Aksi terorisme seperti tak berhenti melanda Indonesia. Empat bulan pertama di tahun 2021 saja telah terjadi penangkapan jaringan teroris di Makassar, lalu disusul peledakan bom bunuh diri di halaman Gereja Kathedral Makassar, penyerangan markas besar Polri di Jakarta, dan terakhir penangkapan mantan Sekretaris Umum FPI (Front Pembela Islam) Munarman yang diduga terlibat kegiatan terorisme. Untuk kasus yang terakhir, terduga teroris Munarman ditangkap di rumahnya dan dibawa dengan mata tertutp yang menimbulkan kehebohan di kalangan pegiat HAM. Apakah hukum untuk terorisme berbeda? Bagaimana penegakkan hukumnya di Indonesia?
Jakarta, 21 Desember 2021 – Kepala Bagian Penerangan Umum (Kabag Penum) Divisi Humas Polri Kombes Ahmad Ramadhan menjelaskan alasan mantan Sekretaris Umum FPI, Munarman ditutup matanya saat ditangkap Densus 88 Antiteror. “Standard internasional penangkapan tersangka teroris ya seperti itu,” kata Ramadhan kepada wartawan di Mabes Polri, Jakarta, Rabu (28/4/2021).
Menurut Ramadhan, bahwa hal tersebut dilakukan mengingat bentuk kejahatan terorisme yang memerlukan pendekatan berbeda dari kasus-kasus lainnya. Apalagi, kegiatan terorisme bersifat antarjaringan. Sehingga, menutup mata tersangka perlu dilakukan. “Penangkapan satu jaringan akan membuka jaringan yang lainnya. Yang kedua, sifat bahayanya kelompok teror yang bisa berujung jiwa petugas lapangan,” ucap Ramadhan. Oleh sebab itu, penutupan mata dilakukan agar tersangka tak mengenali petugas yang melakukan penangkapan selama operasi berlangsung.
“Untuk menghindari target, mengenali operator atau petugas maka perlu menutup mata pelaku agar tidak mengenali petugas. Jadi tujuannya untuk perlindungan terhadap petugas,” tutur Ramadhan. Munarman ditangkap, Selasa (27/4/2021) pukul 15.30 WIB di rumahnya Perumahan Modern Hills, Cinangka, Pamulang, Tangerang Selatan. Penangkapan itu terkait dengan rangkaian proses Baiat diduga ke jaringan teorris yang dilakukan di Jakarta, Makassar, Sulawesi Selatan dan Medan, Sumatera Utara.
Landasan hukum Perangi Terorisme
Melihat sejarahnya, sejak awal memang Polri sudah bersikap tegas terhadap terorisme dengan membentuk satuan khusus untuk memeranginya. Penanggulangan tindak pidana terorisme tentunya tidak cukup hanya dengan mengeluarkan berbagai regulasi ataupun kebijakan yang terkait dengan upaya tersebut. Tetapi hal penting lain yang perlu diperhatikan adalah terkait dengan institusi Polri, yang merupakan garda terdepan dalam pengungkapan berbagai aksi terorisme yang terjadi di Indonesia. Penyebaran virus COVID-19 yang sampai saat ini masih belum terselesaikan, Indonesia kembali menghadapi rintangan berupa aksi penyerangan dan pengeboman yang menimbulkan kerugian terhadap negara dan masyarakat sekitar. Seperti yang kita ketahui, pada bulan Maret lalu kasus terorisme kembali mencuat dengan kejadian pengeboman Gereja di Makassar dan aksi penyerangan di Mabes Polri. Menurut Pasal 15 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menyebutkan bahwa tindakan terorisme adalah setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas atau menimbulkan korban yang bersifat massal, dengan cara merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap obyek-obyek vital yang strategis atau lingkungan hidup atau fasilitas publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Menyikapi berbagai peristiwa terorisme yang menimbulkan korban secara massal dan kerugian, maka kita perlu membaca kembali UU Nomor 15 Tahun 2003 yang dalam pembentukkannya melewati proses dan langkah yang strategis selama setahun sebelum akhirnya disahkan menjadi undang-undang. Langkah strategis pemerintah pada saat itu ialah dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme (Perpu No. 1 Tahun 2002), lalu setahun kemudian Perpu ini disahkan menjadi undang-undang melalui Undang-undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang (UU No. 15 Tahun 2003). Mengeluarkan berbagai regulasi, kebijakan, dan peraturan tentunya tidak cukup dalam menanggulangi tindak pidana terorisme. Penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi masalah kejahatan memiliki sifat yang sama seperti, pengobatan yaitu hanya bersifat menyembuhkan gejala bukan sebagai faktor dalam mengilangkan sebab terjadinya kejahatan. Polri sebagai garda terdepan dalam menghadapi kasus terorisme yang mempunyai salah satu fungsi dalam bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat juga berperan dalam penanggulangan aksi teror.
