Bom di Gereja Kathedral Makassar telah menodai hari suci dua agama di Indonesia. Upacara Palma umat katolik dan kesucian malam Nisfyu Sya’ban yang sangat dimuliakan. Tak ada alasan membenarkan bom bunuh diri dalam agama apa pun.
Pengamat intelijen dan terorisme Al Chaidar mengatakan bom bunuh diri yang terjadi di gereja Kathedral yang berada Jl Kahaolalido Makassar, diduga dilakukan oleh anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Makassar. Tindakan melakukan bom bunuh diri itu mereka lakukan sebagai aksi balas dendam karena anggotanya ditangkap dan ditembak polisi pada bulan Februari silam. ”Jadi bom bunuh diri diduga dilakukan oleh Jamaah Ansharut Daulah (JAD) Makassar. Mereka marah dan putus asa karena sebanyak 20 orang anggotanya ditangkap dan dua orang diantaraanya ditembak polisi densus 88 hingga tewas. Jadi ini aksi bunuh dari balas dendam,” katanya.
Menurut dia, karena tahu akan ditangkap dan terbuka kemungkinan akan ditembak mati, maka mereka tampaknya memutuskan memilih menyerang dengan aksi bunuh diri. Mereka sepertinya sudah sampai kesimpulan ke sana. ”Adanya aksi bunuh diri ini jelas akan sangat berbahaya. Pemerintah terlihat tidak tegas menangani teroris karena semuanya diserahkan kepada polisi. Aksi ini akan berdampak pada gerakan teror lain seperti Mujahidin Indonesia Timur (MIT) di Poso, OPM di Papua, juga sel teror yang beraflisiasi ke Jamaah Islamiyah,” tegasnya.
Menurut Al Chaidar, di Sulawesi memang masih ada sel teror Jamaah Islamiyah, Organisasi itu adalah Jamaah Ansharut Khilafah (JAK). ”Kelompok ini memang berafliasi ke ISIS,” ucap Al Chaidar. Menyinggung mengenai berapa jumlah JAD Makassar, Ali Chaidar mengatakan, setelah 20 orang ditangkap dan dua orang diantaranya ditembak hingga tewas, jumlah mereka kini hanya sekitar tujuh orang. Dengan aksi bunuh diri ini mereka jelas menyatakan siap memberikan perlawanan.
Nodai Malam Nisfu Sya’ban
Sungguh ironis peristiwa ini terjadi pada saat ummat Islam sedang menyambut datangnya malam Nisfu Sya’ban. Nisfu Sya’ban merupakan kata yang diambil dari bahasa arab, kata “nisfu” artinya setengah sedangkan kata sya’ban merupakan nama bulan dalam kalender hijriyah jadi “Nisfu sya’ban” menurut bahasa artinya setengah dari bulan. Imam Ghazali mengistilahkan malam Nisfu Sya’ban sebagai malam yang penuh dengan syafaat (pertolongan). Menurut al-Ghazali, pada malam ke-13 bulan Sya’ban Allah SWT memberikan sepertiga syafaat kepada hambanya. Sedangkan pada malam ke-14, seluruh syafaat itu diberikan secara penuh. Dengan demikian, pada malam ke-15, umat Islam dapat memiliki banyak sekali kebaikan sebagai penutup catatan amalnya selama satu tahun. Karena pada malam ke-15 bulan Sya’ban inilah, catatan perbuatan manusia penghuni bumi akan dinaikkan ke hadapan Allah SWT.
Maksud Rasulullah, hikmah dan berbagai kemuliaan dan kebajikan yang ada dalam bulan Sya’ban sering kali dilupakan orang. Mengapa dilupakan? Menurut pengakuan Rasulullah, karena bulan Sya’ban berada di antara dua bulan yang sangat terkenal keistimewaannya. Kedua bulan dimaksud adalah bulan Rajab dan bulan Ramadan. Bulan Rajab selalu diingat karena di dalamnya ada peristiwa Isra Mi’raj yang diperingati dan dirayakan sedang bulan Ramadan ditunggui kedatangannya karena bulan ini adalah bulan yang paling mulia dan istimewa di antara bulan yang ada.
