswa Papua yang sedang menyampaikan pendapatnya baik di tanah Papua maupun di luar Papua, meskipun aksinya dilakukan secara damai sehingga aparat kepolisian itu dikategorikan terlibat sebagai pelanggar HAM.
Menyusul demo di depan KPU, ada oknum aparat kepolisian yang dianggap melakukan excessive force kepada pendemo pada 21-23 Mei 2019. Menurut Amnesti Internasional, Indonesia Korps Brigade Mobil (Brigade Mobil) Polri telah melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) serius terhadap warga yang tak berdaya saat melakukan penyisiran di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta, usai kerusuhan 22 Mei. Oknum polisi yang terlibat tidak jelas apakah diadili dan diberi hukuman yang setimpal atau tidak.
Perangkat Hukum
Menurut penelitian, perilaku kekerasan aparat termasuk kepolisian di mana-mana memiliki korelasi dengan sejauh mana negara mereka mengakui dan memiliki komitmen serta menghormati hak-hak asasi manusia. Bila tindak kekerasan dari aparat yang masih tinggi, negara itu masih harus melakukan tindakan-tindakan penguatan terhadap kekuatan masyarakat sipilnya. Mereka perlu melengkapi perangkat hukum undang-undang pencegahan dan pengusutan aksi kekerasan oleh aparat. Peraturan juga harus diterapkan secara nasional, memadai dan bebas dari upaya pemberian impunitas terhadap aparat yang terlibat.
Indonesia sebenarnya sudah memiliki perangkat hukum dan undang-undang yang diperlukan. Larangan penyiksaan telah diatur dalam konstitusi Indonesia. Hak hidup dan untuk disiksa dilindungi dalam Pasal 28I UUD 1945 serta Pasal 4 dan Pasal 9 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Indonesia meratifikasi Pasal 6 Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (ICCPR) lewat UU Nomor 12 Tahun 2005 yang menegaskan bahwa setiap individu memiliki hak untuk hidup yang tak boleh dirampas.
Pada 2006 Peraturan Kapolri No. 16 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengendalian Massa (Protap Dalmas) pasal 7 ayat (1) juga sudah ditetapkan. Polisi dilarang bersikap arogan, terpancing perilaku massa, melakukan tindakan kekerasan yang tidak sesuai prosedur, mengucapkan kata-kata kotor, melakukan pelecehan seksual, membawa senjata tajam dan peluru tajam, keluar dari formasi dan mengejar massa secara perseorangan, bahkan memaki-maki pengunjuk rasa.
Dalam Perkapolri tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian (No.1/2009), senjata api hanya boleh digunakan dalam situasi sangat diperlukan untuk menyelamatkan nyawa dan mengacu ke prinsip. Sedangkan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia sudah mewajibkan setiap anggota polisi menghormati harkat dan martabat manusia berdasarkan prinsip HAM.
Jelaslah, polisi sebenarnya wajib menggunakan prosedur hukum yang transparan dan menghormati HAM. Tak seorang pun bisa berada di atas hukum, terutama untuk mereka yang berkewajiban menegakkannya. Semua kasus penggunaan kekuatan berlebihan oleh polisi perlu diselidiki secara menyeluruh, independen, tidak memihak, transparan dan jika bukti menunjukkan pelanggaran hukum, petugas polisi yang bertanggung jawab harus dituntut secara pidana.
Kekerasan Sebagai Suatu Metode?
Meskipun peraturan sudah memadai, tampaknya masalah kekerasan masih banyak harus dibenahi. Berbagai polemik dan sorotan masyarakat didiskusikan, untuk mencari penyelesaian terbaik penyebab kekerasan dan kebrutalan polisi. Namun seperti yang dilontarkan oleh Kontras, banyak pihak yang menganggap bahwa megara lama tidak menganggap persoalan ini sebagai serius untuk mendorong polisi patuh pada aturan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kekerasan dan penganiayaaan sampai sekarang ini masih terus berlangsung bahkan merupakan metode ampuh bagi polisi untuk tujuan pragmatisnya.
Menurut Zaky Yamani, aksi kekerasan di Indonesia sepertinya merupakan aksi sistematis dan bukan spontan. Menurutnya, begitu kentara metodenya diterapkan kepada pendemo mahasiswa atau pelajar di berbagai tempat di Indonesia selama ini. Ini menunjukkan represif negara lewat polisinya.
Demi keberhasilan proses interogasi mengorek keterangan saksi atau seorang tersangka, kekerasan dan penganiayaan memang sering diterapkan sebagai cara. Ia beragam bentuknya, mulai dari pukulan, tendangan dan masih banyak lagi. Aksi kekerasan ini hanya diketahui bila sempat dilaporkan atau bocor ke khalayak. Ada banyak tersangka yang dianiaya dalam penyelidikan atau ketika berada di sel tahanan namun tidak diketahui. Model ini juga terjadi di negara lain. Polisi biasanya akan membela diri dan berkilah trlah melakukan kekerasan karena korban tidak mau bekerjasama lewat pemberian keterangan yang berbelit-belelit.
