Kementerian Perhubungan telah melakukan survei prediksi terkait mudik 2021. Sebanyak 7 persen atau 18 juta masyarakat Indonesia tetap melakukan mudik ke kampung halaman jelang Hari Raya Idul Fitri 2021. Tugas Polri makin berat karena harus menegakkan aturan pelarangan mudik. Bagaimana realitas di lapangan ? Sejauh mana efektifitas penyekatan yang dilakukan Polri ?
Jakarta – (11/05/2021). “Survei ini kami lakukan secara sistematis, mulai dari apabila tidak ada larangan berapa yang akan pulang ternyata 33 persen akan pulang, setelah kita nyatakan kalau dilarang 11 persen tetap akan pulang, setelah dilakukan pelarangan turun menjadi 7 persen itu pun cukup banyak 18 juta orang,” kata Menhub Budi Karya Sumadi dalam diskusi FMB9ID_IKP : Jaga Keluarga, Tidak Mudik, Rabu baru-baru ini. Hasil survei menyatakan rata-rata pemudik banyak menggunakan moda transportasi mobil setelah itu motor. Dengan demikian, Menhub meminta agar para Gubernur melakukan koordinasi dengan baik. Disamping itu, Kementerian Perhubungan dan Satgas Covid-19 selalu berupaya melakukan sosialisasi terkait peniadaan mudik. Agar jumlah pemudik sebanyak 18 juta tersebut bisa berubah pikiran untuk tidak jadi mudik. “Agar yang 7 persen ini bisa turun menjadi jumlah yang sedikit, supaya kita bisa me-manage dan polisi bisa melakukan penyekatan dengan berwibawa,” ujarnya.
Di sisi lain Kementerian Perhubungan juga melakukan survei daerah mana saja yang paling banyak dituju untuk mudik, yakni Jawa tengah persentasenya 30 persen, Jawa Barat 20 persen, dan sisanya dilanjutkan daerah Jawa Timur, Banten, serta diikuti oleh daerah Lampung, Sumatera dan sekitarnya. “Kita juga mensurvei terjadi kecenderungan mereka akan pulang sebelum masa pelarang. Kami harapkan di masa tidak pelarangan pun saudara kita tidak melakukan mudik dan juga pada saat nanti di masa pelarangan bisa dilaksanakan dengan baik,” jelas Menhub. Sebagai informasi, Kementerian Perhubungan telah menerbitkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 13 Tahun 2021 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Idul Fitri Dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Covid-19. Sementara, Korlantas Polri juga lakukan penyekatan mudik di lebih dari 300 titik di perbatasan antar provinsi, kabupaten, dan kota.
Harus Jadi Perhatian
Survey lain tentang prediksi kecenderungan perilaku pemudik tahun 2021 juga dilakukan lembaga riset Indikator Politik Indonesia (IPI). Menurut Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanudin Muhtadi mengatakan, animo masyarakat Indonesia untuk melakukan perjalanan mudik Lebaran 2021, melakukan kunjungan pada sanak saudara, atau pergi ke tempat wisata di tengah pandemi Covid-19 masih tinggi. Yakni mencapai sebanyak 20,8 persen.
“Ini angka 20,8 persen itu cukup tinggi, harus menjadi pusat perhatian,” ungkap dia dalam rilis survei bertajuk Persepsi Ekonomi dan Politik Jelang Lebaran. Sedangkan 38,6 persen masyarakat mengaku kecil untuk melakukan kegiatan Mudik Lebaran 2021 maupun berwisata. Selanjutnya 34,2 persen menyatakan memiliki kemungkinan sangat kecil untuk melakukan kegiatan pulang kampung maupun pelesiran di tengah pandemi Covid-19. “Sementara 6,5 persen masyarakat lainnya memilih tidak menjawab,” bebernya.
Adapun, alasan masyarakat masih ngotot melakukan mudik maupun berwisata di tengah pandemi Covid-19 ialah berkunjung ke rumah keluarga, rindu keluarga, dan bisa menggunakan protokol kesehatan. Lalu, bosan di rumah, acara tahunan, hingga penularan dianggap Covid-19 sudah melandai. “Sementara alasan bagi mereka yang memilih tidak melakukan mudik lebaran maupun berwisata yakni untuk mengurangi penyebaran virus Covid-19, agar pandemi segera berakhir, dan mematuhi aturan pemerintah,” ucap Burhanudin.
