Hubungan Polri dengan komisi-komisi negara seperti Kompolnas (Komisi Kepolisian Nasional), Komnas HAM (Komisi Nasional HAM), Ombudsman RI dan Komisi III DPR RI selaku mitra kerjanya penuh dengan catatan pasang surut. Sepanjang tahun 2020 dan menjalani awal 2021 ada banyak hal yang perlu diperbaiki agar kinerjia Polri makin moncer dalam menjalankan tugasnya. Apa saja catatan dan kritik dari komisi-komisi negara tersebut? Bagaimana sebaiknya Polri bersikap untuk membina hubungan yang lebih baik ke depannya?
Jakarta, 21 Desember 2021 – Berdasarkan catatan dari media massa, sepanjang 2020 personel polisi kerap menggebuki dan mengintimidasi demonstran. Bukan hanya terhadap mereka yang vandalis, tapi juga kepada orang-orang yang sudah tidak melawan, warga biasa, atau bahkan wartawan yang meliput demonstrasi. Lembaga pengawas kepolisian yang seharusnya menjadi evaluator juga tidak bisa berbuat banyak. Polisi melakukan tindak kekerasan lagi saat menangani demonstrasi penolakan UU Cipta Kerja. Selain menangkap wartawan, polisi juga masuk dalam lingkungan kampus. Kritikan-kritikan atas aksi terdahulu tidak membuat kepolisian jera begitu saja. Bagi komisioner Ombudsman, Adrianus Meliala, proses evaluasi terdahulu mengajarkan sebagian anggota Polri bahwa melakukan kekerasan tak masalah asalkan tidak terdokumentasi. Itu pula mengapa banyak polisi merazia hasil foto dan video jurnalis di tengah demonstrasi.
Melempemnya lembaga pengawasan Polri mempunyai dua jenis lembaga pengawas, yaitu internal dan eksternal. Pengawasan internal biasa dilakukan oleh Inspektorat Pengawasan Umum Kepolisian Republik Indonesia (Itwasum) yang dipimpin oleh seorang berpangkat inspektur jenderal. Sedangkan pengawas eksternal misalnya Kompolnas, Ombudsman RI, Indonesia Police Watch (IPW), DPR, dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga pengawas eksternal yang benar-benar memiliki dasar hukum dan mendapat biaya dari APBN untuk melakukan pemantauan tugas fungsional Polri adalah Kompolnas.
Dalam Peraturan Presiden nomor 17 tahun 2011 tentang Kompolnas, lembaga ini bertugas melakukan “pemantauan dan penilaian terhadap kinerja dan integritas anggota dan pejabat Polri” dan bertanggung jawab langsung kepada presiden. Ombudsman lebih kepada pelayanan publik. Ketika melakukan pemantauan atau penilaian terhadap tindakan Polri perihal penindakan, misalnya, Ombudsman berada di ruang abu-abu sehingga sering kali tidak bisa memberi rekomendasi terkait hal tersebut. Harkristuti Harkrisnowo, guru besar hukum pidana UI, dalam tulisan berjudul “Komisi Pengawas Eksternal Pada Polri: Pembatas Kewenangan Ataukah Pendorong Profesionalisme?” (2000) mencatat bahwa kekhawatiran terhadap pengawas internal Polri adalah munculnya konflik kepentingan. Persepsi yang muncul di masyarakat adalah “tidak dapat mempercayai bahwa polisi akan dapat melakukan investigasi yang obyektif dan transparan atas pengaduan masyarakat mengenai pelanggaran yang dilakukan oleh anggotanya.”
Apalagi hasil investigasi terbiasa disimpan untuk kalangan internal dan tidak bisa diakses publik. Purnawirawan polisi Bambang Widodo Umar yang juga guru besar Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) sempat memberi masukan agar “pengawasan internal pada tubuh kepolisian yakni Irwasum dan Divisi Propam mesti dipisahkan dari sub-ordinasi pimpinan polisi agar bisa menjalankan fungsinya secara mandiri dan obyektif.” Ketika lembaga pengawasan internal tak bisa lagi jadi satu-satunya patokan mengevaluasi Polri, muncul Kompolnas di masa kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Pada awal terbentuk, anggaran Kompolnas berada satu atap dengan Polri. Dalam perkembangannya, SBY meminta anggaran Kompolnas dipisahkan untuk memperkuat independensi Kompolnas.
