Menciptakan kehidupan yang seimbang, harmonis dan holistik antara pekerjaan dan pribadi di kalangan polisi Indonesia harus makin menjadi menjadi fokus dalam mengatasi masalah stres di kalangan polisi. Selama ini banyak anggota polisi yang tidak menyadari status mental mereka yang tidak seimbang. Adanya ’sikap diam’ dan enggan membicarakan persoalan kesehatan mental secara terbuka sangat mengkhawatirkan. Dalam konteks ini, pendampingan dan konseling serta pemanfaatan biro psikologi di Polda misalnya, harus lebih maksimum dilaksanakan, bersamaan dengan penerapan tes kesehatan mental yang lebih periodik sebagai upaya preventif.
Jakarta 25/02/2021. Kasus penembakan oleh anggota Polri kembali lagi terjadi. Seorang oknum polisi diduga melakukan penembakan di sebuah cafe di Cengkareng Jakarta Barat yang menewaskan 3 orang. Insiden tersebut kini tengah ditangani oleh Polda Metro Jaya. Kapolres Metro Jakarta Barat Kombes Ady Wibowo kemudian menjelaskan kronologinya (Detik 25/2/2021).
Dengan adanya berita ini berarti kasus yang melibatkan oknum polisi melakukan penembakan di Indonesia jumlahnya kian bertambah. Selama beberapa tahun terakhir ini. media massa semakin sering melaporkan kasus-kasus penembakan polisi yang beragam: mulai dari usaha mereka bunuh diri, penembakan terhadap kolega atau atasannya, bahkan penembakan sadis dan tega terhadap anggota keluarga sendiri.
Telah banyak pula kupasan tentang apa motif penembakan itu, baik tanggapan resmi dari pihak kepolisian RI maupun analisa-analisa dari ahli psikologi forensik. Belum lagi cerita para saksi yang penuh drama mengenai latarbelakang terjadinya peristiwa tersebut. Satu topik yang selalu mengemuka ketika membicarakan tersebut adalah terdapatnya faktor stres dari setiap oknum polisi yang telah melakukan tindakan yang tidak disangka-sangka itu.
Tidak mengherankan pula bahwa stress mereka selalu dihubungkan antara sisi pribadi dengan profesi mereka sebagai polisi. Pekerjaan polisi adalah berat, berbahaya dan penuh tantangan. Masalah mereka menjadi lebih parah dengan munculnya masalah ekonomi, masalah-masalah pribadi/keluarga yang semuanya bermuara pada munculnya situasi stres akut yang mereka alami. Dalam konteks ini, stress dan frustrasi mereka seolah terefleksikan dari letupan senjata api yang mereka tembakkan ke korban-korban yang menjadi sasaran mereka. Apakah itu dilakukan di tempat hiburan seperti cafe, di rumah mereka sendiri, atau tidak jarang di kantor mereka sendiri.
Masalah polisi stres di Indonesia sebenarnya cukup memprihatinkan.Menurut Kadiv Humas Mabes Polri Irjen Pol Anton Charlian, 80% polisi di Ditlantas diketahui menghadapi stres akibat pekerjaannya mereka yang stres tinggi. Menurut praktisi psikologi Elisabeth Santosa, bidang Reskrim di Polri dianggap yang paling rawan menyebabkan stres karena beban kerja mereka yang overload, prosedur kasus dan jam kerja yang panjang dan seterusnya. Sementara itu, kerja Lantas juga termasuk berkadar stres tinggi karena pekerjaan sering dilihat tidak manusiawi karena tuntutan kerja selama 60 jam seminggu.
Mengapa semakin banyak polisi di Indonesia diberitakan mengalami stres, depresi dan rentetannya kemudian membahayakan masyarakat? Apakah ini hanya terjadi di Indonesia? Benarkah ada yang salah dalam sistem perekrutan calon-calon polisi dan model pembinaannya? Apakah insitutusi Polri sudah serius mencari solusi pemecahannya?
Polisi dan Stres di Australia
Seperti di manapun di dunia, situasi polisi di Indonesia tidak berbeda dengan rekan-rekannya di tempat lain. Di Inggris, satu dari 5 polisinya didapati mengalami stres pascatrauma akibat pekerjaaanya. Walaupun dari segi tingkat penghasilan jauh lebih tinggi, masalah stres di kalangan polisi Australia juga sangat tinggi, malahan menjadi penyebab tingginya angka bunuh diri di kalangan korps kepolisian Australia. Bila dibandingkan dengan rata-rata orang yang bunuh diri, persentase polisi yang bunuh diri jauh lebih tinggi lagi.
