Pemolisian sipil adalah konsep yang lebih menekankan kolaborasi dan kemitraan antara masyarakat dan anggota kepolisian dalam menangani masalah sosial keamanan. Polisi adalah institusi tempat bagi warga yang hak-haknya terlanggar mengadu untuk mendapatkan perlindungan. Tugas polisi adalah melindungi, bukan melukai. Pada masyarakat negara-negara yang lebih demokratis dan menerapkan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih transparan, bentuk-bentuk pemolisian sipil sudah diterapkan dengan sungguh-sungguh. Pihak kepolisian, baik lewat institusi, pendidikan dan penelitian-penelitian yang dilakukan, tidak pernah berhenti melakukan pengembangan pendekatan kolaborasi mereka dengan masyarakat, tidak hanya oleh aparat semacam bimas, namun juga reskirim, lantas, intelejen dan samampta. Seperti halnya di negara-negara seperti Australia dan Selandia Baru, pemerintahnya perlu melakukan reformasi dalam pendidikan dan regulasi-regulasi bagi aparat kepolisiannya terutama dalam hal larangan penyiksaan, perlakuan dan penghukuman lain yang kejam dan merendahkan martabat kemanusiaan.
Jakarta, 16 Juni 2021. Dalam rangka “menciptakan Insan Tri Brata yang profesional, modern dan terpercaya (Promoter)”, lembaga pendidikan & Pelatihan (Lemdiklat) Polri berlaku sebagai unsur pendukung pelaksana pendidikan dan pengembangan di bawah Kapolri.Lemdiklat bertugas merencanakan, mengembangkan dan menyelenggarakan pendidikan kepolisian, berdasarkan jenis pendidikan Polri yang meliputi pendidikan profesi, manajerial (kepemimpinan), akademis, dan vokasi serta mengelola komponen pendidikan di jajaran Lemdiklat Polri. Lemdiklat Polri mengharapkan menghasilkan anggota-anggota Polri yang berkarakter kebayangkaraan yang kuat, memiliki integritas moral yang tinggi, pengetahuan teori, keterampilan teknis dan taktis serta memiliki pengalaman tugas fungsi Kepolisian.
Baru-baru ini Kalemdiklat Polri Prof Dr H Rycko Amelza Dahniel Msi menyatakan bahwa pendidikan merupakan aspek penting dalam membentuk SDM Polri yang unggul, kompetitif, kreatif dan inovatif di era 4.0 dalam tubuh Polri. Peran para dosen, instruktur dan pengasuh menurut hematnya, merupakan kunci utama. Oleh sebab itu, kampus Polri dalam pandangannya harus diposisikan sebagai obyek vital Polri karena memproduksi SDM sebagai alat kekuatan utama Polri yang sesungguhnya.
Harapan Kapolri
Peningkatan pendidikan dan pelatihan Polri itu memang juga menjadi fokus penting bagi Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo. Ketika membuka pendidikan Sespimti Dikreg ke-30 dan Sespimen Dikreg ke-61 tahun 2021, (23/3/2021) ia menyatakan bahwa pendidikan dan pelatihan Polri harus ditingkatkan hingga berkelas dunia (World Class Standard). Proses transfer of knowledge dan transfer of value untuk memperkaya peserta didik dengan ilmu pengetahuan, wawasan, moral dan karakter yang unggul menurutnya perlu dioptimalkan.
Ia juga menambahkan bahwa proses pendidikan merupakan media pengembangan diri dalam membentuk kepribadian pemimpin yang kuat, jujur, dan visioner serta mampu menjadi role model pimpinan Polri yang akan datang. Potensi kepemimpinan tingkat tinggi dan menengah dituntut mampu dikembangkan sedemikian rupa, sehingga seluruh peserta didik memiliki konsep strategis yang unggul dalam mengelola organisasi. “Bangun jaringan komunikasi dan kerja sama yang solid antar peserta didik sebagai bekal dalam mendukung pelaksanaan tugas kedepan serta mewujudkan kemajuan institusi Polri,” demikian pesan Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Untuk menunjukkan kepeloporan inovasi untuk kepentingan masyarakat dan institusi Polri selama masa Covid-19, aplikasi digital SIGAP (Siswa, Tenaga pendidik dan pengasuh) secara online telah dijalankan dalam program pendidikan di Sekolah Pendidikan Kepolisian Negara (SPN) Polda Metro jaya. Cara ini adalah dimaksudkan untuk memutuskan rantai penularan Covid-19, demikian jelas Kepala SPN Polda Metro Jaya Kombes Aloysius Suprijadi yang didampingi Project Manager SIGAP AKBP Andi Sinjaya. Untuk mencapai tujuan-tujuan ideal tersebut tentu merupakan suatu tantangan yang harus mendapat dukungan bersama.