Lantas apa dan bagaimana bulan Sya’ban? Keistimewaan dan kemuliaan bulan Sya’ban terletak pada pertengahannya, sehingga disebut dengan Nisfu Sya’ban. Nisfu artinya setengah atau seperdua, dan Sya’ban sebagaimana disebut sebelumnya, adalah bulan kedelapan dari tahun Hijrah. Nisfu Sya’ban secara harfiyah berarti hari atau malam pertengahan bulan Sya’ban atau tanggal 15 Sya’ban. Kata Sya’ban sendiri adalah istilah bahasa Arab yang berasal dari kata syi’ab yang artinya jalan di atas gunung.
Bulan kedelapan dari tahun Hijriah itu dinamakan dengan Sya’ban karena pada bulan itu ditemukan banyak jalan untuk mencapai kebaikan. Malam Nisfu Sya’ban dimuliakan oleh sebagian kaum muslimin karena pada malam itu diyakini dua malaikat pencatat amalan keseharian manusia; Raqib dan Atib, menyerahkan catatan amalan manusia Allah SWT, dan pada malam itu pula catatan-catatan itu diganti dengan catatan yang baru.
Diriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda “Bulan Sya’ban itu bulan yang biasa dilupakan orang, karena letaknya antara bulan Rajab dengan bulan Ramadan. Ia adalah bulan diangkatnya amal-amal oleh Tuhan. Aku menginginkan saat diangkat amalku aku dalam keadaan sedang berpuasa (HR Nasa’I dari Usamah). Sehubungan dengan hal itu Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan pengakuan Aisyah ra.” lam yakunin Nabiyi sha mim yashumu aksara min sya’baana finnahu kaana yashumuhu kulluhu kaana yashumuhu illa qalilan. Maksud Aisyah dalam periwayatan ini bahwa Nabi Muhammad SAW paling banyak berpuasa pada bulan Sya’ban. Lebih jauh dari itu, pada malan Nisfu Sya’ban Allah SWT menurunkan berbagai kebaikan kepada hambanya yang berbuat baik pada malam tersebut. Kebaikan-kebaikan itu berupa syafaat (pertolongan), magfirah (ampunan), dan itqun min azab (pembebasan dari siksaan). Oleh karena itu malam Nisfu Sya’ban diberi nama yang berbeda sesuai dengan penekanan kebaikan yang dikandungnya.
Imam al-Gazali mengistilahkan malam Nisfu Sya’ban sebagai malam Syafaat, karena menurutnya, pada malam ke-13 dari bulan Sya’ban Allah SWT memberikan seperti tiga syafaat kepada hambanya. Lalu pada malam ke-14, seluruh syafaat itu diberikan secara penuh. Meskipun demikian ada beberapa gelintir orang yang tidak diperuntukkan pemberian syafaat kepadanya. Orang-orang yang tidak diberi syafaat itu antara lain ialah orang-orang yang berpaling dari agama Allah dan orang-orang yang tidak berhenti berbuat keburukan.
Nisfu Sya’ban dinamakan juga sebagai malam pengampunan atau malam magfirah, karena pada malam itu Allah SWT menurunkan pengampunan kepada seluruh penduduk bumi, terutama kepada hambanya yang saleh. Namun dalam pemberian ampunan itu dikecualikan bagi orang-orang yang masih tetap pada perbuatannya mensyarikatkan Allah alias musyrik, dan bagi mereka yang tetap berpaling dari Allah SWT. Nabi bersabda: Tatkala datang malam Nisfu Sya’ban Allah memberikan ampunanNya kepada penghuni bumi, kecuali bagi orang syirik (musyrik) dan berpaling dariNya (HR Ahmad).