Terorisme yang dianggap sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) diperlukan juga upaya dan usaha yang luar biasa dalam penanganannya disamping pengesahan suatu undang-undang atau kebijakan. Sampai saat ini Indonesia telah melakukan upaya-upaya luar biasa seperti pembentukan satuan tugas khusus yaitu Detasemen Khusus 88 Antiteror, pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), dan operasi-operasi khusus yang melibatkan TNI/Polri dalam memberantas tindak pidana terorisme. Penanggulangan tindak pidana terorisme juga memakai pendekatan integral. Indonesia telah menggunakan metode pendekatan integral melalui metode soft approach dan hard approach. Menurut pakar hukum Barda Nawawi Arief dalam penegakan hukum secara integral terdiri dari : Pilar Legislasi (badan yang membuat aturan atau hukum), Pilar Yudikasi (yang menerapkan struktur hukum dalam penegakan hukum), dan Pilar Edukasi (khususnya Perguruan Tinggi Hukum yang membangun kultur budaya hukum).
Sejak kasus bom bunuh diri yang dilakukan pasangan suami istri di depan Gereja Katedral Makassar, kepolisian sudah menangkap 13 terduga teroris di empat lokasi berbeda. Polisi juga memusnahkan lima bom rakitan yang disita dari beberapa tersangka.
Sebagaimana diwartakan media, Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan mengatakan, sejak Januari hingga Maret 2021, kepolisian sudah menangkap 94 terduga teroris. “Selama periode 2021 sejak Januari sampai Maret ini Densus 88 Anti Teror Mabes Polri telah menangkap sebanyak 94 tersangka teroris,” kata Ramadhan, Selasa (30/3/2021). Di Indonesia, istilah tentang terorisme memang sudah tidak asing lagi di telinga kita. Ia kerap hadir di sejumlah pemberitaan media. Lantas, apa yang dimaksud dengan terorisme dan bagaimana aturan hukumnya di Indonesia? Arti Terorisme, Definisi dan Aturan Hukumnya Secara umum, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, terorisme diartikan sebagai penggunaan kekerasan untuk menimbulkan ketakutan dalam usaha mencapai tujuan (terutama tujuan politik); praktik tindakan teror. Kendati demikian, pengaturan tentang terorisme sudah tertuang dalam Undang-undang Nomor 5 tahun 2018 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-undang.
Dalam UU tersebut, terorisme diartikan sebagai perbuatan yang menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut secara meluas, yang dapat menimbulkan korban yang bersifat massal, dan/atau menimbulkan kerusakan atau kehancuran terhadap objek vital yang strategis, lingkungan hidup, fasilitas publik, atau fasilitas internasional dengan motif ideologi, politik atau gangguan keamanan (Pasal 1 Ayat 2). UU itu juga menyebutkan, kekerasan yang dimaksud adalah: “setiap perbuatan penyalahgunaan kekuatan fisik dengan atau tanpa menggunakan sarana secara melawan hukum dan menimbulkan bahaya bagi badan, nyawa dan kemerdekaan orang, termasuk menjadikan orang pingsan atau tidak berdaya.” Sementara ancaman kekerasan dijelaskan sebagai: “setiap perbuatan secara melawan hukum berupa ucapan, tulisan, gambar, simbol, atau gerakan tubuh, baik dengan maupun tanpa menggunakan sarana dalam bentuk elektronik atau nonelektronik yang dapat menimbulkan rasa takut terhadap orang atau masyarakat secara luas atau mengekang kebebasan hakiki seseorang atau masyarakat.”