Benahi sistem pendidikan Polri
Beberapa pengamat melihat banyaknya segi-segi strategis di dalam pendidikan Polri yang masih perlu dibenahi. Bambang Rukminto, pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) menyataka bahwa pendidikan yang diterapkan dai dalam Polri kiranya masih menciptakan arogansi dari banyak oknum-oknum anggota kepolisian, akibat ketidakpahaman mereka pada aturan hukum dan SOP. Akibatnya, mereka itu merasa sebagai penegak hukum seolah kebal terhadap hukum.
Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Taufan Damanik juga menginginkan ditetapkannya standar hak asasi dalam pendidikan kepolisian baik pada sekolah kepolisian, Akpol, maupun di dalam SPN. Menurut pendapatnya, kurikulum pendidikan kepolisian harus diperbaiki supaya kasus-kasus seperti penyiksaan hingga tewas seperti yang selama ini terjadi bisa dihilangkan. Sebagaimana diketahui, selama ini masih saja kerap terjadi penyiksaan-penyiksaan terhadap tahanan sel, aksi pemukulan oknum polisi terhadap sekelompok mahasiswa yang berunjuk rasa maupun berbagai kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan oleh polisi.
Menurut catataan terdapat sebanyak 921 kasus yang tercatat dalam periode Juli 2019 hingga Juni 2020. Pengikisan sifat militerisme dalam tubuh Polrisebenarnya sudah dilakukan dengan merombak sebagian besar kurikulum polisi yang diajarkan di 17 sekolah polisi negara (SPN) dan Akademi Kepolisian (Akpol) di Semarang. Kurikulum baru yang mulai diterapkan pada 1 Juli 1999, yang diberikan pada 11 ribu siswa SPN dan 300 orang mahasiswa Akpol tahun ajaran 1999/2000.
Walaupun sudah sejak 2002 Polri telah berubah menjadi institusi sipil, namun akibat puluhan tahun berada di bawah Angkatan bersenjata,, sifat-sifat represesif terutama dalam penanganan masalah sosial pada institusi ini masih tampak menonjol. Ini ditengarai masih tampak dari pengaplikasian sistem pendidikan yang represif itu. Menurut sebuah survei, pemolisian sipil adalah tidak populer dikalangan taruna yang akan lulus dalam pendidikan di Akademi Polisi (Akpol). Dalam catatan survei tersebut, lebih dari 70 persen memilih penempatan di reserse dan kriminal, baru kemudian disusul oleh bidang lalu lintas, intelejen dan samapta atau sabhara (yakni pengendalian massa, kerusuhan dan unju rasa).
Ternyata survei itu tidak menjumpai taruna yang memilih tugas pembinaaan masyarakat (bimas) ketika lulus nanti. Fakta ini menunjukkan bahwa ternyata kuatnya paradima dan pendekatan keamanan dan bukan pemolisian sipil dan pemolisian masyarakat di Indonesia masih kuat. Yang paling penting dalam perubahan kurikulum ini ialah adanya sistem magang. Magang dimaksudkan mempraktekkan materi yang sudah dipelajari. Hanya polisi lulus magang yang bisa jadi polisi. Masa magang di SPN berlangsung selama dua bulan, sedangkan di Akpol, selama satu semester.
Pemolisian sipil adalah konsep yang lebih menekankan kolaborasi dan kemitraan antara masyarakat dan anggota kepolisian dalam menangani masalah sosial keamanan. Polisi adalah institusi tempat bagi warga yang hak-haknya terlanggar mengadu untuk mendapatkan perlindungan. Tugas polisi adalah melindungi, bukan melukai. Pada masyarakat negara-negara yang lebih demokratis dan menerapkan penyelenggaraan pemerintahan yang lebih transparan, bentuk-bentuk pemolisian sipil sudah diterapkan dengan sungguh-sungguh.
Pihak kepolisian, baik lewat institusi, pendidikan dan penelitian-penelitian yang dilakukan, tidak pernah berhenti melakukan pengembangan pendekatan kolaborasi mereka dengan masyarakat, tidak hanya oleh aparat semacam bimas, namun juga reskirim, lantas, intelejen dan samampta.Seperti halnya di negara-negara seperti Australia dan Selandia Baru, pemerintahnya perlu melakukan reformasi dalam pendidikan dan regulasi-regulasi bagi aparat kepolisiannya terutama dalam hal larangan penyiksaan, perlakuan dan penghukuman lain yang kejam dan merendahkan martabat kemanusiaan.