Pengamat masalah kepolisian setempat melaporkan bahwa stres di Australia selalu diidentifikasi muncul dari beban kerja yang berat; adanya hubungan tidak harmonis antara bawahan dan atasan dan tidak adanya keterbukaan membicarakan masalah pekerjaan dan pribadi dengan kolega mereka. Natonal Institute of Justice menyimpulkan bahwa manajemen kepolisian yang buruk, peralatan yang tidak memadai, jam kerja yang terlalu panjang, rotasi kerja dan tugas- yang berubah-ubah juga telah berkontribusi menimbulkan akumulasi stres di tempat kerja bagi korp kepolisian. Belum lagi stres disebabkan masalah hubungan, keluarga, keuangan maupun status kesehatan.
Secara spesifik, polisi adalah profesi yang berhadapan langsung orang-orang yang sedang kesusahan/menderita. Ini juga menambah stres mereka. Apalagi seorang polisi diharapkan mampu mengontrol emosi dan bertanggungjawab penuh terhadap kepemilikan senjata api. Semua faktor itu, ditambah ancaman keamanan dan keselamatan kerja serta tuntutan publik, semakin memberatkan profesi polisi dibanding profesi-profesi lainnya. Bila stres yang muncul itu membesar dan terus menumpuk tanpa diobati, ia menjadi masalah serius tidak saja terhadap si polisi tetapi juga untuk orang-orang yang berkontak dengan polisi tersebut, apakah keluarga, koleganya atau masyarakat/publik.
Tanda-tanda adanya stres dapat dikenali lewat perubahan sikapnya; kinerjanya yang tidak optimal/efisien, menjadi lebih agresif dari biasanya dan kecenderungan mulai mengkonsumsi substansi terlarang seperti narkoba atau alkohol. Stres tingkat tinggi yang tidak ditangani seperti ini dikhawatirkan menimbulkan berbagai macam penyakit, PTSD dan yang terburuk upaya bunuh diri.
Munculnya stres di kalangan polisi sering tidak disadari dan tidak dikenali baik oleh si penderita atau orang sekelilingnya, Karenanya, ini sesuatu yang musti diwaspadai. Polisi yang melakukan penembakan atau bunuh diri jarang yang sudah diketahui tanda-tanda sebelumnya. Apalagi mereka terlatih untuk selalu menutupi perasaan-perasaanya, Memiliki suatu mental penegak hukum yang kuat, amat diharapkan orang sekitarnya. Karenanya mereka harus selalu tampak kuat dan tegar secara fisik, meski yang terjadi di dalam sebaliknya.
Solusi mengatasi polisi yang stres
Karena begitu pentingnya masalah ini, Pemerintah Australia sudah lama menaruh perhatian terhadap upaya mengurangi tingkat stres di kalangan korps kepolisian federal maupun negara bagiannya. Mereka kerap membiayai riset-riset, melakukan pilot-pilot program dan program evaluasi sebagai bentuk solusi mengatasi persoalan ini. Mereka menaruh perhatian juga pada penyediaan bantuan informasi dan saran-saran bagi polisi, seperti pengaturan diet yang benar dan sehat, aturan liburan, check up kesehatan kontinyu, aturan sistem lembur dan penciptaan berbagai program yang menyadarkan anggota polisi dan koleganya untuk saling mendukung sebagai ‘teamwork’ yang solid, juga dengan pihak-pihak di luar lingkungan kepolisian.
Tempat kerja kepolisian mengembangkan ‘manajemen stres’ yang cocok dengan lingkungan di mana polisi itu bekerja karena sadar bahwa polisi berhubungan dengan kegiatan kekerasan dan penegakan hukum yang sudah memiliki potensi membuat seseorang lebih agresif dan kompulsif. Bila mereka menjadi frustrasi namun tidak ada jalan keluar positif yang tersedia, mereka dikawatirkan akan melampiaskan perssaannya di luar, dalam bentuk kekerasan senjata.Tidak jarang mereka melakukannya di tempat-tempat umum yang sebenarnya digunakan untuk bersantai seperti di cafe atau di rumah sendiri.
Menariknya, para pensiunan polisi juga direkrut untuk membantu upaya pembentukan kegiatan-kegiatan sosial untuk memupuk kesehatan mental polisi-polisi yang lebih muda yang lebih riskan terkena stres. Dr Jarrod Sadulski dari American Militart University mengakui bahwa tempat kerja polisi yang selalu dapat melakukan monitor kesehatan mental adalah penting. Apalagi kalau itu sudah dimulai sejak perekrutan. Ada banyak faktor yang mempengaruhi dinamika kehidupan dan pekerjaan sejak mereka menjadi polisi. Mereka harus selalu didorong agar mampu mengekspresikan diri termasuk pada keluarga mereka.
