Berkaca pada aksi peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day tahun lalu, maka Polri sebagai pihak yang paling bertanggungjawab menjaga keamanan memiliki rencana matang untuk mengawal dan mengamankan aksi tahun ini. Ribuan personil dikerahkan, izin aksi diperketat, lalu lintas pesan medsos dipantau, dan sosialisasi untuk mematuhi protokol kesehatan ketika aksi berlangsung juga dilaksanakan. Hasilnya? Aksi peringatan May Day berlangsung relative aman dan praktis tiada kericuhan besar seperti tahun lalu. Disinilah peran Polri untuk mengawasi dan mengawal aksi telah teruji.
Jakarta, 2 Mei 2021 – Tim gabungan TNI-Polri mengerahkan sebanyak 6.349 personel untuk mengamankan aksi buruh pada peringatan May Day yang jatuh hari ini Sabtu 1 Mei 2021. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus mengemukakan ribuan personel TNI-Polri itu dikerahkan untuk membubarkan aksi buruh pada peringatan May Day, Sabtu 1 Mei 2021 di wilayah DKI Jakarta. Sehingga, menurut Yusri, penyebaran covid-19 akibat aksi buruh tersebut dapat diminimalisasi. “Ada 6.349 personel gabungan TNI-Polri yang akan dikerahkan,” tuturnya, Sabtu (1/5/2021). Dia menegaskan tidak akan segan menindak para buruh yang berkukuh melakukan aksi peringatan May Day, tanpa memperhatikan protokol kesehatan selama menjalankan aksi.”Sekali lagi saya ingatkan, patuhi prokes,” tegas Yusri.
Polda Metro Jaya telah menerima pemberitahuan kegiatan unjuk rasa terkait peringatan Hari Buruh Sedunia alias Mayday, di Ibu Kota Jakarta dan sekitarnya, Sabtu 1 Mei 2021. Polisi meminta agar massa buruh dalam menggelar aksi tetap mematuhi protokol kesehatan (prokes). Yusri menambahkan bahwa memang betul sudah ada pemberitahuan di beberapa tempat yang terpusat di Patung Kuda, kemudian di MK, kemudian kantor ILO (organisasi buruh internasional). Mulai pagi kemudian selesai siang, lalu ada lagi sampai dengan sore. Polri sudah sampaikan imbauan seperti patuhi protokol kesehatan, ada aturan perundang-undangan. Menurutnya, Polri telah berkoordinasi dengan beberapa serikat pekerja seperti SPSI (serikat Pekerja Seluruh Indonesia) dan KSPI (Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia) agar dilakukan swab antigen sebelum melaksanakan kegiatan. Kedua organisasi buruh terbesar di Indonesia itu sudah menyampaikan akan mengurangi kegiatan, akan menyampaikan kegiatan dengan persuasif, humanis, mengikuti protokol kesehatan dan minta diswab.
Untuk itu, Polda Metro Jaya langsung membentuk tim kesehatan berkoordinasi dengan serikat pekerja yang mengharapkan ada pengecekan swab antigen terlebih dulu sebelum melakukan kegiatan. “Ini akan kita lakukan. Pertama ini bentuk kami, pencegahan kami terhadap teman-teman serikat. Kami mengharapkan semuanya juga sama. Kami mengharapkan koordinasi, kami akan siapkan swab antigen sebelum berangkat. Kalau perlu kami kawal, kami siapkan tim pengawalan dengan mematuhi protokol kesehatan,” katanya.
Diberitakan sebelumnya, (KSPSI) memutuskan tidak menurunkan massa buruh ke jalan secara besar-besaran pada Perayaan Hari Buruh atau May Day 1 Mei 2021 mengingat pandemi Covid-19 belum usai.”Kami memutuskan untuk May Day 2021 tidak menggelar aksi massa besar-besaran seperti tahun-tahun sebelumnya, karena kami tidak ingin menciptakan klaster baru,” kata Presiden KSPSI Andi Gani Nena Wea dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (29/4/2021). Pertama, kata Andi Gani, saat May Day ia akan memimpin langsung delegasi dari KSPSI datang ke Gedung Mahkamah Konstitusi (MK). Kedua, dirinya juga akan memimpin delegasi ke Istana Negara untuk menyerahkan Petisi May Day 2021.