Bahan peledak, dalam UU tersebut, diartikan sebagai: “semua bahan yang dapat meledak, semua jenis mesiu, bom, bom pembakar, ranjau, granat tangan, atau semua bahan peledak dari bahan kimia atau bahan lain yang dipergunakan untuk menimbulkan ledakan.” Hukuman pidana bagi terpidana kasus terorisme tertuang dalam Pasal 6, ia paling singkat bisa dipenjara selama 5 tahun dan paling lama 20 tahun, bahkan bisa penjara seumur hidup atau pidana mati. Berikut isinya: “Setiap Orang yang dengan sengaja menggunakan Kekerasan atau Ancaman Kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara meluas, menimbulkan korban yang bersifat massal dengan cara merampas kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain, atau mengakibatkan kerusakan atau kehancuran terhadap Objek Vital yang Strategis, lingkungan hidup atau Fasilitas Publik atau fasilitas internasional dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, pidana penjara seumur hidup, atau pidana mati.” Poin-poin di atas hanyalah gambaran singkat tentang aturan hukumnya. Namun pasal-pasalnya dianggap multitafsir pada saat disahkan pada Mei 2018 lalu. Direktur Imparsial Al Araf pernah menyatakan bahwa definisi “terorisme” masih multitafsir. Ia pun khawatir definisi itu bisa berpotensi disalahgunakan untuk menindak kelompok yang kritis dengan kekuasaan. Akan tetapi, ia berharap UU ini “benar-benar menyasar organisasi teroris,” ujar Al Araf. “Seharusnya kemarin Pemerintah dan DPR tak memasukkan unsur tentang ‘motif politik, atau ideologi, dan gangguan keamanan’,” kata Al Araf.
Di sisi lain, pengamat terorisme dari The Community of Ideological Islamic Analyst (CIIA) Harits Abu Ulya menyoroti soal ketidakjelasan frase “orang atau kelompok orang yang rentan terpapar paham radikal terorisme”. Ia khawatir penentuan kelompok rentan justru bisa menimbulkan konflik. Sama dengan frase orang atau kelompok yang rentan, frase paham radikal terorisme bersifat tidak jelas sehingga berpotensi membuat penyidik menyalahgunakan wewenang. “Penyidik dapat seenak sendiri menentukan orang-orang yang wajib mengikuti program kontra radikalisasi dan deradikalisasi,” ujarnya. Namun, Anggota Panitia Khusus (Pansus) RUU Pemberantasan Terorisme dari Fraksi PKS Nasir Djamil menjelaskan soal definisi yang multitafsir. Menurutnya, penjelasan motif dalam definisi terorisme justru memperjelas arti dari tindakan itu. Nasir berkata, usul dimasukkannya motif dalam definisi terorisme berasal dari tiga partai yakni Gerindra, PAN, dan PKS. Keinginan ketiga parpol itu diterima dengan kompromi oleh parpol dalam faksi pemerintah. “Jadi yang namanya kelompok teroris itu selalu punya motif politik dan ideologi. Kalau dilihat berbagai definisi terorisme, maka salah satu unsur kelompok teroris adalah memiliki motif politik,” ujar Nasir.
Prestasi Densus 88 Perangi Terorisme
Tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror Polri menangkap lebih dari 1.100 teroris sejak 2018. Prestasi itu buah dari pengesahan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. “Densus dari 2018 sampai dengan hari ini berhasil menangkap 1.173 pelaku teror dan mencegah ratusan rencana serangan,” kata Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Irjen (Purn) Benny Mamoto dalam diskusi virtual Crosscheck Medcom.id bertajuk ‘Awas! Sesat Milenial Radikal di Jagat Virtual,’ Minggu, 4 April 2021. Benny menyebut Densus 88 juga mencegah ancaman serangan pada acara Asian Games 2018 di Jakarta dan Palembang. Bahkan, Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 yang berlangsung dengan aman juga berkat kinerja Korps Antiteror itu. “Dunia luar sangat mengapresiasi karena negara luar tidak seperti ini kekuatannya,” papar dia.