Tak ada dalam ajaran Rosulullah SAW
Dari penjelasan Nisfu Sya’ban di saat Allah memberikan maghfirah dan syafaat sepenuhnya kepada setiap hambaNya yang berbuat baik dan beramal sholeh. Sedangkan pelaku bom bunuh diri boleh jadi dikecualikan dari syafaat Allah mengingat perbuatannya yang sangat merugikan diri sendiri dan orang lain. Rasulullah SAW pun tak pernah mengajarkan kepada para sahabat dan umatnya untuk berbuat keji seperti itu.
Tindakan bom bunuh diri atau terorisme ini adalah kejahatan kemanusiaan yang tidak ada kaitannya dengan agama apa pun. Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Robikin Emhas menegaskan bahwa setiap tindakan kekerasan yang mengancam kerusakan harmoni sosial tidak dapat dibenarkan. Pihaknya mengutuk aksi bom saat ibadah minggu tersebut. “Oleh karena itu, setiap tindakan kekerasan yang mengancam rusaknya harmoni sosial tidaklah bisa dibenarkan. Apalagi berupa teror dalam bentuk bom. Sebaliknya, perbuatan seperti itu harus dikutuk,” katanya dalam keterangan resmi.
Menurutnya, kekerasan dan teror bukan ajaran agama. Kata dia, agama apapun tidak mengajarkan dan membenarkan aksi keji tersebut. Robikin menyebutkan bahwa seluruh umat manusia adalah saudara. Persaudaraan kemanusiaan lanjutnya tidak bisa dikurangi hanya karena perbedaan agama, suku, ras, warna kulit maupun golongan. Terlebih, menurutnya, upaya mewujudkan kehidupan harmonis merupakan keharusan yang harus dipikul bersama. “Tak seorang pun boleh mengelaknya. Toh dengan dalih apapun manusia tidak akan pernah terhindar dari kehidupan yang majemuk, plural dan beragam. Karena hal itu sudah merupakan keniscayaan (sunnatullah) yang telah ditetapkan oleh Tuhan YME,” tuturnya.
Tindakan Keji
Selain NU, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas turut mengutuk aksi pengeboman yang terjadi di kompleks Gereja Katedral Makassar, Sulawesi Selatan. Dia menilai aksi ini sebagai tindakan keji yang menodai ketenangan hidup masyarakat. “Apa pun motifnya, aksi ini tidak dibenarkan agama karena dampaknya tidak hanya pada diri sendiri juga sangat merugikan orang lain,” tuturnya. Selanjutnya, bisakah dibenarkan alasan orang melakukan upaya bom bunuh diri ? Mufti Arab Saudi Syekh Abdul Aziz al-Syaikh menyebutkan, mereka yang menjadi pelaku bom bunuh diri tidak bernilai syahid di sisi Allah.
“Membunuh diri sendiri merupakan kejahatan berat dan dosa besar. Mereka yang melakukan bunuh diri dengan cara meledakkan diri menggunakan bahan peledak (bom) termasuk penjahat yang mempercepat perjalanan mereka ke neraka. Hati mereka telah menyimpang jauh dari jalan yang benar, pikiran mereka telah diserang oleh kejahatan,” demikian petikan fatwa Syaikh al-Syaikh.
Para ulama yang menolak bom bunuh diri berdalil dengan ayat, “Janganlah kalian membunuh diri kalian sendiri karena sesungguhnya Allah sangat penyayang kepada kalian.” (QS an-Nisaa’ [4]: 29). Dan, hadis Rasulullah SAW, “Siapa yang membunuh dirinya dengan besi tajam maka besi itu diletakkan di tangannya, ditusukkan ke perutnya di neraka jahannam dia kekal di dalamnya.” (HR Bukhari Muslim). Ulama juga menilai dari segi kemaslahatan. Bom bunuh diri pada realitasnya tidak membuat musuh Islam jera. Bisa saja, dengan serangan bom bunuh diri membuat musuh Islam lebih congkak dan bringas. Mereka membalasnya dengan perbuatan yang lebih kejam kepada kaum Muslimin.