Jalannya Aksi May Day 2021
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Yusri Yunus mengatakan aksi May Day yang dilakukan serentak oleh sejumlah organisasi buruh dan mahasiswa itu akan terpusat di tiga titik. Masing-masing yakni, Kantor Organisasi Buruh Internasional atau ILO di Jalan MH Thamrin, Patung Kuda, dan depan Mahkamah Konstitusi di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat. Kericuhan sempat mewarnai peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day yang berlangsung di kawasan Arjuna Wiwaha atau Patung Kuda, Jakarta Pusat, Sabtu (1/5). Kericuhan terjadi di barisan massa Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) yang juga menggelar aksi di sekitar lokasi.
Kericuhan terpantik ketika massa PMKRI hendak bergabung dengan massa buruh yang sedang berorasi dan berniat melakukan aksi bakar ban. Polisi langsung mengambil ban yang sudah disiapkan massa PMKRI. Namun, massa PMKRI malah mengeluarkan spanduk untuk dibakar. Mereka tetap ingin membakar sesuatu. Aksi dorong-dorongan kedua belah pihak pun tak terhindarkan. Hingga akhirnya sebanyak 30 orang diamankan ke Markas Polda Metro Jaya. “Mengganggu arus lalu lintas yang dilakukan. Sekitar 30 orang dibawa ke Polda [Metro Jaya],” kata Wakil Kepala Polri Metro Jakarta Pusat, AKBP Setyo Koes Hariyanto kepada wartawan di sekitar lokasi, Sabtu (1/5/2021). Akhirnya polisi menutup Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat yang mengarah ke Istana Negara. Kawat berduri telah membentang di bawah JPO tak jauh dari gedung Sapta Pesona. Penutupan jalan itu mulai berlangsung kurang lebih pukul 14.00 WIB. Tak hanya itu sejumlah personel kepolisian dan mobil taktis juga disiagakan di sekitar lokasi.
Massa gabungan dari berbagai elemen buruh dan organisasi mahasiswa masih melakukan aksi dalam rangka memperingati May Day di area Patung Kuda. Berbagai tuntutan disuarakan para buruh. Beberapa di antaranya adalah kenaikan upah, tunjangan hari raya (THR), hingga pencabutan UU Ciptaker. Mereka juga telah menyerahkan petisi kepada Mahkamah Konstitusi dan Istana Negara berisi sejumlah poin, salah satunya penolakan Omnibus Law UU Cipta Kerja.
Penangkapan Peserta Aksi
Ketua Umum Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Nining Elitos mengklaim polisi menangkap hampir 300 orang dari aksi peringatan Hari Buruh Internasional atau May Day di kawasan Patung Arjuna Wiwaha atau Patung Kuda, Jakarta Pusat, Sabtu (1/5/2021). Namun, menurutnya, jumlah itu sedang dipastikan kembali oleh pihaknya saat ini. Berangkat dari itu, dia mendesak polisi agar segera membebaskan orang-orang yang ditangkap dari aksi May Day di kawasan Patung Kuda. Nining menegaskan bahwa aksi massa yang dilakukan pihaknya merupakan aksi damai. Nining menuturkan, pihaknya sangat menyayangkan terhadap aksi penangkapan sejumlah massa tersebut. Padahal, menurutnya, pihaknya menggelar aksi secara damai hingga mematuhi protokol kesehatan.
“Namun sangat disayangkan aksi tersebut berujung pengamanan terhadap massa, padahal mereka bagian dari gerakan rakyat,” tuturnya. Lebih lanjut, Nining dan pihaknya mendesak agar para massa yang diamankan aparat tersebut segera dibebaskan. Polisi sebelumnya mengaku telah mengamankan puluhan orang dari aksi May Day di kawasan Patung Kuda. Mereka yang ditangkap antara lain mahasiswa Papua, mahasiswa dari PMKRI, mahasiswa dari organisasi lain, dan sejumlah orang yang dicap dari kelompok Anarko. Polisi beralasan penangkapan dilakukan karena orang-orang itu hendak menimbulkan kericuhan hingga melanggar protokol kesehatan pencegahan penularan Covid-19.