Publik secara hukum berhak menggugat cara penanganan masa aksi yang tidak sesuai prosedur dan harus mendisiplinkan anggotanya. Namun beberapa pengamat menyatakan bahwa penerapan impunitas polisi yang kerap terjadi telah menyebabkan kekerasan atau kebrutalan polisi di Indonesia masih akan terus berulang. Ini artinya bahwa hukum yang berlaku sering diabaikan dan tidak ditegakkan. Sebagian ahli juga menyatakan bahwa khususnya di Indonesia, kultur kekerasan memang bagaimanapun ada hubungannya dengan budaya kekerasan yang dimulai pada masa kolonial. Dengan masuknya elemen militeristik pada masa Orde Baru, elemen kekerasan semakin mengkristal, seperti yang kita temui sekarang. Artinya, kedua faktor itu ini memberi kontribusi bagi sulitnya upaya mengatasi aksi tindak kekerasan aparat sampai kini.
Fenomena global
Munculnya teknologi informasi dengan linimasa media sosial berbagai platform telah membuka lembaran baru pengungkapan kekerasan oleh aparat yang tidak dimungkinkan sebelumnya. Sebagai fenomena global, kekerasan yang biasa dilakukan olh polisi makin mendapatkan momentumnya dengan kemunculan kasus George Floyd di Amerika Serikat beberapa waktu lalu.
Peristiwa ini telah memancing amarah publik setelah sebuah video viral yang menunjukkan bagaimana polisi menekan dengkul korbannya secara dingin selama sembilan menit, mengabaikan permohonan warga kulit hitam yang mengeluh berkali-kali itu bahwa yang bersangkutan tidak bisa bernafas (I can’t breathe). Permintaan keadilan, pemecatan, pengadilan dan penghukuman atas pelaku kekerasan diajukan agar tidak terulang. Pertanggugjawaban kebrutalan polisi sejak itu makin muncul menjadi tuntutan negara lain, tidak saja di Amerika Serikat. Kasus ini menjadi simbol perlawanan rakyat terhadap kekerasan polisi dan apa yang dianggap sebagai ketidakadilan dalam proses penegakan hukum terhadap polisi sebagai pelaku-pelaku kekerasan sebelumnya.
Penggunaan kekerasan yang berlebihan (excessive force) merupakan bentuk kesewenang-wenangan polisi. Di negara maju seperti Amerika, kasus kekerasan polisi juga tidak selalu mendapat hukuman setimpal, proses hukumnya berjalan panjang dan keadilan tidak tercapai. Menurut penelitian, 99 persen dari kasus kekerasan polisi di dunia, tidak diselesaikan dengan adil. Reformasi budaya kekerasan polisi mulai dilakukan besar-besaran seiring banyaknya rekaman-rekaman aksi kebrutalan polisi yang tertangkap kamera.
Penghapusan Kultur Militer?
Menurut aturannya di Indonesia, jika polisi melakukan tindakan kriminal seperti korupsi, pemerkosaan, penyiksaan, dan pembunuhan, polisi tersebut telah dianggap melanggar disiplin dan kode etik profesi polisi sekaligus melakukan tindak pidana. Berdasarkan bukti yang cukup, tersangka bisa diproses secara pidana walaupun telah menjalani sanksi disiplin dan sanksi pelanggaran kode etik lembaga.
Namun dalam kenyataannya, pihak kepolisian tidak selalu memberi sanksi dengan mencopot polisi yang terduga bersalah secara tidak hormat karena melakukan tindak kekerasan dan telah melawan hak asasi manusia. Apakah ini karena sulitnya mengikis budaya kekerasan dalam sistem kepolisian yang sudah berurat akar?
Sebagian pengamat menilai masih kuatnya kultur militer di kalangan polisi Indonesia menyebabkan kekerasan masih akan terjadi di masa depan. Apalagi bila kekerasan oleh aparat kepolisian masih secara terang-terangan dianggap sesuatu yang normal. Tindakan seperti menendang, memukuli dan melukai demonstran yang melakukan aksinya secara damai merupakan pemandangan biasa selama ini.
Kultur militeristik ini ini harus dihapus dan digantikan dengan kultur yang lebih sesuai dengan sipil. Personil kepolisian harus dibekali pendekatan konflik yang lebih mengutamakan dialog untuk mencegah de-eskalasi konflik. Instropeksi dan evaluasi sistim seperti yang dilakukan di Amerika harus dilakukan juga di Indonesia. Polri perlu mengevaluasi dan memperbaiki sistem yang ada yang terkait isu-isu politik dan penanganan demo-demo damai dan mencari jawaban mengapa kekerasan masih kerap terjadi.
Tidak boleh lagi ada sekelompok oknum kepolisian yang masih melakukan excessive force seenaknya kepada segenap anggota masyarakat tanpa dikenai konsekuensi dan hukuman setimpal. Selanjutnya, pola pendidikan polisi, sistem rantai komando harus mendapatkan perhatian pula sebagai solusi. Sering diargumentasikan bahwa ketika melakukan pengamanan aksi, tidak jarang seorang personil polisi menggunakan opini pribadi yang tidak netral ketimbang menjalani prosedur yang ditetapkan. Masalah kekerasan polisi merupakan masalah yang kompleks, historis dan kultural. Hanya dengan penanganan yang seksama dengan semangat akuntabilitas yang tinggi, masalah ini dapat diantisipasi bersama guna meminimalisasi terjadinya kekerasan-kekerasan baru aparat kepolisian di masa mendatang. (Isk – dari berbagai sumber)