Di dalam Kompolnas terdiri dari 9 anggota: 3 dari pemerintah, 3 dari akademisi, 3 dari tokoh masyarakat. Meskipun dengan komposisi demikian, netralitasnya menjadi pertanyaan ketika lembaga pengawas eksternal diisi oleh orang-orang pro pemerintah, yakni menteri-menteri kabinet yang sedang menjabat. Dalam Kompolnas periode 2020-2024, Mahfud MD, Tito Karnavian, dan Yasonna Laoly menjabat sebagai anggota. Mahfud dan Tito bahkan merangkap ketua dan wakil ketua. Tito bahkan pernah menjabat sebagai Kapolri sebelum menjadi Menteri Dalam Negeri. Ia juga dikenal dekat dengan Kapolri sekarang, Jenderal Polisi Idham Azis. Hal itu membuka peluang Polri bisa dimanfaatkan penguasa untuk menegakkan kepentingannya. Dalam demonstrasi anti-UU Ciptaker pada 6-8 Oktober, Idham mengeluarkan surat telegram agar melawan narasi-narasi yang bisa mendiskreditkan pemerintah. Namun anggota Kompolnas Poengky Indarti menganggap tidak ada pelanggaran di sana. “Saya melihat tidak ada masalah dengan STR Kapolri tentang penanganan aksi RUU Cipta Kerja. Tujuan STR itu untuk pencegahan penyebaran COVID-19 dan harkamtibmas,” kata Poengky kepada wartawan.
Anggota Kompolnas dua periode ini juga tidak merasa ada bentrok konflik kepentingan jika pemerintah, termasuk Tito Karnavian, masuk di dalam Kompolnas. Poengky yakin Tito “semakin menguatkan peran Kompolnas untuk dapat menjadi pengawas fungsional dan pengawas eksternal Polri.”Sedangkan Adrianus Meliala yang dahulu menjadi anggota Kompolnas mengatakan kemungkinan konflik kepentingan memang ada. Ia berterus terang, ketika menjabat sebagai Komisioner Kompolnas 2012-2016, ada konflik kepentingan antara pemerintah, polisi, dengan Kompolnas. Bagaimanapun, pengawasan pada Polri menjadi sulit karena dia berada di bawah presiden dan kulturnya masih bersifat militeristik dengan sistem komando. Bambang Widodo Umar menyarankan agar tipe kelembagaan Polri diubah terlebih dahulu sebelum fokus pada pengawasan eksternal.
Fokus kepada Polisi Masukan Bambang Widodo Umar lainnya adalah pengubahan fungsi Kompolnas tidak sekadar penasihat presiden dalam menentukan calon Kapolri atau pengawas pelaksanaan tugas Polri semata. Bambang ingin agar Kompolnas dapat melaksanakan investigasi terhadap dugaan pelanggaran Polri berdasar laporan masyarakat. Meski tidak sampai melakukan investigasi, tapi peran Kompolnas kemudian diperluas dengan Peraturan Presiden nomor 17 tahun 2011 yang memungkinkan lembaga itu “merekomendasikan kepada Kapolri, agar anggota dan/atau pejabat Polri yang melakukan pelanggaran disiplin, etika profesi dan/atau diduga melakukan tindak pidana, diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Bahkan Kompolnas juga bisa mendesak pemeriksaan ulang atau pemeriksaan tambahan. Tapi dengan status kelembagaan Kompolnas yang bersifat eksternal, itu tidak menghentikan mereka untuk bekerja sama dengan Polri dalam mengusut pelanggaran profesionalitas anggota kepolisian.