Kritik Penangkapan Peserta Aksi
Penangkapan sejumlah mahasiswa yang dilakukan aparat kepolisian saat aksi merayakan Hari Buruh pada Sabtu (1/5/2021) kemarin mendapat kritikan tajam. Lembaga Bantuan Hukum (LBH Jakarta) selaku pendamping hukum para mahasiswa yang ditangkap itu menilai aneh langkah polisi menangkap mereka. “Teman-teman mahasiswa kemarin itu adalah bagian dari Gerakan Buruh Untuk Rakyat (GEBRAK), karena GEBRAK ini bukan cuma buruh saja komponennya,” kata pengacara publik LBH Jakarta, Jeanny Sirait, saat dihubungi, Minggu (2/5/2021).Menurut catatan LBH, ada hampir 300 mahasiswa yang ditangkap. Sebelum ditangkap, menurut Jeanny, para mahasiswa yang ikut aksi juga dipisahkan dari kelompok buruh lantaran terlambat datang. Ini yang kemudian muncul pernyataan dari kepolisian bahwa mahasiswa tak boleh ikut aksi sebab mereka bukan buruh. Jeanny mengaku heran atas hal tersebut. “Teman-teman mahasiswa ini kan calon buruh, karena suatu saat mereka mengalami proses yang sama. Jadi wajar kalau mereka menyuarakan tuntutan,” tambah Jeanny.
Jeanny mengatakan bahwa menurut polisi mereka (mahasiswa) tidak ditangkap, mereka hanya diamankan. “Di KUHAP tak ada diamankan, yang ada ditangkap. Kita sempat berdebat di sana,” kata Jeanny. Setelah melalui proses panjang, Jeanny bersyukur para mahasiswa akhirnya bisa dibebaskan dan dibolehkan pulang dari Mapolda. Mereka semua pulang sekitar pukul 21.00 hingga 22.00 WIB.
Alasan Polisi Untuk Cegah Kerusuhan
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Yusri Yunus membeberkan, alasan pihaknya melakukan pengamanan terhadap puluhan mahasiswa yang hadir dalam aksi unjuk rasa memperingati Hari Buruh Internasional, pada Sabtu (1/5/2021) kemarin.Yusri mengatakan, pengamanan yang dilakukan pihaknya tersebut adalah suatu upaya preventif atau pencegahan guna menghindari terjadinya kerusuhan. Pasalnya, sebelum para buruh berangkat menggelar aksi, kepolisian bersama pihak buruh sudah sepakat untuk melakukan aksi damai. Pengamanan terhadap para mahasiswa tersebut juga merupakan permintaan dari para kelompok buruh. Sebab para buruh tidak mau terkena imbas dari adanya kerusuhan padahal semula mereka berjanji akan menggelar aksi secara damai.
Awalnya kata Yusri, puluhan mahasiswa tersebut hanya dipisahkan dari barisan para buruh, namun beberapa dari mereka ada yang tidak terima, alhasil pihaknya melakukan pengamanan ke Polda Metro Jaya.Kendati begitu, kata Yusri, sejak kemarin sore, keseluruhan mahasiswa yang diamankan itu sudah kembali dipulangkan oleh pihaknya. “Akhirnya kami amankan saja dulu ke Polda, dari Polda kami pulangkan, jadi sudah dipulangkan sejak kemarin sore, itu namanya preventif, pencegahan itu,” tukas Yusri. Sebelumnya, sejumlah mahasiswa diamankan pihak kepolisian saat akan menggelar aksi di kawasan Patung Kuda, Jakarta Pusat, Sabtu (1/5/2021).
Sementara itu, Wakapolres Metro Jakarta Pusat AKBP Setyo Koes Heriyanto menjelaskan, penangkapan sejumlah mahasiswa itu berkaitan izin aksi. Menurut Setyo, para mahasiswa ini menggelar aksi tanpa izin. Selain itu, ia menyebut, aksi yang dilakukan juga menggangu lalu lintas. “Tidak ada izinnya dan mengganggu Lalin,” kata Setyo saat ditemui di lokasi.