Lebih lanjut, Burhanuddin meminta pemerintah untuk menindaklanjuti serius temuan survei ini. Merespon masih tingginya animo masyarakat untuk melaksanakan kegiatan Mudik Lebaran tahun ini. “Jadi, ini masukan buat pemerintah termasuk buat komite penanganan Covid-19. Bahwa larangan itu kalau hanya sekedar indah di atas kertas, itu mudah sekali dilanggar karena potensinya besar,” tekannya.
Perlu diketahui, Survei Indikator Politik Indonesia digelar pada 13-17 April 2021. Survei dilakukan melalui sambungan telepon terhadap 1.200 responden yang dipilih secara acak. Dengan tingkat kekeliruan kurang lebih 2,9 persen dan tingkat kepercayaan 95 persen.
Emosi Petugas dan Pemudik
Bukti nyata yang sejalan dengan survey di atas, betapa banyak pemudik yang bandel dan memaksakan mudik sehingga memicu emosi petugas maupun pemudik itu sendiri. Seperti yang direkam oleh CNNindonesia.com.
Terik matahari menyelimuti sekitar Pos Penyekatan Larangan Mudik di Tanjungpura, Karawang, Jawa Barat pada Minggu siang lalu. Terlihat tugas pengamanan untuk penyekatan arus mudik tetap berjalan dan dilakukan puluhan personel gabungan dari beragam institusi. Di jalan arteri tersebut, ribuan motor disekat setiap harinya.
Siang itu, sekitar pukul 14.15 WIB terlihat datang dua motor beriringan mengarah ke pos penyekatan. Terlihat tak banyak barang yang dibawa pengemudi ini, hanya ada satu tas jinjing dan selempang dalam satu motor. Petugas pun tetap memberhentikan para pengendara itu untuk mengecek keperluan melintas. Sempat berhenti sebentar, namun pengendara sedikit melihat celah dari penyekatan.
Walhasil, dia mencoba menerobos satu orang petugas Satpol PP yang berjaga di depannya. Tapi, aksi coba terobos itu digagalkan, sekitar tiga petugas gabungan lain pun menyergap pengemudi motor itu.
“Surat kesehatannya mana, disuruh berhenti malah enggak bisa diatur,” ucap salah seorang petugas kepada pengendara motor tersebut. Raut kesal nampak di wajah para petugas yang berjaga. Pengemudi langsung dibawa ke tenda pengamanan untuk diperiksa lebih lanjut. Ternyata, mereka hendak melintas ke wilayah Jawa. “Surat-suratnya enggak ada kan ya. surat jalannya ada enggak?” tanya salah seorang petugas, Suryono kepada pengendara itu.”Enggak ada pak,” jawab pengemudi motor. “Kan sudah tahu kan di TV kan, tidak boleh mudik,” timpal Iptu Hassanudin, perwira polisi yang turut memberhentikan laju motor itu.
Akhirnya, pengendara motor tersebut pun harus mengikuti tes kesehatan swab antigen yang diadakan secara acak (random) oleh petugas. Hassanudin mengatakan, dirinya hanya menjalankan kebijakan pemerintah yang melarang masyarakat untuk mudik Lebaran 2021 selama masa pandemi Covid-19. Suka tak suka, setuju ataupun tak setuju, petugas lapangan harus patuh dan melaksanakannya.
Menurutnya, kejadian seperti tersebut sudah banyak ditemukan dalam beberapa hari terakhir. Dimana, pengemudi motor mencari-cari celah dan berusaha meloloskan diri dari penyekatan. Padahal, hal tersebut justru malah membahayakan petugas di lapangan. “Kalau namanya orang mau menerobos, pasti ada aja ya. Tapi kami penjagaan ketat, dengan profesional,” cerita dia.
“Makanya kami harus profesional, tetap sabar. Kami benar-benar dapat melayani mereka,” tambahnya. Bukan hanya pemotor bandel yang menjadi tantangan. Di cuaca panas menahan dahaga selama bulan suci Ramadan pun menjadi makanan sehari-hari yang harus dilalui Hassanudin.
Belum lagi, kata dia, gontok-gontokan dengan calon pemudik di posko penyekatan juga menjadi suatu tantangan dalam menahan emosi dan bertindak.
“Emosi itu, ya manusiawi ya. Jadi begitulah risiko kami jadi PNS, jadi Polri. Mau enggak mau, suka enggak suka,” ucap dia. Hassanudin menegaskan perintah pimpinan harus menjadi prioritas. Walhasil, penugasan untuk menjaga pos penyekatan yang sehari-hari bukan kewenangannya pun harus diikuti.