Pihak kepolisian perlu membentuk sistem yang mendukug penuh keluarga mereka juga. Kalau perlu, mereka diberikan insentif bila bersedia melakukan upaya-upaya penghilangan beban stres seperti yang disarankan ahli.
Inspirasi solusi untuk Indonesia
Sehubungan dengan kasus-kasus penembakan di Indonesia, banyak orang yang bertanya-tanya bagaimana seorang polisi di Indonesia dapat menunaikan kerja profesional sebagai penegak hukum dan pengayom masyarakat bila di sisi lain mereka tidak memiliki kesehatan jiwa yang stabil? Untuk menjawab itu, pencarian solusi inovatif dan penuh terobosan yang melibatkan semua pihak sudah saatnya ditingkatkan. Upaya-upaya yang sudah dilaksanakan di lingkungan kepolisian harus diperluas. Apa yang sudah dilakukan Australia yang cukup berhasil dapat menjadi inspirasi. Meski demikian, perlu investasi tidak sedikit untuk melakukan riset, dan pembuatan program-program nyata untuk meningkatkan pembinaan polisi Indonesia agarsehat baik jasmani maupun rohaninya.Anggaran pemeliharaan mental perlu diperluas untuk menempatkan kesehatan mental, etika dan profesionalisme polisi sejalan dan seiring.
Di Indonesia, bila diketahui ada polisi yang memiliki stres berkepanjangan dan tidak sembuh-sembuh, mereka sering hanya diserahkan kepada keluarganya. Belajar dari kasus Australia, institusi kepolisian di Indonesia sebenarnya bisa mempunyai peran kunci untuk menolong mereka denganbantuan tenaga profesional dan lewat penciptaan program-program yang terpadu dan berkesinambungan. Kita dapat memahami sekarang, mengapa penembakan-penembakan di tempat umum seperti cafe dan di rumah sering terjadi di Indonesia. Bahwa yang melakukan sebenarnya sedang mengalami stres tapi tidak diketahui. Ini jelas menunjukkan perlunya pengamatan yang lebih mendalam dalam pembinaan kesehatan mental anggota Polri dari sebelumnya.
Tentu saja ada banyak program ang dapat ditiru namun memerlukan penyesuaian dan konteks Indonesia. Misalnya, bila stres muncul karena beban kerja, maka masalah beban kerja ini harus mulai dibicarakan dan dipecahkan, termasuk isu perhatian pada gaji. Seering dilaporkan pelaku kejahatan penembakan dilakukan oleh polisi rendahan yang hidupnya pas-pasan. Peningkatan remunerasi penghasilan yang disesuaikan beban kerja sepertinya ada korelasi dengan kesehatan mental korps polisi, seperti pernah disinggung oleh Kadiv Humas Polri Irjen Anton Charliyan.
Menciptakan kehidupan yang balans, harmonis dan holistik antara pekerjaan dan pribadi harus makin menjadi menjadi fokus dalam mengatasi masalah stres di kalangan polisi Indonesia. Selama ini banyak anggota polisi yang tidak menyadari status mental mereka. Adanya ’sikap diam’ dan enggan untuk membicarakan persoalan kesehatan mental secara terbuka sangat menghawatirkan. Dalam konteks ini, pendampingan dan konseling serta pemanfaatan biro psikologi di Polda harus lebih maksimum dilaksanakan, bersamaan dengan penerapan tes kesehatan mental yang lebih periodik untukupaya preventif.
Bila ada ketidakharmonisan hubungan atasan dan bawahan, harus diperkenalkan suatu model yang menciptakan lingkungan kerja yang kondusif seperti contoh Australia. Program-program khusus yang bervariasi dan secara terbuka membicarakan masalah-masalah kesehatan mental bisa diciptakan dengan bantuan para ahli. Kalau perlu, upaya monitoring dan sistem pendeteksian dini kontinyu terhadap setiap individu kepolisian juga diterapkan.
Pendeknya, masalah psikologi pribadi dari polisi di luar pekerjaannya perlu diperhatikan agar dapat memahami adanya pelanggaran disiplin, bunuh diri, penembakan dan tindak pidana.
Ahli psikologi forensik Reza Indragiri Amriel (15/3/2017) pernah mengharapkan adanya suatu penelitian yang lebih komprehensif dan menyeluruh di lembaga kepolisian agar kita mengetahui isu-isu polisi yang dihubungkan dengan faktor kesehatan mental mereka tanpa harus melihat masalah ini sebagai sesuatu yang aib atau memalukan. Ia menyarankan agar Undang-undang Kepolisian perlu diubah agar pasal-pasalnya memberi empati terhadap anggota kepolisian.
Cara-cara ini tentunya dapat menjadi bahan solusi pemecahan masalah munculnya stres di kalangan polisi Indonesia. (Isk – dari berbagai sumber)