Menggugat UU Cipta Kerja
Pada aksi May Day kemarin, Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek Indonesia) mengajak seluruh pekerja, organisasi serikat pekerja dan rakyat Indonesia untuk menuntut pembatalan UU Cipta Kerja dan mengusut tuntas semua kasus korupsi. Presiden Aspek Indonesia Mirah Sumirat mengatakan, dua tema besar tersebut yang akan disuarakan oleh Aspek Indonesia dalam memperingati Hari Buruh Internasional 1 Mei 2021. Mirah menjelaskan, Aspek Indonesia sebagai bagian dari Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), meminta kepada Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi untuk mengabulkan gugatan judicial review yang diajukan oleh KSPI, untuk membatalkan UU Cipta Kerja. “Secara formil, pembentukan UU Cipta Kerja dinilai tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945,” kata Mirah dalam siaran persnya.
Selain itu secara materil, Mirah menilai UU Cipta Kerja telah berdampak pada hilangnya hak konstitusional setiap warga negara untuk bisa mendapatkan jaminan kepastian pekerjaan, jaminan kepastian upah dan jaminan sosial. “UU Cipta Kerja telah menghapus dan menghilangkan hak konstitusional warga negara yang sebelumnya ada pada UU Ketenagakerjaan No.13 tahun 2003,” kata dia.
Menurut Mirah, hilangnya hak konstitusional mencakup upah minimum kota/kabupaten, hilangnya hak pesangon bagi pekerja yang diputus hubungan kerja (PHK), serta hilangnya perlindungan hukum untuk pekerja karena pengusaha dapat melakukan PHK sepihak tanpa melalui putusan pengadilan. Selain itu, UU Cipta Kerja juga dinilai akan menciptakan praktek eksploitasi yang semakin parah terhadap pekerja melalui sistem kerja kontrak dan outsourcing serta sistem upah per jam. Tak hanya itu, Aspek Indonesia meminta kepada Presiden Joko Widodo untuk serius dan tuntas dalam memimpin pemberantasan kasus korupsi yang sangat merugikan rakyat Indonesia. “Mengusut dan menjatuhkan sanksi terberat kepada pelaku korupsi. Di saat rakyat sedang turun daya belinya dan semakin susah karena pandemi Covid-19, maka terhadap para pelaku korupsi yang telah merampok uang rakyat, sepantasnya dihukum seberat-beratnya tanpa ampun,” ujar Mirah.
Ia menambahkan bahwa beberapa kasus korupsi yang disorot yakni kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya, PT Asabri, dan dugaan korupsi pengelolaan dana investasi BPJS Ketenagakerjaan. Aspek Indonesia juga mengutuk tindakan korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat Pemerintah Daerah Kabupaten Subang, yang melakukan pungutan kepada pekerja honorer kategori II yang akan tes Pegawai Negeri Sipil (PNS), senilai lebih dari Rp 30 miliar. “Selama ini para pekerja honorer dibayar sangat murah dan tidak memiliki jaminan kepastian pekerjaan, kok masih ada yang tega memeras dan mengeksploitasi mereka,” ungkap Mirah.
Peran Polri Dalam Aksi Penolakan UU Cipta Kerja
Tahun lalu, Peran Polri di dalam pengamanan aksi unjuk rasa menolak UU Cipta Kerja jadi sorotan para pegiat HAM. Mereka menegaskan bahwa menyampaikan pendapat di muka umum diatur dalam Pasal 28 UUD 1945. Bunyinya, “kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Oleh sebab itu, semestinya Polri tidak berhak melakukan penghalauan. Tidak boleh kemudian polisi justru menghalang-halanginya, membubarkan dan lain-lain. Apalagi, Polri sampai mengeluarkan aturan internal yang berkaitan erat dengan substansi penyampaian pendapat. Misalnya melaksanakan fungsi intelijen dan deteksi dini guna mencegah terjadinya unjuk rasa dan mogok kerja. Ada lagi aturan internal soal menggelar patroli siber di media sosial berkaitan dengan membangun opini publik.