Mengenai sebutan syahid bagi seseorang yang tewas, Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin memberikan beberapa kriteria. Syahid yang terikat dengan suatu sifat, seperti setiap orang yang dibunuh fisabillah merupakan syahid, orang yang dibunuh karena membela hartanya termasuk syahid, orang yang mati karena penyakit tha’un merupakan syahid dan yang semacamnya. Mereka yang syahid seperti ini terdapat dalam nash hadis Nabi.Berikutnya, mengklaim seseorang syahid tanpa alasan yang jelas seperti di atas, hal ini tidak diperbolehkan. Berpedoman pada khotbah Umar bin Khattab, “Dalam peperangan, kalian mengatakan bahwa si Fulan syahid dan si Fulan telah mati syahid. Mudah-mudahan perjalanannya tenang. Ketahuilah, janganlah kalian berkata demikian, akan tetapi katakanlah sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ‘Barang siapa mati di jalan Allah atau terbunuh maka ia syahid’.” (HR Ahmad).
Jadi, menjustifikasi seseorang telah mati syahid tidak boleh sembarangan. Karena syahid adalah tempat yang mulia di sisi Allah SWT dan tidak sembarangan orang yang mendapatkannya. Orang yang syahid langsung diterima di surga serta ia bisa memberi syafaat kepada 60 orang yang ia suka pada hari kiamat. Ibnu Taimiyah menerangkan, mengklaim seseorang mendapatkan mati syahid berarti juga bersaksi bahwa orang tersebut masuk surga. Konsekuensi ini amatlah berat, kecuali dengan sifat yang telah disebutkan oleh Rasulullah SAW atau disaksikan langsung oleh Beliau.
Terorisme masih menjamur
Aksi terorisme masih menjamur di dunia. Diduga sebagai penyebab tumbuh suburnya tindakan tercela itu sebagai dampak dari semakin meluasnya semangat radikal yang tumbuh di beberapa negara. “Selama radikalisme ada, jaringan teroris itu akan tetap hidup. Terorisme merupakan anak kandung dari radikalisme dan radikalisme merupakan gerakan politik yang dilakukan dengan cara kekerasan,” jelas mantan Kepada BNP Ansyaad Mbai.
Ansyaad menambahkan, wacana terorisme merupakan barang lama dalam dunia ideologi di Indonesia dan mereka saling memiliki hubungan sejarah yang kuat.”Terbukti para pelaku memiliki keterkaitan langsung secara personal. Contohnya pelaku bom Kedubes Filipina ternyata memiliki keterkaitan dengan bapaknya yang seorang pelaku percobaan pembunuhan Presiden Soekarno di Salemba. Dan ada juga keterkaitan kekerabatan,” ungkap mantan Kapolda Sumut ini. Ansyaad menjelaskan, kalangan radikal menganggap bahwa globalisai dan demokratisasi telah gagal. “Sehingga mereka berfikir solusinya adalah syariat Islam atau kekhalifahan, daulah Islamiyah, dan demokrasi merupakan ancaman,” papar Ansyaad.
Ansyaad juga memuji sikap sebagian kalangan masyarakat yang sudah mulai berani meminta pemerintah untuk mengambil tindakan tegas terhadap kelompok radikal. Ketika ditanya apakah perlu organisasi radikal tersebut dibubarkan, Ansyaad menjawab, pembubaran organisasi bukanlah hal yang penting. “Tapi yang terpenting melihat aksi dari organisasi tersebut kalau melanggar hukum pemerintah jangan ragu untuk mengambil tindakan,” tegasnya. Ansyaad menjelaskan, perjuangan ideologi dibagi dalam dua jalur yaitu jalur kekerasan dan politik. Dan, sepanjang perjuangan ideologi melalui jalur politik memang tidak bisa dibubarkan tapi hanya dibatasi agar tidak melakukan kekerasan. “Mau pakai wacana syariat apa pun tidak bisa dihukum. Mau organisasi apa pun tidak bisa dilarang, karena dalam alam demokrasi tidak ada yang dihukum karena ideologi, tapi asal jangan dengan kekerasan,” imbuh Ansyaad. (Saf)