Tanggapi Kasus Kekerasan Polri
Melihat kasus kekerasan Polri yang terjadi dalam demonstrasi anti-UU Ciptaker, Poengky Indarti mengaku akan melakukan evaluasi bersama “Irwasum dan Propam untuk melihat secara komprehensif aksi demo.” Alih-alih memperbanyak menerima keluhan dari demonstran, Kompolnas lebih fokus kepada informasi dari Polri. Soal adanya kejadian Polri berkeliaran di lingkungan kampus, Poengky mengatakan “pihak kampus diharapkan membimbing anak-anaknya atau anak-anak didiknya agar melakukan kebebasan berekspresi dan mengemukakan pendapat melalui cara-cara yang tertib agar mereka tidak harus berurusan dengan polisi.”
Kompolnas juga menjenguk anggota Polri yang dirawat di RS Polri, tapi tidak mendatangi Polda Metro Jaya, misalnya, untuk mendalami ribuan penangkapan yang hanya berujung pada ratusan tersangka saat demonstrasi anti-UU Ciptaker. Soal jurnalis yang mengalami intimidasi dan ditangkap polisi, Poengky justru menduga “apakah tidak ada pengenal dari jurnalis yang bersangkutan sehingga polisi salah mengidentifikasi mereka sebagai peserta anarkis ataukah jurnalis berada di tempat yang dekat dengan kelompok yang melakukan aksi anarkis? Sementara itu, komisioner Komnas HAM Choirul Anam meminta Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo memberikan perhatian khusus terhadap kasus-kasus kekerasan yang dilakukan oknum anggota kepolisian. Menurut Anam, Kapolri harus dapat memastikan tidak ada pendekatan kekerasan atau penyiksaan yang dilakukan anggota polisi dalam proses penegakan hukum.
Ia menyatakan, perlu ada upaya pencegahan yang sistematis agar kasus-kasus serupa tidak terus terulang. Selain itu, Anam berpendapat, persoalan ini tidak bisa diselesaikan secara kasuistik. Dalam tataran pencegahan, menurut Anam, ada beberapa hal yang bisa dilakukan Kapolri. Di antaranya, yaitu menanamkan nilai-nilai antikekerasan, antipenyiksaan, dan penghormatan terhadap HAM kepada seluruh anggota kepolisian di tiap jenjang pendidikan. Kemudian, memberlakukan pemberian sanksi atau penghargaan bagi polres dan polda dalam penegakan hukum antikekerasan dan antipenyiksaan. Hal lain yang dapat dilakukan Kapolri yaitu dengan menerbitkan maklumat untuk memastikan proses penegakan hukum tidak memakai pendekatan kekerasan dan penyiksaan. Penyelidikan dan penindakan secara profesional juga perlu dilakukan terhadap anggota polisi yang melakukan kekerasan.
Menurut Anam, semangat antikekerasan dan penghormatan terhadap HAM ini sebetulnya sudah tertuang dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Namun, ia mengatakan, semangat tersebut perlu diajarkan ulang kepada seluruh anggota kepolisian. “Perlu diajarkan ulang kepada tiap orang yang bertanggung jawab untuk merumuskan kebijakan penegakan hukum dan petugas di lapangan,” tegasnya. Berdasarkan catatan dari media massa, sejumlah kasus kekerasan yang dilakukan anggota polisi di antaranya terjadi di Balikpapan, Kalimantan Timur, dan Solok Selatan, Sumatera Barat.
Di Balikpapan, seorang tersangka pencuri telepon genggam, Herman tewas di tahanan Polresta Balikpapan pada 3 Desember 2020. Ia meninggal dunia dengan tubuh penuh luka-luka. Selain kasus Herman, ada kasus dugaan pembunuhan oleh anggota polisi terjadi di Solok Selatan dengan korban Deki Susanto pada 27 Januari 2021. Deki diduga ditembak pada kepala bagian belakang di hadapan anak-anak dan istri di rumahnya. Menanggapi hal tersebut, Kadiv Humas Polri Irjen Argo Yuwono menyatakan Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri turut mengawasi perkembangan penyelidikan kasus dugaan kekerasan tersebut. “Propam Polri mengawasi yang dilakukan oleh penyidik Propam Polda Kaltim maupun Polda Sumbar,” kata Argo.