Di sisi lain, Benny juga menyinggung program deradikalisasi yang tertuang dalam UU tersebut. Dia mafhum ada pro dan kontra soal deradikalisasi. Benny menilai deradikalisasi diperdebatkan lantaran belum ada koordinasi yang baik antaraparat penegak hukum. Menurut dia, kesuksesan deradikalisasi harus dilakukan berkesinambungan. “Saya lihat kesinambungan ini tidak ada,” ujar dia. Benny berkaca pada pengalamannya sebagai penyidik Densus 88. Kala itu, setiap teroris yang ditangkap diserahkan pada Benny untuk diinterogasi maksimal tujuh hari.
“Bangun komunikasi yang baik, trust, cerita, dan akhirnya terbuka semua jaringan. Ini harus diestafetkan dari penyidik, JPU (jaksa penuntut umum), sampai lapas (lembaga pemasyarakatan),” papar Benny.
Baca Juga : Reaksi Jejaring Intelejen Internasional Menyikapi Perkembangan Terorisme di Indonesia, Masih Ditunggu
Payung Hukum Baru Tangani Terorisme
Selanjutnya BNPT menyatakan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Terorisme Tahun 2020—2024 menjadi payung hukum untuk memperkuat penanganan terorisme. Direktur Penegakan Hukum BNPT Brigjen Pol. Edy Hartono mengatakan bahwa Perpres Nomor 7 menyatukan semua program penanganan masalah terorisme, ekstremisme, dan radikalisme di semua kementerian/lembaga. Kerja sama semua pihak akan menjalankan tiga pilar, yakni pencegahan, penegakan hukum, dan kerja sama nasional dengan 130 rencana aksi. “Perpres ini menyinergikan program kementerian/lembaga untuk bersama menanggulangi terorisme sejak hulu. Jadi, bukan untuk mengekang,” kata Edy dalam webinar yang digelar Moya Institute bertema pemberantasan ekstremisme dan terorisme pasca-Perpres No. 7/2021. Ia menegaskan bahwa Perpres No. 7/2021 bisa memperkuat upaya-upaya penanganan terorisme, ekstremisme, dan radikalisme dari hulu ke hilir.
Ada dua dasar dikeluarkannya perpres tersebut, yakni pertama, makin meningkatnya ancaman ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme di lndonesia, telah menciptakan kondisi rawan yang mengancam hak atas rasa aman, dan stabilitas keamanan nasional. Kedua, kehadiran perpres pencegahan ekstremisme sebagai upaya mencegah dan penanggulangan ekstremisme berbasis kekerasan yang mengarah pada terorisme sehingga perlu strategi komprehensif untuk memastikan langkah sistematis, terencana, dan terpadu dengan melibatkan peran aktif seluruh pemangku kepentingan. Selama ini, masing-masing kementerian/lembaga memiliki program pencegahan terorisme, ekstremisme, dan radikalisme. Dengan adanya perpres tersebut, pelaksanaan program-program untuk mencegah berkembangnya terorisme, ekstremisme, dan radikalisme dari semua kementerian/lembaga makin kuat dan terukur dengan sinergi kementerian/lembaga.
Edy mengatakan bahwa norma baru itu mengatur banyak hal, seperti definisi terorisme, pelibatan TNI dalam mencegah terorisme, dan pemulihan korban.”Perpres No. 7 akan makin memperkuat dalam konteks pencegahan,” katanya. Setelah reformasi, lebih dari 2.000 orang ditangkap karena tindak pidana terorisme. Hal itu mengubah strategi kelompok ekstrem dan radikal dalam menjalankan aksi mereka. Oleh karena itu, strategi pencegahan pun harus berubah.