Polisi dengan pangkat dua garis emas ini sehari-hari merupakan bagian dari Intelijen kepolisian yang bertugas di tingkat Polsek. “Saya itu biasa menentramkan masyarakat, menetralkan gejolak-gejolak kamtibmas, begitu. Sekarang ada di jalan ini, mau enggak mau. Suka enggak suka. Siap grak! gitu,” cetusnya.
Tegakkan Aturan
Dua hasil survey tersebut dan contoh pelanggaran pemudik menjelaskan kepada kita bahwa kecenderungan umumnya masyarakat Indonesia ketika menyikapi peraturan atau larangan pemerintah, selalu ingin mengakali bagaimana siasat lolos dari aturan. Ini yang sangat memprihatinkan.
Sejak larangan tersebut berlaku, tugas Polri adalah menegakkan aturan tersebut. Dan dukungan mengalir dari Wakil Ketua Ketua Komisi III DPR RI Ahmad Sahroni. Dia meminta seluruh petugas penyekatan tegas kepada para pemudik yang memang tidak punya alasan mendesak. “Polri harus betul-betul menegakkan aturan di titik penyekatan untuk menjatuhkan sanksi apabila kedapatan pemudik yang tidak punya kebutuhan mendesak,” kata Sahroni.
Ketegasan Polri, lanjut Sahroni, penting demi tegaknya kebijakan pemerintah yang melarang mudik pada 6 sampai 17 Mei 2021. Dia meminta untuk petugas tegas kepada pemudik yang tidak memiliki alasan mendesak. “Saya meminta kepada seluruh petugas penyekatan mudik agar jangan kasih ampun ke para pemudik yang memang tidak punya alasan mendesak. Untuk yang begini sih harus tegas agar disuruh putar balik saja,” ujarnya.
Mengingat penularan Covid-19 di Indonesia masih terjadi, Sahroni menilai sanksi kepada pemudik sangat penting untuk menghindari mobilitas masyarakat. Menurutnya, dengan memberikan sanksi akan menimbulkan efek jera.
“Ini sangat bahaya karena kita harus menekan mobilitas masyarakat, demi menghindari penyebaran Covid-19 ke daerah. Karena para pemudik kebanyakan berangkat dari daerah dengan kasus Covid-19 yang tinggi, seperti Jakarta,” ujar Sahroni.
Sebelumnya, Ditlantas Polda Metro Jaya telah meresmikan 381 titik penyekatan mudik di berbagai wilayah. Langkah tersebut dilakukan terkait aturan Pemerintah tentang Peniadaan Mudik Hari Raya Idul Fitri Tahun 1442 Hijriah dan Upaya Pengendalian Penyebaran Covid-19.
Langkah Baik
Dukungan lain atas kebijakan larangan mudik untuk menekan penyebaran Covid-19 terus mengalir. Wakil Ketua Komisi V Syarief Abdullah Alkadrie menilai keputusan pemerintah melarang mudik Lebaran 2021 merupakan langkah yang baik. Sebab, menurutnya keputusan melarang mudik untuk meminimalisasi potensi penyebaran virus corona. “Soalnya kita ini kan belum aman,” ujar Syarief dalam keterangannya.
Syarief melihat, kondisi penyebaran Covid-19 di Indonesia masih belum terkendali. Namun di sisi lain, Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasdem Kalimantan Barat itu menilai upaya menekan penyebaran Covid-19 masih belum maksimal.
“Jumlah vaksinasi kan juga belum mencapai separuh atau target vaksinasi,” nilai dia. Dengan alasan itu, Syarief mengkhawatirkan jika pemerintah justru mengizinkan mudik Lebaran tahun ini.
Di tempat berbeda, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDI-P Rahmad Handoyo mengatakan, kebijakan itu tepat dilakukan karena Indonesia masih belum bisa mengendalikan pandemi. “Kita apresiasi dan kita sambut baik keputusan pemerintah melarang mudik Lebaran. Mengingat saat ini kita belum bisa kendalikan pandemi, maka keputusan ini adalah tepat dan bijaksana,” kata Rahmad.
Rahmad menambahkan, berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) tren dunia terhadap kasus Covid-19 kembali mengalami kenaikan. Kendati demikian, ia tak memungkiri bahwa Indonesia mengalami penurunan kasus karena kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) skala mikro. “Kebijakan PPKM skala mikro telah menunjukkan hasil positif dengan ditandai di beberapa daerah sudah mulai melandai dan tren secara nasional melandai juga,” ujarnya.
Pemerintah juga dinilainya sudah jauh-jauh hari mengantisipasi kenaikan kasus yang diakibatkan libur panjang. Salah satu antisipasinya melalui pemangkasan cuti libur lebaran. “Dari evaluasi libur panjang, selalu diikuti kenaikan paparan yang meningkat. Maka ditambah dengan melarang mudik Lebaran, saya kira ini langkah tepat dan bijaksana,” ucapnya.