Hubungan Erat dengan Komisi III DPR
Sementara itu, hubungan Polri dengan mitra kerjanya dari badan legislative alias Komisi III DPR RI berjalan dengan baik. Hubungan yang erat terjalin sejak awal Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo saat menjalani uji kelayakan dan kepantasan di gedung DPR RI sebelum menjadi Kapolri pada akhir tahun lalu. Ada beberapa kebijakan Kapolri yang mendapat pujian langsung dari kalangan anggota Komisi III DPR RI seperti partisipasi dalam menangani pandemic COVID 19, melakukan restorative justice, dan penerapan ETLE (tilang elektronik). Meski ada pula kritik dari Komisi III di awal tahun 2021 ini tentang penanganan Polri dengan kekerasan terhadap para pengawal mantan Ketua Umum FPI, Rizieq Shihab dan kasus telegram Kapolri yang membatasi liputan media massa dalam melaporkan aksi polisi. Namun pada umumnya hubungan dengan Komisi III DPR RI telah terjalin pemahaman yang baik.
Seperti misalnya ketika Posko Presisi Polri menyampaikan capaian program andalan Polri Presisi dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo dalam masa kerjanya selama 60 hari kerja. Hasilnya, Polri telah berhasil menyelesaikan 1.364 perkara melalui pendekatan restorative justice, atau pemenuhan rasa keadilan di masyarakat. Menanggapi hal itu, Wakil Ketua Komisi III Fraksi Partai Nasdem Ahmad Sahroni menyampaikan penghargaannya. Menurutnya, Kapolri telah bekerja dengan sangat baik demi merealisasikan program prioritas dan andalannya tersebut.
“Saya melihat keseriusan yang tinggi dari kapolri untuk mengaplikasikan gagasan dan programnya yang brilian. Program presisi yang sebelumnya banyak dikira hanya sebagai gimmick saat penetapan sebagai Kapolri, ternyata dieksekusi dengan sangat sistematis, sampai ada posko khusus. Jadi ini bukan jargon semata,” kata Sahroni kepada wartawan, Selasa (27/4/2021). Sahroni juga menyampaikan apresiasinya kepada Brigjen pol Slamet Uliandi yang merupakan Ketua Posko Presisi selama ini. Menurutnya, Slamet telah berhasil mengeksekusi dan mengawal program presisi ini hingga ke satuan paling bawah, yakni hingga ke tingkat polsek. Tidak hanya memastikan program berjalan dengan baik, Slamet dan 51 orang lainnya di Posko Presisi ini juga memiliki indikator yang jelas terhadap keberhasilan program ini di daerah, mulai dari 30 hari, 60 hari, hingga 100 hari. Lebih lanjut, Sahroni juga menyampaikan dukungannya agar Posko Presisi bersama pendekatan Restorative Justicenya dapat terus menjadi fokus polisi dalam memberi perlakuan hukum terhadap setiap orang.
Kekerasan KKB di Papua
Sementara itu, tak kalah pentingnya bagi Polri adalah melakukan respon yang tepat untuk mengatasi kasus kekerasan yang terus terjadi di Papua. Sebagaimana diketahui, eskalasi kekerasan di Papua semakin meningkat. Terakhir, Kepala BIN Daerah (Kabinda) Papua, Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Karya Nugraha, menjadi korban tewas usai kontak tembak dengan kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Kampug Dambet, Distrik Beoga, Kabupaten Puncak, Papua pada tanggal 25/4/2021 sore.
Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyatakan, telah memerintahkan Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit untuk menangkap seluruh anggota KKB yang beroperasi di Papua. Jokowi ikut berkabung atas gugurnya Brigjen TNI Danny. “Saya telah memerintahkan kepada Panglima TNI dan Kapolri untuk terus mengejar dan menangkap seluruh anggota KKB. Saya tegaskan, tidak ada tempat untuk kelompok-kelompok kriminal bersenjata di Tanah Papua atau di seluruh pelosok Tanah Air,” ujar Jokowi dalam keterangan pers di Istana Merdeka, Senin (26/4/2021).
