Inanegeriku – Jagad dunia maya digemparkan oleh berita Shopee yang melakukan lay-off terhadap sejumlah karyawannya.
Setelah badai startup global yang melakukan aksi PHK sepanjang tahun 2022, kini giliran startup e-commerce terbesar di Tanah Air yang mengikuti langkah serupa.
Tidak diketahui dengan pasti sebenarnya berapa banyak karyawan Shopee yang diberhentikan. Namun berdasarkan informasi yang diterima CNBC Indonesia, ada sekitar 3% karyawan yang terdampak.
Apabila total karyawan Shopee mencapai 6.000 orang, artinya ada sekitar 186 orang yang dirumahkan. Menariknya, jumlah tersebut jauh dari data yang masuk ke daftar milik akun komunitas karyawan startup, Ecommurz.
Jumlah ex-karyawan Shopee yang mengisi daftar pencari kerja yang disediakan mencapai 515 nama. PHK yang dilakukan Shopee sebenarnya bukan hal baru karena sudah dilakukan di berbagai negara lain juga.
Shopee telah menutup kantornya di sejumlah negara Amerika Latin. Laporan Reuters mengutip tiga sumber mengatakan perusahaan menutup operasional lokal di Cile, Kolombia, dan Meksiko, bahkan menutup seluruhnya di Argentina.
Gonjang-ganjing soal PHK Shopee secara global sudah mulai berhembus sejak Juni tahun ini, tempat Shopee dilaporkan akan melakukan PHK skala besar di beberapa pasar utama, termasuk Indonesia.
Pihak Shopee mengatakan bahwa kebijakan PHK merupakan sebuah hal yang sulit untuk diambil. Namun Shopee dituntut untuk beradaptasi dengan kondisi perekonomian saat ini dan melakukan evaluasi terhadap portofolio bisnisnya.
Lantas seperti apa kondisi bisnis Shopee secara keseluruhan? Asal tahu saja, Shopee merupakan e-commerce yang dimiliki oleh Sea Group.
Sea Group sendiri memiliki tiga lini bisnis utama yaitu E-commerce, digital entertainment termasuk di dalamnya gim, dan digital financial services.
Pada kuartal II-2022, Sea Group mencatat total pendapatan mencapai US$ 2,9 miliar atau setara dengan Rp 43,5 triliun dengan asumsi kurs Rp 15.000/US$.
Segmen e-commerce menjadi penyumbang terbesarnya dengan total pendapatan mencapai US$ 1,7 miliar atau setara dengan 59%.
Sebenarnya dari sisi top line, pendapatan segmen e-commerce mengalami peningkatan sebesar 13% secara kuartalan dan 51% secara tahunan hingga kuartal II-2022.
Pendapatan induk Shopee secara konsolidasian juga meningkat 29% secara tahunan. Namun beban biaya melonjak 37% secara tahunan.
Pos cost of revenue yang memiliki kontribusi terbesar mengalami peningkatan 37% disusul oleh beban biaya penjualan dan pemasaran yang naik 6%, general & administrative expense yang naik 96% dan R&D yang melonjak 115%. Berikut rinciannya.
Expense (US$ Million) | 1Q21 | 2Q22 | Change |
Cost of Revenue | 1,350 | 1,852 | 37% |
Sales & Marketing Expense | 921 | 974 | 6% |
G&A Expense | 243 | 476 | 96% |
R&D Expense | 173 | 371 | 115% |
Total Cost | 2,687 | 3,673 | 37% |
Alhasil di kuartal II-2022, induk Shopee harus menanggung rugi bersih senilai US$ 931 juta atau setara dengan Rp 13,97 triliun. Rugi bersih induk Shopee membengkak 115% dibanding kuartal II-2021.
Sebagai perusahaan yang merugi tentu saja akan mencatatkan arus kas yang negatif. Posisi kas induk Shopee terakhir tercatat sebesar US$ 7,8 miliar pada kuartal II-2022 atau turun dari posisi US$ 10,2 miliar pada akhir 2021.
Bisa dibayangkan kalau induk Shopee masih harus menanggung kerugian sebesar US$ 2 miliar per tahun saja dan tak mendapatkan suntikan dana segar maka posisi kas tersebut hanya mampu menanggung operasional Shopee dan anak usaha yang lain selama 4 tahun saja.
Di tengah kondisi ekonomi yang diwarnai dengan gejolak akibat kenaikan suku bunga dan keringnya likuiditas, pendanaan startup memang seret jika dibandingkan dengan tahun lalu. Oleh sebab itu tak heran jika banyak startup yang melakukan efisiensi salah satunya melalui PHK.