Pemerintah sudah menetapkan JI dan JAD sebagai organisasi terlarang. Sudah banyak tokoh dua organisasi itu ditangkap. Akan tetapi, lanjut dia, ternyata penyebaran paham mereka tidak putus.
“Mereka terus melaksanakan dakwah, menyebarkan paham radikal dan terorisme, mereka juga memperbarui pedoman umum dan strategi operasi. Bagaimana cara menghindar dari kejaran aparat, sampai mereka merekrut seksi pendanaan. Terakhir terungkap kotak amal sebagai modus pendanaan,” tukas Edy.
Masukan Penguatan Melawan Terorisme
Berdasarkan data diatas, dapat diketahui bahwa faktor internal yang mempengaruhi pengungkapan tindak pidana terorisme yang dilakukan kelompok radikal adalah dari faktor aparat penegak hukumnya (personil Densus 88 AT Polri). Dari sisi aparat penegak hukumnya, ternyata personil Densus 88 AT Polri yang bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana terorisme yang dilakukan kelompok radikal karena anggota (personil) Densus 88 AT Polri yang memang sudah terlatih dan berpengalaman dalam tugasnya. Sehingga pengungkapan kasusnya tidak menemui hambatan atau kendala yang signifikan, dan dari hasil penyelidikan yang dilakukan dengan segera tersangka telah dapat ditangkap untuk melaksanakan penyidikannya. Dari sisi sarana dan prasarana, Densus 88 AT Polri telah dilengkapi dengan peralatan (teknologi) moderen, serta dukungan pendanaan yang cukup memadai. Hal ini tentunya sangat mendukung bagi percepatan perlaksanaan pengungkapan tindak pidana terorisme yang dilakukan kelompok radikal.
Adanya dukungan aparat Densus 88 AT Polri yang mempunyai skill (keahlian) memadai, serta dukungan sarana dan prasarana berupa peralatan teknologi moderen, tentunya juga merupakan kunci keberhasilan dalam pengungkapan kasus tindak pidana terorisme. Oleh sebab itu, dukungan seperti ini hendaknya juga tersedia dalam upaya pengungkapan kasus jenis tindak kriminal lainnya. Faktor pengaruh eksternal yang dimaksudkan dalam pengungkapan kasus tindak pidana terorisme yang dilakukan kelompok radikal, terdiri dari faktor substansi hukum, faktor budaya hukum dan faktor masyarakat. Apabila dilihat dari sisi aturan hukum (undang-undang), maka substansi undang-undang yang terkait dengan pelaksanaan penyidikan terorisme, maupun berbagai regulasi (kebijakan) yang dikeluarkan dan berlaku di lingkungan institusi Polri, juga merupakan salah satu faktor pendukung untuk mengungkapkan kasus tindak pidana terorisme yang dilakukan kelompok radikal.
Dilihat dari faktor budaya hukum, maka hal ini lebih terkait dengan pemahaman masyarakat terhadap gerakan radikal yang dapat berkembang menjadi kelompok terorisme. Karena sampai saat ini masih ada pemahaman yang dangkal terhadap ajaran agama tertentu. Sehingga masih ada sebagian anggota masyarakat yang beranggapan bahwa konsep jihad dengan melakukan aksi teror merupakan ajaran yang memang diperintahkan agama. Padahal setiap agama melarang tindakan kekerasan. Konsep jihad tidak boleh dipahami sebagai bentuk perlawanan yang menggunakan kekerasan terhadap siapa saja tanpa sasaran yang jelas. Dalam hubungannya dengan kasus tindak pidana terorisme yang dilakukan kelompok radikal. Namun dari sisi masyarakat tidak ada faktor signifikan yang dapat menghambat proses pengungkapannya. Karena umumnya masyarakat (kecuali sebagian kecil yang tidak paham) mendukung tugas dan peran Densus 88 AT Polri dalam mengatasi masalah terorisme di Indonesia. (EKS/berbagai sumber)