Sistem pendidikan kepolisian mereka (juga aparat militer mereka) secara periodik dibekali oleh keterampilan menangani masalah sosial, termasuk konflik dan demonstrasi, dengan tetap menghormati martabat orang serta mengharamkan penggunaan kekerasan dan penyiksaan. Pendidikan anti penyiksaan tampaknya belum menjadi perhatian serius pemerintah, khususnya pada lembaga pendidikan Polri. Aparat polisi di Indonesia dianggap sering mengesampingkan hak-hak konstitusional dan mengedepankan isu keamanan. Misalnya tindakan-tindakan penangkapan terhadap orang-orang yang menyampaikan kritik dan pendapat yang kritis.
Selain itu juga ditengarai masih seringnya isu rasisme dan diskriminasi yang mengemuka, misalnya ketika melakukan penanganan KKB di Papua. Indikasi itu terlihat dari dimasukkannya institusi kepolisian sebagai satu dari urutan 5 besar organisasi yang dilaporkan ke Komisi Nasional HAM bersama-sama dengan tentara, pemerintah pusat, pemerintah daerah dan perusahaan. Polisi dan kepolisian di mana saja, tugas universal mereka adalah menjaga ketertiban dan keamanan masyarakat. Akan tetapi sejarah, filsafat pemolisian dan aspek-aspek lain telah banyak menentukan eksistensi dan kiprah yang dimainkan oleh kepolisian seperti yang tampak dewasa ini.
Mau dibawa kemana kepolisiannya, seringkali suatu negara sudah mulai sejak perekrutan dan pendidikan calon-calon polisi tersebut. Karenanya, bila dibuatkan komparasinya dengan Indonesia akan tampak perbedaan. Pendidikan kepolisian ditengarai menentukan mutu dan kualitas dari aparat kepolisian yang dihasilkannya dan kinerjanya dalam penegakan hukum dan langkah-langkah keamanan dalam penindakan kejahatan. Di Indonesia, masih sering muncul isu-isu soal proses perekrutan taruna kepolisian dan harapan agar berjalan transparan, akuntable, tanpa titipan atau sponsorship dari siapapun. Yang menarik seperti di negara tetangga Australia proses perekrutan sedikit berbeda. Animo masyaakat untuk menjadi polisi di Australia tampaknya tidak terlalu menggebu-gebu. Untuk menarik minat masyaarakat pemerintah menggunakan jalan agar orang di Australia tertarik masuk dan diharapkan datang dari masyarakat yang lebih multikulural.
Pihak kepolisian tampak gencar mengiklankan ajakan orang-orang untuk bergabung dengan kepolisian dan menjanjikan manfaat-manfaat apa saja manfaat yang bisa diperoleh jika mau bergabung. Mereka juga menciptakan imaji bahwa menjadi polisi milineal adalah ‘cool’ atau keren, dengan mempresentasikan bahwa mereka memperlihatkan dan menggambarkan pekerjaan sebagai polisi itu menyenangkan dan bisa menjadi sarana ekspresi diri. Berlainan dengan Indonesia, Australia mengenal dua sistem kepolisian yakni polisi negara bagian dan kepolisian Federal.
Kepolisian federal Australia dianggap sebagai memiliki pendidikan kepolisian yang sangat baik di dunia, sehingga menghasilkan reputasi penegakan hukum berstandar tinggi. Meskipun memiliki banyak kesamaan-kesamaan dalam prinsip perekrutan dan pelatihannya, namun kedua institusi kepolisian adalah sistem yang berbeda dan memiliki otoritas masing-masing. Di atas kertas, ada potensi mereka bisa saling bersaing. Namun pada kenyataannya, sistem pendidikan dan pelatihan yang efektif telah dapat membuat mereka bekerja sangat kooperatif dalam operasi-operasi gabungannya.
Standar tinggi dalam prinsip-prinsip itu membuat mereka dapat bekerjasama secara harmonis dan mengisi satu sama lain, terutama dalam memecahkan masalah yang kompleks seperti sindikat kejahatan, narkoba dan masalah terorisme. Oleh sosiolog Australia, Wayne Palmer, integritas dan komitmen kepolisian di Australia ditempatkan pada tingkat tertinggi dibanding sistem pendidikan dan pelatihan kepolisian-kepolisian di tempat lain, seperti Indonesia. Satu lagi yang dipuji adalah penerapan prinsip kesetaraan jender dan penerapan hak asasi yang amat diakui. Kuota terhadap jumah jender malahan terus ditingkatkan dari tahun ke tahun.