Pendapat Epidemiolog
Kebijakan Pemerintah RI ini juga mendapat sokongan dari pakar. Salah satunya, epidemiolog dari Griffith University Australia Dicky Budiman. Ia menilai, langkah melarang mudik Lebaran 2021 adalah keputusan tepat dan bijak yang dilakukan pemerintah. “Ini tentu harus direspons positif dan dengan besar hati oleh publik. Karena sekali lagi dalam situasi pandemi, yang kita belum bisa mengendalikan, tentu menuntut adanya pembatasan mobilitas dan interaksi manusia,” kata Dicky.
Menurutnya, berdasarkan bukti-bukti ilmiah terkini, mobilitas dan interaksi manusia terbukti berkontribusi dalam perburukan situasi pandemi Covid-19. Ia menambahkan, adanya potensi dari strain baru yang lebih cepat juga sangat efektif menular juga sudah ditemukan. “Itu pun yang baru bisa kita deteksi adalah varian B.1.1.7, belum potensi varian lain yang kita masih memiliki keterbatasan untuk mendeteksinya,” kata dia.
Ia menilai, mencegah adanya mobilisasi dan interaksi masif manusia dengan melarang mudik tidak hanya berkontribusi mencegah penularan Covid-19, tetapi juga mencegah munculnya strain virus baru.
Namun, Dicky tetap mengingatkan pemerintah bahwa pembatasan mobilitas manusia bukan satu-satunya dilakukan dengan melarang masyarakat mudik Lebaran. Menurutnya, pembatasan dan pengaturan mobilitas manusia juga tetap perlu dilakukan di dalam kota. Pertama, dari segi tempat yakni mengacu pada zona risiko penularan Covid-19. Kedua, dari segi aktivitas, yaitu mengatur agar jika ada aktivitas masyarakat, dapat dilakukan di luar ruangan dengan penerapan protokol kesehatan pribadi. “Dalam situasi saat ini, sebaiknya memakai masker dua lapis, jaga jarak minimal dua meter, dibiasakan mencuci tangan, dan tentu saja aktivitas di luar rumah bila amat sangat penting sekali,” jelasnya.
Perlu Peraturan Pemerintah
Dari tempat berbeda, masih berkenaan larangan mudik ini, pengamat transportasi sekaligus Ketua Bidang Advokasi dan Kemasyarakatan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno mengatakan, agar kebijakan pelarangan mudik Lebaran 2021 dapat berjalan efektif, pemerintah perlu menerbitkan landasan hukum terkait hal tersebut. “Supaya berjalan efektif, kebijakan pelarangan Mudik Lebaran tahun 2021, sebaiknya Pemerintah dapat menerbitkan Peraturan Presiden. Harapannya semua instansi Kementerian dan Lembaga yang terkait dapat bekerja maksimal,” kata Djoko.
Djoko menilai, keputusan pelarangan mudik sebenarnya ditetapkan pemerintah secara empiris, berdasarkan data yang ada. “Setiap kali selesai liburan panjang, angka penularan Covid-19 pasti meningkat signifikan. Jika tidak dilarang, susah dibayangkan jutaan manusia mudik seperti tidak ada pandemi, dan pasti juga nantinya akan ada ledakan penderita Covid-19 baru pasca-Lebaran,” katanya lagi.
Menurut Djoko, jika larangan mudik tahun ini tidak diimplementasikan dan diawasi secara serius, maka besar kemungkinan kesalahan-kesalahan seperti pada libur panjang sebelumnya dan libur Lebaran tahun lalu akan kembali terjadi. Dia menambahkan, adanya pengecualian dalam pelarangan mudik Lebaran juga telah menimbulkan banyak penafsiran serta penyimpangan.
“Jika pemerintah mau serius melarang, caranya mudah. Pada rentang tanggal yang sudah ditetapkan itu, semua operasional transportasi di bandara, terminal penumpang, stasiun kereta dan pelabuhan dihentikan,” kata Djoko. “Tidak perlu ada pengecualian, sehingga hasilnya akan lebih terasa manfaatnya,” imbuhnya.
Larangan mudik tahun lalu
Lebih lanjut Djoko menegaskan, jika tidak dilakukan evaluasi menyeluruh terhadap kebijakan pelarangan mudik Lebaran, maka Polri, sebagai institusi yang memiliki wewenang di jalan raya, tidak akan mampu melarang sepenuhnya mobilitas kendaraan. “Masyarakat punya cara mengakali dengan berbagai macam,” kata Djoko.