Semestinya, Polri hanya bertugas mengamankan agar unjuk rasa tidak berujung pada kerusuhan. Maka seharusnya kepolisian sesuai dalam melaksanakan protapnya sendiri, tidak boleh membuat diskresi-diskresi di luar peraturan yang sudah ada, karena Indonesia adalah negara hukum. Kritik lainnya adalah alih-alih fokus mengamankan unjuk rasa, Polri dinilai justru turut campur terlalu jauh dalam hal penyampaian pendapat. Polisi sebagai pihak yang memiliki peran mengamankan, seharusnya mengamankan, bukan malah memberikan provokasi-provokasi soal unjuk rasa merupakan sesuatu hal yang negative.
Para pegiat HAM mengamati belakangan ini Polri banyak mengeluarkan jargon-jargon ataupun himbauan-himbauan kepada masyarakat untuk tidak melakukan aksi unjuk rasa. Hal itu diluar mandat undang-undang mengenai kebebasan berekspresi dan kebebasan berkumpul. Bahwa yang dinamakan dengan unjuk rasa atau demonstrasi dijamin dan dilindungi oleh undang-undang dan hal tersebut merupakan sebuah bentuk aspirasi masyarakat yang juga dihormati oleh undang-undang. Aksi unjuk rasa adalah soal aspirasi masyarakat secara luas, yang di mana harus didengarkan oleh pemerintah dan menjadi salah satu media bagi masyarakat untuk menyuarakan pendapatnya. Karena itu Polri dinilai berlebihan jika menghimbau ataupun menghalang-halangi aksi ujnjuk rasa.
Sorotan lainnya adalah pada peran Polri dalam mengamankan unjuk rasa penolakan UU Cipta Kerja tahun lalu. Aparat kepolisian terlalu menggunakan kekuatan berlebih di dalam menangani massa pada aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Tenaga Kerja. Menurut catatan lembaga Amnesty Internasional Indonesia sedikitnya 180 pengunjuk rasa di Bandung terluka, 24 orang mahasiswa di Serang juga mengalami luka, bahkan hingga gegar otak. Kejadian meredam aksi denngan kekerasan ini tidak bisa dibenarkan. Para pegiat HAM juga mengingatkan, penggunaan gas air mata dan peluru karet dalam pengamanan unjuk rasa juga dapat menyebabkan cidera serius. Bahkan, bukan tidak mungkin itu menyebabkan kematian. Polri di lapangan diminta untuk lebih memperhatikan asas proporsionalitas dalam menggunakan peralatan mereka. Aparat keamanan harus menahan diri untuk menggunakan kekuatan yang tidak perlu, berlebihan atau eksesif. Apalagi jika sampai mengintimidasi peserta aksi. Kenyataannya bahwa polisi menggunakan gas air mata dan kekerasan seperti aksi memukul dan menendang pengunjuk rasa yang tidak bersenjata itu sangat mengkhawatirkan.
Belum lagi, laporan sejumlah media massa menyebutkan bahwa polisi melakukan intimidasi bagi elemen masyarakat dari luar Jakarta yang ingin bergabung dengan massa aksi di Ibu Kota. Mencegah orang bergabung dengan protes damai adalah pelanggaran hak asasi mereka. Setiap orang punya hak bergabung dengan orang lain serta mengekspresikan pikiran mereka secara damai. Berdasarkan catatan di media pada aksi unjuk rasa penolakan UU Cipta Tenaga Kerja yang berujung kekerasan tahun lalu, total 20 halte di Jakarta rusak dampak dari aksi anarkistis massa dan diperkirakan kerugian sekitar lebih Rp 55 miliar. Tamaknya Polri sudah belajar banyak dari dampak buruk meredam aksi unjuk rasa berujung kekerasan yang justru enimbulkan kerugian sangat besar. Sehingga dengan pendekatan yang berbeda, apalagi di tengan pandemi dan bulan suci Ramadan, maka aksi unjuk rasa berlangsung aman. Lanjutkan kinerjia bagusnya Polri! (EKS/berbagai sumber)