Di samping hal tersebut, pendidikan standar yang diterapkan termasuk pemahaman hukum negara, investigasi kriminalitas, prosedur patroli, pelatihan senjata api, pertolongan pertama bahkan kemahiran mengunakan teknologi komputer. Sistem pendidikan kepolisian negara bagian NSW dijalakan dengan bekerjasama dengan Universitas setempat, dengan kurikulum dan tingkatan pendidikan tertentu. Sedangkan bagi polisi Federal, pendidikan dan pelatihan dilakukan selama 24 minggu di AFP Coolege di Barton.
Mereka yang menyelesaikan pendidikannya, masih harus magang di kepolisian selama setahun, sebelum benar-benar diangkat dan ditempatkan di unit-unit tertentu. Selain sistem perekrutan dan pendidikan polisi Australia yang dipuji dunia internasional, kehebatan The Royal New Zealnd Police (polisi Selandia Baru) juga terletak pada komponen akademianya, yang tak lain dimaksudkan menghasilkan calon-calon polisi berkomitmen baik dan mumpuni dan integritas dan pelatihan untuk memecahkan persoalan yang kompleks. Setiap calon polisi di negara itu diharuskan memiliki ketrampilan yang canggih, termasuk menangani senapan mesin berat dan pestol sehingga ketika mereka dipisahkan dalam unit-unit khusus mereka merasa siap.
Departemen kepolisian New York (NYPD) juga dikenal memiliki sistem pendidikan dan perekrutan polisi telah demikian maju, karena departemen ini sebenarnya telah berdiri sejak 1845. Kaum polisi nya dilatih dengan standar tinggi sehingga mampu mencapai keberhasilan dalam menekan kejahatan dengan kekerasan hingga 80 persen dalam satu dekade terakhir. Walau demikian, baru-baru ini masih muncul isu rasionalisme yang kemudian membangkitkan gerakan ‘blacklives matters’, sesuatu yang menunjukkan bahwa masalah diskriminasi masih terus melekat di kalangan masyarakat Amerika.
Di Asia sendiri, sistem pendidikan semisal kepolisian Jepang amat menonjol karena mengajarkan nilai-nilai kedisiplinan dan integritas yakni anti korupsi yang teguh. Sistem pelatihannya yang amat luas dan beragam tersebut dimaksudkan untuk pencegahan kejahatan dan pekerjaan penegakan hukum. Pusat penelitian dan pelatihan kepolisian untuk kepentingan investigasi khususnya kasus-kasus keuangan dan Cybercrime kemudian dibentuk. Selain itu hal yang menonjol adalah pengajaran manajemen krisis bencana yang merupakan salah satu yang terbaik di dunia.
Di lingkungan Polri, pendidikan kepolisian antara lain terdiri atas, pertama, apa yang disebut sebagai pendidikan Tamtama (durasi 5 bulan dengan luaran kelulusan berpangkat bhayangkara dua/Bharada). Mereka diajarkan fungsi tenknis kepolisian lalu lintas, intelejen, reserse maupun binmas. Jenis pendidikan kedua dikenal sebagai pendidikan Bintara kepolisian selama 7 bulan dengan pangkat Brigadir Dua bila lulus. Jenis pendidikan ketiga adalah pendidikan Taruna di Akpol selama 4 tahun. Dengan gelar sarjana Ilmu kepolisian dan pangkat Ipda (Inspektur dua).
Lulusan perguruan tinggai bisa bergabung dengan mengikuti pendidikan 6 bulan di Sekolah Inspektur Polisi Sumber Sarjana (SIPS) dengan pangkat Inspketur dua (Ipda). Sejumlah ilmu pengetahuan dan ketrampilan diajakarkan seperti kriminologi forensik, psikologi forensik, hukum perdatan, bahasa Inggris, kedokteran forensik, sosiologi dan beladiri Polri. Pada banyak hal ada banyak kesamaan pendekatan dan materi pendidikan dan pelatihan kepolisian ini. Melihat sistem pendidikan dan pelatihan yang dilakukan oleh negara lain, Indonesia tampaknya bisa belajar bagaimana cara mengantisipasi dan menerjemahkan perubahan kultur polisi yang main berubah, yakni posisi mereka sebagai aparat penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayanan masyarakat yang lebih menghargai hak asasi manusia. (Isk – dari berbagai sumber).