Dia berpendapat, rencana operasi di lapangan harus diperbaiki, tidak seperti tahun lalu, yang hanya mampu menghalau kendaraan roda empat ke atas. Sedangkan sepeda motor, dapat melengang sampai tujuan, karena banyak jalan pilihan yang dapat dilalui.
Djoko mengatakan, pada tahun lalu, pelarangan mudik Lebaran secara nasional hanya berdasar Peraturan Menteri Perhubungan, dan untuk lingkup DKI Jakarta ada Peraturan Gubernur. “Polri jelas tidak mau dipaksa kerja keras, apalagi tidak ada dukungan dana tambahan dari instansi terkait,” kata Djoko.
“Oleh sebab itu, terbitkan Peraturan Presiden tentang Pelarangan Mudik Lebaran Tahun 2021. Supaya ada anggaran khusus bagi Polri dalam melaksanakan pelarangan Mudik Lebaran 2021 dapat bekerja maksimal,” kata dia. Menurut Djoko, penerbitan Peraturan Presiden mengenai pelarangan mudik Lebaran 2021, memiliki fungsi sangat strategis, karena dampaknya terkait kepercayaan dan keberhasilan program penanganan Covid-19.
“Semestinya Presiden dapat turun langsung ikut menangani dan memantau. Kalau tidak ada perintah Presiden langsung, disangsikan apakah Polri mau bekerja maksimal di lapangan,” kata Djoko.
Klaim Polri
Setelah dukungan mengalir dan masukan dari berbagai pihak, pada akhirnya sukses tidaknya pelaksanaan kebijakan larangan mudik ini ada di pundak Polri. Bagaimana Polri mengeksekusi larangan mudik ini ? Sejauh mana efektivitasnya ?
Polri mengklaim sejauh ini, bahwa pos penyekatan pemudik berhasil menekan jumlah kendaraan yang keluar dari DKI Jakarta mengarah ke Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kepala Divisi Humas Polri Irjen Polisi Argo Yuwono mengungkapkan biasanya jumlah kendaraan dari Jakarta ke arah Jawa Barat per hari bisa mencapai 19.827 kendaraan, kini angka tersebut turun jadi 10.629 kendaraan atau turun 46 persen.
Sementara itu, jumlah kendaraan yang biasanya keluar dari Jakarta ke arah Sumatra ada sebanyak 14.853 kendaraan, kini turun menjadi 12.044 kendaraan atau sekitar 19 persen. “Normalnya 14,853 kendaraan, turun 19 persen,” tuturnya.
Kemudian, menurut Argo, jumlah kendaraan yang masuk ke gerbang tol Cikampek Utama biasanya mencapai 19.338 kendaraan. Kini, jumlah kendaraan tersebut turun jadi 8.732 kendaraan. “Biasanya di gerbang tol Cikampek Utama jumlah kendaraan ada 19.338 kendaraan dalam situasi normal, sekarang hanya 8.732 kendaraan,” kata Argo.
Sebelumnya, Polda Metro Jaya mengungkap bahwa kendaraan yang paling banyak diputar balik ada di Gerbang Tol (GT) Cikupa dan GT Bitung serta GT Cikarang Barat. Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan ada sebanyak 626 kendaraan yang langsung diputar balik di GT Cikupa dengan rincian 549 mobil pribadi dan 77 bus pengangkut pemudik.
Sementara itu, kata Yusri, sebanyak 13 kendaraan pribadi juga telah diputar balik karena berencana mudik melalui GT Bitung. “Kemudian, GT Cikarang Barat ada 444 kendaraan diputar balik, terdiri dari 346 mobil penumpang dan 98 bus,” tuturnya.
Yusri juga mengimbau masyarakat tidak ngotot mudik agar penyebaran covid-19 dapat ditekan secara maksimal. “Untuk mencegah penyebaran covid-19, baiknya masyarakat tidak mudik dulu,” katanya. Adapun pemerintah melakukan pelarangan mudik lebaran demi mencegah penyebaran covid-19 di Indonesia.
Pasalnya, setiap libur panjang dan banyaknya perpindahan masyarakat mengakibatkan jumlah penyebaran covid-19 meningkat tajam. Dan segenap usaha Polri dalam menegakkan aturan larangan mudik ini semoga dapat dipahami semua lapisan masyarakat sehingga kita sama-sama mampu keluar dari pandemi ini. Efektivitas tidak lagi berupa klaim sepihak dari Polri, melainkan benar-benar dirasakan oleh seluruh masyarakat Indonesia. (Saf).