Mabes Polri menyatakan, telah mengidentifikasi KKB yang melakukan penembakan terhadap Kabinda Papua Brigjen TNI I Gusti Putu Danny Nugraha Karya. Saat ini pihak kepolisian di Papua terus melakukan pengejaran terhadap KKB tersebut. “Itu sudah teridentifikasi yang main di wilayah Puncak. Itu dari kelompok, telah terindentifikasi, ikuti perkembangan saja,” tegas Karo Penmas Divisi Humas Polri, Brigjen Polisi Rusdi Hartono di Mabes Polri, Jakarta Selatan, Senin (26/4/2021). Selain itu, Rusdi juga menegaskan bahwa TNI-Polri bersama instansi lain telah bekerja secara maksimal untuk memberangus KKB di tanah Cendrawasih. Namun, ia juga mengakui bahwa medan di Papua tidaklah mudah, karena terdiri hutan belantara dan pegunungan. Sedangkan, KKB kerap melakukan penyamaran sebagai warga sipil biasa saat berada di pemukiman.
“Kelompok-kelompok ini sering masuk ke penduduk, menyamar-menyamar dengan penduduk. Mereka selalu berusaha bagaimana pengejaran-pengejaran dilakukan oleh aparat keamanan mereka bisa lolos,” ungkap Rusdi. Kendati demikian, menurut Rusdi, hingga saat ini pihaknya belum menambahkan jumlah personel di Papua untuk melawan KKB. Mengingat di Papua juga sudah ada pasukan gabungan TNI-Polri yang tergabung dalam Satuan Tugas (Satgas) Nemangkawi 2021. Selain itu, kata dia, ada juga ada operasi-operasi yang dilakukan oleh Polda Papua.”Operasi Nemangkawi digelar itu gabungan personelnya yaitu personel polri TNI. Sampai saat ini Polri belum menambah kekuatan di Papua,” terang Rusdi.
Masukan Respon Polri Hadapi Berbagai Masalah
Isu kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua jangan dianggap sederhana. Karena itu, setiap upaya yang dilakukan oleh semua pihak di Papua harus tetap menghormati HAM dan hukum. Selain itu penting untuk membangun proses penghentian kekerasan dan membuat jalan damai. Instruksi Presiden Joko Widodo untuk menangkap seluruh anggota kelompok kriminal bersenjata (KKB) di Papua sudah tepat. Namun yang tidak kalah penting ialah melakukan komunikasi dan koordinasi antara aparat dan berbagai pihak, sehingga operasi penangkapan kelompok bersenjata di Papua tidak salah sasaran. Itu dilakukan agar masyarakat sipil di Bumi Cenderawasih tidak menjadi korban.
Prajurit TNI atau Polri harus dibekali dengan pengetahuan tentang nilai-nilai atau struktur sosial masyarakat Papua. Sehingga tahu betul bagaimana pendekatan yang harus dilakukan begitu. Selanjutnya kelompok bersenjata di Papua itu ditangkap dan diadili atas kejahatannya. Masukan lain yang juga harus diperhatikan adalah adanya kekhawatiran perintah Jokowi tersebut diartikan berbeda oleh personel TNI maupun Polri yang bertugas di Bumi Cenderawasih. Semestinya meminta masukan dari berbagai pihak terutama dari kalangan internal Papua sebelum mengeluarkan instruksi tersebut.Bahkan pihak internal Papua, dalam hal ini kaum adatnya, berharap Presiden Jokowi menghentikan pengiriman pasukan militer ke Papua. Menurutnya, pendekatan militer tidak bisa menyelesaikan masalah, namun justru menimbulkan ketakutan dan kekhawatiran masyarakat sipil. Dengan demikian langkah mengatasi konflik dengan aksi militer harus dilakukan dengan hati-hati dan penuh pertimbangan.
Terakhir, masukan untuk Polri dalam melaksanakan tugasnya bukan hanya soal Papua, maka Polri harus kembali menjalin komunikasi yang baik dengan berbagai mitra kerjanya. Baik itu Kompolnas, Komnas HAM dan pihak lainnya yang mengawasi kinerjia Polri beserta kesatuannya dengan seksama. Karena itu sudah menjadi kewajiban bagi Kapolri beserta jajarannya untuk mendatangi komisi-komisi negara tersebut untuk melakukan kembali paparan kebijakan dan kinerjianya selama ini. Sehingga komisi-komisi tersebut dapat lebih objektif dalam menilai dan mengawasi Polri nantinya. (EKS/ berbagai sumber).