Jakarta, 20/1/2021. Dalam pemaparan makalah di depan Komisi III DPR RI, Rabu (20/1), yang berjudul Transformasi Menuju Polri PRESISI yang merupakan abreviasi dari PREdiktif, responSIbilitas, dan transparanSI berkeadilan, Listyo menggariskan dan akan menghilangkan kewenangan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana di level kepolisian sektor.
Kebijakan ini, dapat dipastikan akan disambut baik berbagai pihak. Seperti pernah dilontarkan oleh Menkopulhukam Mahfud MD beberapa waktu lalu, kebijakan ini berguna agar polsek “tidak cari-cari perkara” dan akan lebih fokus pada pelayanan masyarakat.
Tugas polsek diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian (Perkapolri) Nomor 23 Tahun 2010. Aturan tersebut juga mengatur tugas dan fungsi kepolisian resor alias polres.
Pada pasal 78, disebutkan polsek bertugas menyelenggarakan “keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, pemberian perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, serta tugas-tugas Polri lain dalam daerah hukumnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.”
Untuk menjalankan tugas itu, menurut pasal 79, polsek menyelenggarakan fungsi, di antaranya, “penerimaan dan penanganan laporan/pengaduan”, “penyelenggaraan fungsi intelijen di bidang keamanan”, “pengamanan kegiatan masyarakat”, serta “penyelidikan dan penyidikan tindak pidana”.
Fungsi yang disebut terakhirlah yang mau dihapus Mahfud dan akan dilaksanakan di bawah komando Listyo saat menjadi Kapolri kelak.
Berbagai Dukungan
Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Andrea Poeloengan beberapa waktu lalu menyebutkan usulan ini sebenarnya pertama kali muncul pada 2010, kemudian hilang, lalu muncul lagi pada akhir 2016 dan awal 2017.
Kompolnas adalah lembaga kepolisian yang bertugas memberikan pertimbangan dan membantu Presiden dalam menetapkan arah kebijakan kepolisian.
Menurutnya, penghapusan kewenangan penyidikan polsek itu harus segera direalisasikan karena berdampak positif.
Dari sisi ekonomi, misalnya, itu bisa menghemat duit setidaknya Rp20 miliar, dihitung dari jumlah satu penyidikan di 5.000 kecamatan yang masing-masing kasus biasanya menghabiskan uang sebesar Rp4 juta.
Penghapusan wewenang penyidikan juga bermanfaat karena pada dasarnya penegak hukum itu harus diawasi ketat, sementara menurutnya, selama ini pengawasan di tingkat polsek itu sangat lemah. Penghapusan hak penyidikan dapat membuat potensi penyalahgunaan wewenang bisa diminimalisasi.
Keuntungan lain, penghapusan ini juga bisa membuat “polisi lebih dekat dan menjadi sahabat masyarakat,” kata Andrea. Hal ini karena di satu sisi polisi bisa lebih fokus bekerja sama dengan masyarakat menjaga ketertiban, dan di sisi lain menghilangkan persepsi negatif seperti represif yang umumnya muncul saat mereka menangani kasus.
Pengubahan peraturan ini juga penting karena memaksa polisi mengubah pandangan mereka yang merasa semua masalah harus dibawa ke pengadilan. Toh, katanya, “Polri memiliki diskresi untuk menyelesaikan masalah kecil atau sepele.”
Andrea lantas membenarkan adanya anggapan sebagian pihak yang menyoal agar polisi tidak “kejar target.” Menurutnya, ini disebabkan karena masyarakat, juga media massa, yang menganggap polisi bekerja jika misalnya sukses mengungkap kasus. “Sementara kegiatan ketertiban dan pencegahan tidak mendapat porsi publikasi yang besar.”
Senaga dengan Andrea, Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar berpendapat serupa, misalnya soal keuntungan ekonomi. “Biaya untuk mengurus perkara sampai ke pengadilan cukup besar, dalam arti gaji dan honor pegawai, transportasi, yang menjadi beban negara,” kata Fickar.
Penghapusan satu kewenangan ini juga menurutnya tidak akan memengaruhi kinerja kepolisian secara umum. “Berdasarkan UU Kepolisian, fungsi Polri itu penanggung jawab keamanan dalam negeri, penegak hukum, dan pelayan masyarakat,” katanya. Jika satu fungsi dikurangi di tingkat paling bawah, ia menganggap fungsi pengamanan akan lebih optimal dijalankan. (Saf).